Karenanya, sunat diyakini dapat menurunkan risiko infeksi saluran kemih dan kanker penis, serta membersihkan alat kelamin. Terlebih disunat juga tidak akan mengurangi kenikmatan saat berhubungan suami isteri. Sebaliknya, sunat justru menambah kenikmatan dalam berhubungan seks.
Teknisnya, sunat adalah operasi pengangkatan atau pelepasan kulup — kulit yang menutupi ujung penis. Ada berbagai metode sunat yang ditawarkan kepada masyarakat. Namun sebelum sunat dilakukan, ada baiknya orangtua mencari tahu lebih detil mengenai teknik sunat dan tenaga medis yang tepat.
Orangtua jangan sampai keliru memilih teknik sunat. Salah satu teknik sunat yang dipilih orangtua adalah electrical cauter. Orang menyebutnya dengan sinar laser, padahal sejatinya tidak menggunakan sinar laser. Dan, pemahaman yang salah ini harus diluruskan.
Banyak orang mengira sunat laser berarti menggunakan sinar laser, tapi faktanya tidak. Istilah sunat laser ini sebenarnya keliru, tidak menggunakan sinar laser melainkan alat yang dinamakan electric cauter.
Electric cauter ini berupa lempengan logam yang dipanaskan. Jika dialiri dengan listrik, ujung logam akan menjadi panas dan berwarna merah, sehingga dapat digunakan untuk memotong kulup. Namun, berhubung metode sunat laser ini lempengan logam yang dipanaskan, jika salah penggunaannya, maka dapat berisiko menimbulkan luka bakar.
Laporan Kasus
Ingat kisah bocah Pekalongan yang kepala kelaminnya ikut terpotong setelah disunat dengan menggunakan teknik itu? Peristiwa yang terjadi pada September 2018 itu sungguh memilukan. Bukan bahagia yang didapat, melainkan malah penderitaan. Nah, inilah salah satu resiko yang tentu saja akan mempengaruhi kondisi psikologis dan fisik korban kelak ketika dia dewasa.
Ada juga laporan kasus yang dipublikasikan dalam British Medical Journal pada Januari 2013. Kasus ini jauh lebih mengerikan. Karena menggunakan teknik electric cauter, seorang bocah 7 tahun penisnya akhirnya harus diamputasi karena efek menggunakan teknik tersebut.
Anak itu dilarikan ke pusat oksigen hiperbarik karena sianosis pada kelenjar penisnya. Ia menjalani pengobatan yang dilakukan dengan cara memberikan oksigen murni di dalam ruangan khusus bertekanan udara tinggi.
Diberitakan bahwa dia telah disunat pada hari yang sama dengan menggunakan perangkat elektrokauter monopolar. Sayangnya, elektrokauter menyebabkan luka bakar yang parah pada kelenjar penis si anak.
Pada pemeriksaan, ia mengalami nekrosis atau kondisi cedera pada sel yang mengakibatkan kematian dini sel-sel dan jaringan hidup pada kelenjar dan batang penis.
Kecelakaan Dramatis
Meski terlihat aman, namun nyatanya penggunaan elektro kauter monopolar, mengakibatkan kecelakaan yang dramatis pada pasien tersebut. Memang, ketika elektroda monopolar digunakan, arus listrik yang dibawa hanya menyebabkan sedikit luka bakar pada penis.
Namun, ternyata luka yang diakibatkan teknik itu memburuk dan mengakibatkan hilangnya jaringan signifikan yang melibatkan seluruh kelenjar dan bagian distal batang penis. Alat kelamin anak tersebut akhirnya harus diamputasi.
Pemilik Rumah Sunat dr Mahdian, dr Mahdian Nur Nasution, SpBS, sangat tidak menyarankan sunat dengan teknik electrical cauter. Menurutnya, teknik ini sangat berbahaya bagi yang disunat. Bila terjadi kesalahan, maka akibatnya bisa fatal. Penis bisa saja terpotong atau amputasi seperti kasus tadi. “Teknik electrical cauter ini adalah metode yang paling berbahaya,” katanya menegaskan.
Dr. Mahdian Nur Nasution selaku dokter bedah syaraf sangat tidak menganjurkan electrical cauter untuk sunat, karena paling berisiko terjadinya amputasi. Menurutnya, logam yang panas ini bisa menyebabkan luka bakar pada bagian kelamin. Sebenarnya, electric cauter adalah alat bedah yang digunakan untuk memotong kulit atau pembuluh darah sehingga pendarahan yang muncul akan minimal. Hanya saja, alat ini sudah banyak yang dimodifikasikan sedemikian rupa. Ada yang berbentuk lempengan logam yang dipanaskan seperti pemanas air. Karena dimodifikasi itulah teknik ini tidak direkomendasikan.
Terlalu Riskan
Karenanya, meski teknik ini lebih cepat, namun tetap disarankan untuk tidak memilih teknik ini. Kalaupun tetap ingin menggunakan teknik ini harus dipastikan bahwa petugas yang melakukan adalah tenaga medis yang tepat, yang ahlinya, yaitu dokter spesialis bedah. Sayangnya, umumnya sunat dengan teknik ini sangat jarang dilakukan oleh dokter, melainkan orang yang tidak tepat. Karena itu, masyarakat diminta untuk berhati-hati jika tidak ingin menyesal di kemudian hari.
“Kalau tepat menggunakannya sangat bermanfaat karena sunat jadi cepat, menjahit jadi lebih mudah dan risiko infeksi kecil. Tapi kalau penggunaan salah bisa timbulkan luka bakar. Bukan manfaat yang didapat. Bukan cepat sembuh. Jadi lebih lama dan merusak jaringan kulit pada penis,” tegasnya.
Intinya, ia tidak merekomendasikan metode sunat laser seperti ini dengan alasan resiko kepala penis terpotong, resiko luka bakar karena elemen cauter, hahitan atau bentuk bisa miring, dan resiko pendarahan. Resiko-resiko ini dapat menyebabkan hasil kurang estetis, sehingga kemungkinan besar akan membuat malu anak seumur hidup.
Dokter Mahdian paling merekomendasikan metode modern, yaitu Mahdian Klem yang lebih sedikit risiko dan hanya membutuhkan waktu singkat. Pada metode operasi ini, waktu yang dibutuhkan hanya lima menit dan pasien bisa kembali beraktivitas dalam waktu satu hari.
Rekomendasi WHO
Mahdian Klem adalah satu-satunya klem produksi anak bangsa negeri sendiri. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah merekomendasi metode ini. Alasannya, karena memperkecil risiko terjadinya infeksi silang yaitu infeksi karena pemakaian alat yang sama pada satu pasien ke pasien lain, mengingat teknik ini hanya sekali pakai. “Teknik ini aman untuk segala usia, apalagi untuk bayi yang suka mengompol. Tak ada larangan untuk tak boleh kena air setelah itu,” tambahnya.
Menggunakan Mahdian Klem juga lebih mudah bagi operator (dokter, perawat). Sebab, tidak memerlukan rotasi saat pemasangan tabung dan penjepit klem sehingga posisi penis tidak miring setelah pelepasan tabung. Jadi, secara kosmetik lebih baik.* (Laksmi Wuryaningtyas)