Senin , 9 Desember 2024
Abdi Dalem beramai-ramai membersihkan kereta Kanjeng Nyai Jimat. (Foto: dok kratonjogja.id)

Memaknai Filosofi Jamasan

MUNCUL  satu pertanyaan ketika sarasehan budaya Jawa  mengapa keris atau tombak harus dijamasi atau disirami pada bulan Jawa Sura?  Atau yang lebih luas lagi, mengapa orang Jawa mesti laku prihatin di bulan Sura?

Sebenarnya menurut Ir Yuwono Sri Suwito, tidak ada aturan khusus yang menekankan bahwa orang Jawa harus ‘kungkum’, ‘mubeng beteng’ dan lain sebagainya menjelang 1 Sura. Bahkan dalam pitutur luhur Jawa disebutkan laku keprihatinan tidak boleh menyiksa badan. Hanya disebutkan bahwa Sura merupakan ajakan untuk laku keprihatinan.

Untuk menjawab ini perlu dikedepankan dua makna yang berbau fisik, dan yang bernuansa simbolisasi atau lebih bermakna filosofi.

Yang pertama dikatakan bahwa keris dan pusaka lainnya pada awal tahun Jawa atau bulan pertama tahun Jawa yakni Sura perlu dibersihkan atau dijamasi. Dalam pengertian fisik yang namanya pusaka keris atau tombak harus dirawat. Perawatan ini untuk keris berarti dua yakni memperpanjang umur besi, dan yang kedua adalah memunculkan pamor yang tergambar di dalam tosan aji. Jamasan dalam arti mewarangi pun seharusnya hanya dilakukan 8 tahun sekali, kalau pamornya sudah mulai menghilang.

Sementara untuk pengertian kedua yakni pengertian filsafati penjamasan keris bermakna dalam, berkaitan dengan laku spiritual dan kehidupan manusia Jawa.

Tradisi ini justru mengemuka kembali dengan situasi manusia yang makin reflektif dan makin sadar akan hidup dan kehidupannya.

Simak juga:  Ngelmu Slamet

Manusia Jawa dengan sikap reflektifnya tercermin dari sikap laku prihatin yang terlihat dalam fenomen sosial. Demikian paling tidak dikedepankan Dr Damardjati Soepadjar, seorang filsuf Yogyakarta yang mendalami karya Sultan Agung ‘Sastra Gendhing’.

 

Mawas Diri

Nutupi, babahan hawa sanga, manekung mring kersaning Hyang Widi, mendengarkan suara, gejala alam, dan gejolak masyarakat, mengoreksi diri seraya  mangasah mingising budi, dan memasuh malaning bumi   dalam upaya hamemayu hayuning bangsa lan bawana. Artinya mengasah hati nurani, menghancurkan tindak dursila angkara murka demi melestarikan bangsa dan dunia.

Manusia diingatkan agar mawas diri, memeriksa diri.

Kraton merupakan simbol raja dengan singgasananya yang bila diproyeksikan tinggi adalah Allah dengan singgasana alamNya. Dan bila diproyeksikan lebih kecil menjadi badan ‘wadhag’ manusia dengan hati nurani yang meraja.

Di awal tahun Jawa atau Sura, badan wadhag atau wahana perjuangan ini perlu diperiksa untuk melanjutkan peziarahan manusia menuju ke pada Singgasana Allah. Untuk itulah diperlukan tapa ‘mbudheg, mbisu’ meneliti batin, menelaah gejala alam dan masyarakat untuk mendengarkan bisikan batin, nurani yang paling dalam agar dalam bekerja dan bertindak tidak tergelincir dari ‘wewaler’ -larangan dan norma kehidupan. Di sini tersirat pengekangan kendali hawa nafsu keserakahan, untuk tidak mengatakan bahwa manusia itu serba bisa. Manusia senantiasa diingatkan untuk bisa rumangsa  dan bukannya  rumangsa bisa. Sebab yang bisa segalanya itu hanyalah satu, yakni Dia yang menjadi sumber kehidupan manusia. Tanpa ridlaNya manusia tidak bisa apa-apa. Kalau manusia sampai congkak, sombong niscaya tidak bakalan bisa menghadapi hukum alam, bahwa suatu kelak ia harus  menghadapNya’. Hukum alam tak bisa dihindari oleh manusia cepat atau lambat. Yang selalu bisa dilakukan manusia hanyalah waspada dan selalu bersiap diri, berserah diri, menata hati, menata langkah menebar keharuman agar semerbak melingkupi segenap tumpah darah.

Simak juga:  Kelengkapan Srana Pasrahing Penganten

Rangkaian upacara ini biasa diteruskan dengan ‘siraman’ pusaka entah itu berujud kereta ataupun pusaka senjata.

Disini kembali manusia diingatkan untuk mensucikan wahana perjuangan (kereta-badan wadhag) dan mengasah nurani dan otak untuk bisa lebih kuat ‘memayu hayuning bawana’. Senjata yang diibaratkan dengan keris mensimbolisasikan senjata manusia modern sekarang ini untuk berjuang melawan tantangan hidup. Keris hanya sarana peringatan manusia akan hidupnya.

Simbol-simbol yang tercuat dalam peringatan Sura perlu dicuatkan dalam nuangsa kebangkitan manusia akan pemahaman budaya kultural-spiritual yang pada akhirnya memantapkan jati diri bangsa sebagai bangsa yang berbudaya dan bermoral sekaligus mempunyai jiwa spiritual yang tinggi.

Dengan demikian, Sura sebenarnya bulan untuk Allah, bulan paling baik yang harus diserahkan khusus untuk kepentingan Allah. Oleh karena itu disebut sebagai Srawana, Sura, rizal, sinar, terangp-Nur. (Ki Juru Bangunjiwa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *