Fajar Santoadi, orang Yogya dan pernah mengajar di Universitas Sanata Dharma, kini tinggal di Malaysia. Dari Balkon Apartemennya lantai 6, sehingga latar belakang kerlap-kerlip kota terlihat, meniup seruling dan melagukan puisi karyanya yang termuat dalam buku ‘Mata Air Hujan di Bulan Purnama’, di Sastra Bulan Purnama edisi 104, dalam seri Poetry Reading From Home # 2, yang disiarkan secara ‘live’di youtube, Jumat, 8 Mei 2020.
Penampil lain, Kidung Purnama dari Ciamis, yang tampil untuk closing ditemani seorang pemetik gitar, membacakan puisi karyanya, dan puisi kedua ia lagukan. Suaranya jelas dan enak didengar.
Dari kota Tasikmalaya, Sahaja Santayana, membacakan dua puisi karyanya, mungkin dari kamarnya, terlihat ada lemari dan kabel di dinding. Atau yang lain, Heru Mugiarso, dari Semarang, membackan puisi di ruang perpustakaan pribadinya, sambil memegang mikropon, yang lampunya menyala, sehingga melalui chat digoda oleh teman yang melihat acara live, di antaranya oleh Sulis Bambang, perempuan penyair dari Semarang.
“Mas Heru, kapan-kapan aku pinjam mikroponnya ya” kata Sulis Bambang.
Pembacaan puisi seri Poetry Reading from Home memang bisa dilakukan di mana saja, tidak harus di dalam rumah. Ada yang membacakannya di tepi sawah, dekat dengan jalan raya sehingga suara kendaraan mengiringi pembacaan puisinya seperti dilakukan Ruhan Wahyudi dari Madura. Atau di ruang terbuka yang lain, sehingga suara angin yang cukup kencang ikut masuk dalam rekaman, setidaknya seperti dilakukan Nok Ir dari Madura.
Ada juga yang membacakan puisi di antara tanaman, mungkin di halaman rumahnya, seperti dilakukan Kurnia Setyo Wulansari deari Temanggung, atau membaca puisi dengan latar belakang batik, seperti dilakukan Yanti S.Sastro dari Semarang. Pendek kata, berbagai tempat dipilih untuk membacakan puisi karyanya yang terkumpul dalam buku ‘Mata Air Hujan di Bulan Purnama’ untuk merayakan peluncuran buku tersebut secara digital, sebab tidak memungkinkan untuk bertemu secara langsung di Tembi Rumah Budaya, seperti tiap bulan purnama diselenggarakan.
Buku yang judulnya sudah disebut di atas merupakan buku antologi puisi seri sastra tembi.net, yang diterbitkan setiap tahun di bulan Mei, dan diluncurkan di Sastra Bulan Purnama. Buku tersebut merupakan seri ketiga. Seri pertama berjudul ‘Kepada Hujan di Bulan Purnama’ (2018), seri kedua: ‘Membaca Hujan di Bulan Purnama’ (2019).
Ons Untoro, koordinator Sastra Bulan Purnama, yang sekaligus mengasuh rubrik sastra tembi.net menjelaskan, bahwa setiap jumat, di rubrik sastra ditayangkan 5 puisi karya dari seorang penyair yang dipilih, dari sejumlah puisi yang masuk, dan setiap tahun, pada bulan mei puisi diterbitkan dan diluncurkan di Sastra Bulan Purnama.
“Untuk bulan Mei 2020 karena pendemi corona bisa mengancam siapa saja, peluncurannya dialihkan secara digital” ujar Ons Untoro.
Ada sekitar 33 penyair yang tampil dari 50 penyair yang puisinya masuk dalam buku puisi. 33 penyair tersebut dari kota yang berbeda, dan dari segi usia juga bervariasi. Ada yang masih muda usia 20-an tahun, dan ada yang usianya sudah lebih dari 60 tahun, bahkan mendekati 70 tahun.
Poetry reading from home ditafsirkan beragam, kata ‘home’ tidak selalu berarti didalam rumah, tetapi lebih untuk tidak berkumpul dengan banyak orang, sehingga pilihan ‘home’ bisa beragam. Ada yang memilih di tepi sawah, ada yang menghambil di ruang tamu, ada yang mengambil tempat di teras, ada yang di luar rumah, tetapi tidak jauh dari rumahnya. Dalam konteks ini, home memliki arti yang tidak tunggal.
Meskipun masing-masing penyair telah merekam pembacaan puisi dari lokasi yang dipilih, dan tidak jauh dari rumahnya, tetapi pertunjukkan secara digital dilakukan ‘live’, sehingga setiap yang melihat bisa saling interaksi memberi komentar, dan setelah selesai ‘live’ masih bisa dilihat di youtube melalu chanel Sastra Bulan Purnama, Poetry Reading From Home. Sampai sabtu siang tanggal 9 Mei 2020, terhitung satu hari setelah ‘live’ ada 430 pengunjung, yang melihat acara tersebut.
“Pengunjung di youtube lebih banyak ketimbang acara Sastra Bulan Purnama digelar, yang biasanya hanya dikunjungi 100 orang, kadang lebih dan terkadang kurang” ujar Ons Untoro.
Namun, acara sastra, yang dikunjungi 100 penonton atau lebih, bahkan di atas 50 penonton, sudah termasuk banyak. Karena, meskipun sifatnya pertunjukkan, acara sastra bukan sepenuhnya hiburan seperti pertunjukkan musik, lebih2 musik ndang dut atau campursari. Pertunjukkan sastra selalu menyertakan permenungan, sehingga kalau tidak suka terhadap sastra, agak susah untuk diminta melihat, dan Sastra Bulan Purnama, yang diselenggarkan setiap bulan, selalu ada orang yang hadir, meskipun hujan lebat menyertainya. (*)
Mantap Mbak Yanti -batik 16