Kepala Program Studi Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukkan, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta juga penyaji Kerawitan, Drs Trustho M Hum, memaparkan, sejak awal Karawitan termasuk kategori musik tradisi yang digunakan untuk iringan seni pertunjukkan tertentu. Namun pada perkembangan dan eksistensinya, Karawitan ini menjadi musik yang berdiri sendiri.
“Pada dekade ini, musik gamelan mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai pengiring drama, wayang dan kesenian tertentu. Berikutnya, Kerawitab sebagai konser mandiri atau disebut uyon-uyon,” kata Trustho, saat ditemui .Karawitan merupakan musik etnik yang menggunakan gamelan dengan eksistensi yang tidak diragukan lagu. Bahkan setelah digelar Festival Gamelan, nama karawitan makin berkibar secara nasional bahkan go internasional. Setiap gamelan yang memiliki tangga nada selendro dan pelog akan banyak diburu para musisi-musisi dunia yang tertarik dengan alat musik ini. Sebab dengan tangga nada tersebut, seperangkat musik tersebut sudah bisa disebut karawitan. Baik dari bentuk vokal maupun instrumentalnya.
Semula musik tradisi yang sarat dengan tatanan kehidupan manusia ini memang tidak mempertimbangkan bagaimana dengan peminat musik ini. Apakah paham atau suka? Sehingga untuk memahami makna-makna yang tersirat dari dentang musik yang melantun memerlukan kepedulian yang sangat kuat sehingga, musik ini bisa dinikmati dengan indah dan unik. Begitu juga nilai etika, dan moralnya perlu penghayatan efek dan kontekstualnya.
“Kalau penikmat tidak bisa memahami filosofinya, nama gendingnya, maka wajar kalau generasi muda sekarang masih kurang perhatian. Sebab biasanya memang tidak disampaikan secara vulgar namun hanya dengan simbolis. Karena untuk memahami dan mengerti maknanya, membutuhkan kepedulian sehingga keunikan karawitan mampung mengundang selera musikal yang tinggi,” Ada tiga babak tatanan kehidupan manusia yang terkandung dalam seni musik tradisi Karawitan ini, diantaranya Patet (aturan) Enem, menggambarkan kelahiran bayi atau anak. Karena dalam aturan banyak sekali permainan, maka garapan dari seni Karawitan masih sederhana, masih tenang, belum banyak variasi kehidupan. Sehingga musikal yang dihasilkan pun masih cukup simple dan mudah dipahami.
Berikutnya adalah Patet Songo, melambangkan kedewasaan, sehingga banyak masalah-masalah kehidupan yang cukup serius dan rumit, sehingga musikalnya lebih sedikit dewasa ketimbang Patet Enem. Kemudian alur melodi dan aresemennya sudah berada ditingkat standar mendekati manusia yang puber. Maka musik yang dihasilkan mulai variasi namun belum mendekati komplek.
“Baru pada Patet Manyuro inilah, seni Karawitan bisa dikatakan menantang dan matang, sebab penggambarannya diibaratkan pada manusia yang sudah mencapai masa tua atau ketuaan. Sehingga penyelesaian garapan musikalnya lebih tinggi, sebab sudah masuk dalam tahap penyelesaian masalah. Pengembangan musiknya banyak variasi, melodi, aresemen, dan penataannya lebih matang
Ketiga Patet ini berorientasi pada pertunjukkan wayang purwo (untuk semua jenis wayang). Bahkan keberadaannya semakin fleksible karena bisa menjadi patner setiap seni pertunjukkan.
Kandungan etnomusikologi itulah yang membuat manca negara kian kesengsem dengan seni Karawitan ini. Mereka beranggapan, karya adiluhung miliki tanah Indonesia ini, mempunyai kelebihan yang luar biasa, terutama dalam keindahanya yang universal. Baik dari melodi, instrumen dan susunan-susunan tangga nadanya.
Mancanegara juga beranggapan, kariwitan yang memiliki dari berbagai jenis musik seperti gesek, pukul, tiup, petik, kendang (kebok), vocal, dan sebagainya, disebut dengan orchestra klasik yang lengkap. Ketika semua alat musik ini dibunyikan, maka alunan melodinya akan membetuk keindahan yang luar biasa dibangding dengan musik lainnya.
Di Amerika Serikat, kini terdapat kurang lebih 300-an komunitas gamelan dan karawitan, sedangkan di Jepang ada sekitar 400-an lebih. Karena gaya mereka yang berkelas tingggi, maka mereka pun harus menggunakan gamelan yang bagus. selain belajar dari seni musiknya, mereka juga belajar dan menkaji tentang filosfi dan falsafahnya. Mereka ingin tahu seperti apa nilai-nilai etika dan moralnya, sehingga dengan begitu mereka bisa menjadi musisi sekaligus penikmat yang baik. “Mereka sangat teliti dalam mempelajari, baik dari segi tinjauan budaya, sinden, bahasa gerong (vocal), syair-syair yang ada didalam karawitan tersebut,” tutur Trustho yang lama mengajar disalah satu Universitas di AS.
Sejak saat itu, Karawitan semakin semarak, bahkan siap menghadapi kompetesi musik modern. Keberadaannya pun diperluas dengan kreasi yang beragam, seusi selera pasar. Banyak para komposer yang mulai kreasikan dengan sejumlah penataan aresemen yang mudah dinikmati, dipahami. Sehingga bisa menjadi patner wayang, drama atau ketoprak, campursari, orchestra klasik kotemporer, musik jazz, dan band-band modern. “Akhirnya eksistensinya Karawitan bisa menjadi sejajar dengan musik barat, karena bisa dikolaborasikan dengan musik eropa modern, sehingga banyak dunia mengatakan, Karawitan adalah musik yang etsotik untuk dinikmati dan dipamahami nilai-nilainya,”.
Meskipun gaungnya makin mendunia, seni Karawitan tidak pernah tergeser maknanya, tidak pernah kehilangan tatanan kehidupan, tidak bubar aturannya. Aturan itu tetap menghiasai permainannya. Ini merupakan salah satu karyta adi luhung yang tetap eksis dengan nilai-nilainya. Sebab musisi dan penikmat sadar betul, jika aturan Karawitan tersebut dilanggar, justru musikal yang dihasilkan tidak bermakna apa-apa. Salah satu contohnya, mereka tidak akan pernah memainkan gamelan dengan berdiri, kemudian dengan vocal yang tidak santun meski dikolaborasi dengan musik modern yang dinamis. Sebab jika itu dirubah, maka tidak enak dipandang dan dinikmati. “Salah satu karya besar itupun hingga kini masih menjadi perhelatan karya yang luar biasa bagi mancanegara, bahkan mereka berani menampilkan karya tersebut secara utuh sebagai musik konser,” kata Trsutho.
Trustho berharap, Karawitan yang juga merupakan karya adiluhung miliki bangsa ini, tidak terkalahkan dengan mancanegara yang belajar dan mengadopsi. Oleh karena itu penanaman sejak kecil dan pendidikan disekolah melalui muatan lokal akan memiliki peran yang besar untuk pelestarian karya adiluhung dimasa sekarang. (Ki Juru Bangunjiwa)