Digambarkan pula jika ada seseorang yang diakui mempunyai kelebihan, namun sehari-hari tidak suka menonjolkan diri (seperti keris dan warangkanya, maka semakin teballah kepercayaan siapa pun terhadapnya.lain dengan seorang yang suka menonjol atau ditonjolkan, lama-lama pasti merasa bosan, begitu jua yang menyaksikannya. Curiga yang dimiliki seseorang setidak-tidaknya mempunyai daya tarik entah tangguh yang baik, atau memang ada sebab lain. Dengan hadirnya curiga di dalam lingkungannya itu pastilah yang memiliki berubah menjai orang yang selalu ingin meneliti meliling barang kepunyaannya. Tidak jarang yang dengan sadar atau tidak terlepas ucapan maupun tindakan yang tujuannya supaya diketahui atau diakui, bahwaia mempunyai apa-apa yang orang laint idak memiliki. Sikap seperti inilah yang kerap menjadikan para Empu ragu melepas milik yang berharga itu. Oleh karena itulah banyak pusaka yang hilang lenyap tak tentu rimbanya. Bisa juga empu membawa keris ciptaannya sampai liang kubur. Bahkan tak jarang yang lebur bersama di dalam tungku api yang bernyala.
Tindakan empu ini memanb patut disayangkan tetapi tak perlu disalahkan. Sebab kemahiran empu bukan untuk mengejar kemewahan atau ketenaran. Yang dikerjakan empu adalah demi kewibawaan bangsa dan negaranya, di samping kewibawaan rajanya.
Dengan demikian supaya seimbang harus terjadi gayung bersambut. Artinya, bilah keris itu harus mendapatkan tempat yang layak agar bermanfaat.
Keraguan para empu juga beralasan. Tidak semua anak cucu bisa menggunakan warisan leluhur dengan baik. Bisa jadi juga disalahgunakan. Oleh karena itulah keindahan keris dan tosan aji lainnya patut mendapatkan tempat yang layak agar tetap elok dan mempesona. Tidak saja mempesona bentuk dan rupanya, tetapi mempesona arti dan makna simbolisasinya, sehingga tidak mustahil keris yang baik bisa menjadi peninggalan yang tinggi nilainya.
Tetapi nilai yang tinggi itu tidakalah berarti bahwa bena atau keris itu mempunyai kehidupan sendiri yang harus dikeramatkan. Menebalkan kepercayaan terhadap barang buatan sesama manusia, belumlah bisa dibenarkan kalau kepercayaannya itu menjurus hanya kepada benda itu, yang dalam anggapannya benda itulah yang memberi apa-apa kepadanya. Benda itulah yang bisa menjadi penawar dukanya dan lain-lain. Selagi manusia yang hidup , yang bisa jadi pencipta, semua dibatasi jarak hidupnya. Apalagi yang hanya bersifat benda, pastilah akan tetap menjadi benda mati sebelum hidup, dan tetap tidak akan hidup. (Ki Juru Bangunjiwa)