Senin , 9 Desember 2024
Menyeimbangkan hidup dengan menyanyi. (Foto: Ist)

Musik Membuat Kelembutan dan Kehangatan dalam Keluarga

SUNGGUH, saya merasa beruntung telah lahir dan besar di keluarga besar yang mencintai musik. Saya sebut keluarga besar, karena begitulah realitanya. Saya merupakan anak nomor delapan dari tigabelas bersaudara. Dan, saya sebut keluarga yang mencintai musik, karena memang demikianlah faktanya.

Salah satu contoh faktanya, dulu sejak kecil, remaja dan dewasa, di keluarga besar saya setelah makan malam selalu kumpul nyanyi-nyanyi dan direkam. Kakak tertua main biola [ia murid violis Toni Kierdijk, Surabaya]. Kakak nomor dua main accordion, kemudian  ada yang main gitar. Satu-satu kami giliran menyanyi. Suasana seperti ini menumbuhkan kelembutan dan kehangatan dalam keluarga.

Fakta lainnya, Ayah saya, Imam Soedjono, seorang pemusik. Ia sering main musik bareng Bing Slamet, Adi Karso, dan Jack Lesmana. Nama grupnya Hardi’s Boys. Kakak tertua saya langganan finalis Bintang Radio jenis seriosa seangkatan dengan Masnum, dan Diah Iskandar. Kakak nomor enam lulusan AMI Jurusan Vokal. Adik nomor sebelas lulusan ISI Yogyakarta dengan instrument major contrabass.

Jadi keluarga besar saya dapatlah disebut keluarga musik, karena hari-hari selalu dipenuhi dan diwarnai alunan musik. Seakan tiada hari tanpa alunan musik dan lagu. Sehingga di keluarga besar kami, kelembutan, empati, kehangatan tetap terjaga sampai akhir hayat. Suasana keluarga seperti itu telah menumbuhkan kesukaan atau hobi menyanyi dalam diri saya sejak kecil. Hobi yang terbawa sampai kini.

 

Pengalaman Menyanyi Pertama

Masih teringat jelas, bagaimana pengalaman menyanyi saya yang pertama kali diiringi band. Seingat saya itu sekitar tahun 1959/1960. Di usia sekitar tujuh tahun itu, saya dipaksa Ayah untuk tampil menyanyi dengan iringan band. Memang sempat agak gugup juga, karena maklumlah sebelumnya belum pernah menyanyi diiringi grup band. Barangkali karena sudah terbiasa dengan pengalaman nyanyi-nyanyi bersama kakak-kakak setiap selesai makan malam, saya tak menolak keinginan Ayah tersebut.

Dan, masih terekam jelas dalam ingatan, lagu yang saya nyanyikan ketika itu bukanlah lagu anak-anak, atau lagu yang sesuai dengan usia anak-anak. Lagu yang dinyanyikan adalah   lagunya orang dewasa. Lagu bernuansa cinta, yakni Gadis Manis dari Pantai Seberang, karya ciptanya Mas Eddy Mulyono [RRI Surabaya]. Kalau diingat-ingat sekarang, ou, betapa lucunya.

Ya, dari pertama masuk sampai selesai lagunya tidak kunjung ketemu atau sesuai dengan nadanya. Untung di usia tujuh tahun belum punya rasa malu, sehingga saya tetap percaya diri saja menyanyi tanpa menghiraukan nadanya sesuai dengan musik atau bahkan melenceng jauh. Tak bisa saya bayangkan bagaimana repotnya pemusik atau pemain bandnya mengiringi. Walaupun menyanyi dengan nada yang kacau, tetap saja begitu selesai menyanyi terdengar tepuk tangan dari hadirin yang ada.

Saya tahu, Ayah yang mengawali bertepuk tangan. Kemudian lainnya terpancing ikut tepuk tangan. Lumayan ramai juga tepuk tangannya. Dan, saya tentu merasa sangat gembira mendengar tepuk tangan itu. Bila mendengar lagi lagu Gadis Manis dari Pantai Seberang atau menyimak lirik-liriknya, terbayang kembali kisah mengesankan di masa kecil dulu. Ya, saya ingin menyimak lagi lirik-liriknya.

 

         Gadis Manis dari Pantai Seberang

         Teringat masa lalu
         Waktu kau disampingku
         Memandang bulan terang
         Yang cemerlang

         Ingin dik kunyanyikan
         Senandung lagu rindu
         Sebagai tanda kasihku
         Kepadamu 

         Reff:
         Kuingin senja ini
         Tak cepat berlalu
         Kuingin senja ini
         Mencium jarimu 

         Duhai dik, gadis manis
         Dari pantai seberang
         Kunanti senja ini
         Kau kembali

        

 

Simak juga:  Menyanyi, Membuat Hidup Tetap Indah

Lagu Kenangan

Bila lagu Gadis Manis dari Pantai Seberang merupakan lagu yang mengesankan ketika kecil, ketika muda di tahun 70-an ada dua lagu yang berkesan dalam kehidupan masa muda saya. Kedua lagu yang berkesan dan saya sukai itu, yakni Pretend dari Nat King Cole, dan The Minute Your Gone  yang dinyanyikan Cliff Richard.

Lagu Pretend sangat familiar di grup Music and Dance kakak saya di Surabaya. Sedang lagu The Minute Your Gone mengingatkan pada masa-masa indah ketika menjadi penyiar  musik di Radio Merdeka Surabaya pada tahun 1975 sampai 1977. Kesukaan pada musik dan dunia menyanyi membawa saya ke dunia Radio.

Dan, bagi pendengar atau fans acara saya,  lagu The Minute Your Gone itu identik dengan saya. Asal tahu saja, istri saya adalah pendengar setia acara saya di Radio Merdeka. Ya, jodoh pendamping hidup diberikan Allah melalui acara musik yang saya asuh.

Ketika masih tinggal di Surabaya, saya tak hanya sibuk dengan aktivitas sebagai penyiar radio, tapi juga aktif di banyak kegiatan seni, seperti seni teater, baca puisi dan lain-lainnya lagi. Sutradara Teater Aksara Surabaya, Hari Matrais [alm] adalah kakak saya. Dan, saya cukup akrab dengan penyanyi-penyanyi seperti Leo Kristi, Gombloh, Nanil, Franki Sahilatua, Arie Koesmiran, dan Kristiningrum. Ya, masa-masa di Surabaya hobi pada musik benar-benar tersalur.

 

Hobi Nyanyi Sempat Terbenam

Akan tetapi kemudian, kesukaan atau hobi menyanyi saya sempat terbenam. Itu semua bermula ketika di tahun 1977 saya pindah ke Yogya. Ketika di Yogya saya menggemari dunia yang berbeda dari musik, yakni dunia olah raga. Saya menyukai dan menekuni catur dan bridge. Bahkan saya menjadi atlet catur.

Dalam beberapa dekade hobi itu ‘kalah’ dengan kegiatan olah raga yang saya tekuni di Yogyakarta. Seni atau menyanyi dan sebagainya terbenam oleh kegiatan sebagai atlet catur. Banyak daerah saya kunjungi untuk mengikuti even olah raga seperti Kejurnas dan sebagainya. Sungguh menyenangkan juga, berkat catur saya bisa mengunjungi berbagai daerah di Tanah Air.

Kota-kota atau daerah-daerah seperti Menado, Palangkaraya, Pontianak, Banjarmasi, Mataram, Denpasar, Banda Aceh, Brastagi, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, Batam, Manokwari, Jayapura, Sorong dan lainnya, adalah sebagian wilayah Nusantara yang sudah saya kunjungi dalam kapasita sebagai atlet. Kalau mancanegara, di antaranya Singapura dan Hongkong.

Dunia catur dan bridge, membuat saya aktif di kepengurusan organisasi Percasi dan GABSI. Saya dipercaya menjadi Ketua I Pengda Percasi DIY, dan Ketua Umum Pengda GABSI DIY. Dan untuk catur, saya merupakan satu-satunya atlet catur DIY yang menyandang gelar internasional, yaitu Fide Master. Selain itu juga menjadi pengurus  NPC [National Paralympic Comittee] Daerah Istimewa Yogyakarta. NPC merupakan Komite Olah Raga Nasional bagi Penyandang Disabilitas.

Simak juga:  Menyanyi, Aktivitas yang Membahagiakan

Walau sempat ‘kalah’ dan ‘tenggelam’, tapi kesempatan menyanyi sering datang juga di setiap acara penutupan kegiatan event olah raga seperti penutupan Kejurnas, dan lain-lain. Selalu saja ada yang meminta menyanyi, karena sudah banyak yang tahu hobi menyanyi saya

 

Merajut Keakraban

Kini, setelah relatif tidak aktif sebagai atlet maka kegiatan hobi menyanyi menyeruak kembali dan menjadi kegiatan yang cukup menghiasi masa-masa senja kehidupan saya. Saya pun mencoba mencari kesempatan untuk mengasah kembali kesukaan menyanyi. Untuk memantapkan diri dalam menyalurkan aktivitas hobi menyanyi yang sempat hilang selama beberapa tahun itu, saya pun bergabung dalam beberapa komunitas menyanyi atau komunitas tembang kenangan.

Komunitas tembang kenangan  pertama yang saya ikuti adalah grup Sukoreno, berawal ketemu Pak Nasrun yang waktu itu sama-sama aktif di GABSI DIY. Sering bareng-bareng nyanyi dan akhirnya diajak gabung di grup Sukoreno. Setelah di komunitas Sukoreno, kemudian diajak ikut mendirikan grup Pelangi, setelah itu diajak gabung DeNada/La Rose, Sensasi, dan terakhir mendirikan grup Cemara 7.

Lagu-lagu yang saya sukai ketika muda dulu, sewaktu menyanyi di dalam komunitas menyanyi sekarang sudah jarang saya nyanyikan. Karena sekarang lebih banyak belajar menyanyikan lagu-lagu jadul lainnya  seperti Stardust, Innamorata, From Rusia With  Love, dan lain-lainnya.

Aktivitas komunitas menyanyi yang selalu diikuti sekarang ini, Sensasi, Cemara 7, La Rose dan kadang-kadang Sukoreno. Pernah tampil menyanyi di Pro 1 RRI Yogyakarta, Radio Arma Sebelas, dan Radio Swara Kenanga Jogja.

Banyak manfaatnya yang diperoleh dari bergabung di dalam komunitas menyanyi di antaranya mendapat teman yang akhirnya banyak juga menjadi seperti saudara. Saat menyanyi perasaan menjadi  relaks, karena selain nyanyi selalu disertai dengan  bercengkrama dan sebagainya.

 

Harapan

Dalam beberapa tahun terakhir ini di Yogyakarta dan sekitarnya terdapat banyak komunitas tembang kenangan atau komunitas menyanyi. Harapan saya terhadap grup-grup komunitas tembang kenangan, sehubugan dengan banyaknya grup komunitas dan seseorang bisa mengikuti di banyak grup, adalah mari nikmati saja kebersamaan di grup komunitas kita.  Tidak perlu sibuk memikirkan yang bukan grup kita. Karena grup-grup atau komunitas-komunitas tembang kenangan itu muncul bukan untuk bersaing, tapi untuk merajut keakraban dan persaudaraan di antara anggota grupnya. Jadi, jargon “Seduluran sak lawase” betul-betul bisa kita buktikan.

Ya, dalam beberapa tahun terakhir ini kesukaan atau hobi menyanyi  sudah kembali mewarnai hari-hari kehidupan saya. Tapi saya senantiasa menyeimbangkan kehidupan ini, dengam menjadi Ketua Takmir Masjid Nur Iman Klampok, Sendangtirto, Berbah, Sleman. Di sebagian besar teman-teman pengajian sudah ‘mengharamkan’ musik, saya tetap ya ngaji, ya nyanyi. *** [Iwan Prihastomo]

 

*** Iwan Prihastomo, lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 21 November 1953. Pembina/penggiat olah raga, Ketum Pengda GABSI DIY, Ketua I Pengda Percasi DIY, Pengurus NPC DIY, atlet catur, dan satu-satunya atlet catur DIY yang menyandang gelar internasional Fide Master. Bersama istrinya, Sri Purwaningsih, ayah tiga orang anak dan kakek dua orang cucu ini tinggal Klampok Baru, Sendangtirto, Berbah, Sleman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *