Pada awal mulai bernyanyi di Banjar, Jawa Barat, pada tahun 1983-an, saya menyanyikan lagu Permata Hati (Broery Marantika) sambil membayangkan wajah anak pertama. Adrian Sambasto, nama anak saya ini. Ia meninggal dunia hanya lima jam setelah dilahirkan ibunya. Kondisi kehamilannya waktu itu dikenal sebagai sungsang.
Sebening embun pagi sinar matamu
Bila kupandang wajahmu, aku sayang padamu
Seindah mutiara sebersih salju
Bila kuusap rambutmu, permata hatiku
Mungkin beberapa penyanyi menginterpretasikan lagu ini ditujukan kepada kekasihnya. Tapi saya menyanyikan lagu ini sambil membayangkan wajah anak saya. Walaupun ia hanya berumur lima jam, tapi saya sempat melihat senyum manisnya.
Lain lagi jika saya menyanyikan And I Love You So. Lagu yang aslinya dinyanyikan Perry Como ini, sering saya nyanyikan sambil membayangkan wajah istri saya tercinta, Sri Suyatmi.
And I love You so, the people ask me how
How I live till now, I tell them I don’t know . . . . .
Menghayati Lagu
Rasanya lebay sekali ya? Tapi begitulah perasaan saya menghayati sebuah lagu, sehingga otomatis menjadi hafal liriknya. Lagu-lagu lain yang saya nyanyikan sambil membayangkan istri antaralain, Kau Tercipta Untukku (Pasha Ungu feat Rossa) dan Nyanyian Rindu (Ebiet G Ade).
Begitu pula sebaliknya jika isteri saya menyanyikan lagu I Have Been Away Too Long:
How can I Say to you, I love somebody new . . . .
You were so good to me, always . . . . . . .
Mendengar lagu itu, saya tergerak untuk menyanyikan He’ll Have To Go. Liriknya begini:
Putyour sweet lips a little closer to the phone
Let’s pretend that we’re together all alone
I’ll tell the man to turn the juke box way down low
And you can tell your friend there with you he’ll have to go . . . .
Sepanjang Jalan Kenangan
Ada sebuah lagu yang sering saya nyanyikan secara duet dengan isteri saya yaitu Sepanjang Jalan Kenangan. Jika menyanyikan lagu ini, saya membayangkan saat berpacaran dulu. Waktu itu kost kami berdekatan di Bumijo Lor. Jika ada sesuatu yang ingin dibeli, kami saling menemani jalan kaki ke Jln. Diponegoro (Kulon Tugu). Kalau menyeberangi jalan itu, kami pun bergandengan tangan seperti yang diceritakan dalam lagu itu:
Sengaja aku datang ke kotamu
Lama nian tidak bertemu . . . . dst . .
Reff:
Sepanjang jalan kenangan
Kita selalu bergandeng tangan . .
Sepanjang jalan kenangan, kaupeluk diriku mesra . . .
Saya jadi teringat waktu tahun 2003 sd. 2007 saat bertugas di Gombong, Jawa Tengah pada Proyek Pengendalian Banjir Jawa Bagian Selatan.Waktu itu, beberapa orang di antara kami tidur di mess, karena keluarga tinggal di kota lain. Untuk hiburan, kami sering bernyanyi di mess atau sekali-sekali ke rumah Karaoke di Purwokerto. Menyaksikan para pemandu lagu yang bertugas hingga larut malam, saya membayangkan mereka seperti yang digambarkan oleh lagu Demi Kau dan Si Buah Hati.
Tiap malam engkau kutinggal pergi
Bukan, bukan, bukan aku sengaja
Demi kau dan si buah hati . . . .
Terpaksa aku harus begini
Saya membayangkan, seandainya punya isteri seorang pemandu lagu, tentulah akan ditinggal setiap malam. Lalu di rumah sendiri menunggu isteri pulang sambil bersenandung lagu Risau (Panbers):
Bila malam telah tiba
Kutanya bulan, kemana kau pergi
Bila fajar telah menyingsing
Kutanya matahari kapan kau kembali
Risau hatiku . . . .
Mungkin karena menghayati syairnya itulah, saya jadi kurang suka dengan lagu Please Release Me. Lagu ini bagi saya rasanya lebay sekali. Coba kita cermati liriknya:
Please release me, let me go
For I don’t love you anymore . . . dst . . ..
I have found a new love dear
And I will always want her near
Her lips are warm while yours are cold
Release me my darling, let me go . . . .
Hanya gara-gara bibir si pacar baru terasa hangat, bibir pacar yang lama terasa dingin. Cuma itukah ukuran sebuah cinta? Tapi baru-baru ini, saya terpaksa menyanyikan lagu itu saat siaran di RRI Yogyakarta pada 22 Desember 2019 yang lalu. Pasalnya beberapa lagu yang lain yang saya coba saat latihan, ternyata tidak berhasil. Mungkin nasib saya memang sudah ditentukan begitu.Wallahualam.
Oh ya, supaya tidak terjadi salah pengertian, pada akhir tulisan ini ingin saya tegaskan bahwa saya tetap menganggap bahwa lagu hanya sebuah lagu saja. Tidak terlalu saya masukkan ke dalam hati. Hanya sekadar memahami makna sebuah lagu saja agar bisa menghayatinya lalu otomatis hafal liriknya. Karena menyanyi tanpa teks justru terasa lebih santai dan bisa berkonsentrasi dengan musik pengiringnya. Salam.
Yogyakarta, 4 Januari 2020. *** [Nasrun Sidqi]
[Nasrun Sidqi, pensiunan Departemen PU, dan mantan wartawan Lampung Post, menyelesaikan S-1 di Teknik Sipil UGM dan S-2 di Institute of Hydraulic and Environmental, Delft, Netherlands.]