Yeni Fatmawati, seorang perupa dan penyair, dan memiliki profesi sebagai konsultan hukum, tinggal di Jakarta akan pameran tunggal karyanya di Tembi Rumah Budaya, jl. Parangtritis Km 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Pembukaan pameran akan dilakukan Jumat, 10 Januari 2020, pkl 19.00 dan akan berakhir 17 Januari 2020. Acara pembukan ini akan diisi pembacaan puisi dari 49 penyair yang ada di dalam buku ‘Kepak Sayap Waktu’, dan Landung Simatupang akan membacakan 3 puisi Yeni Fatmawati.
Selain itu ada penampilan pertunjukan yang disebut ‘Dialog Puisi Terpasung’ oleh dua perempuan penyair: Naning Pranoto dan Dhenok Kristianti. Komunitas Jazz mBensenin akan mengolah puisi Yeni Fatmawati menjadi lagu.
Yeni dalam tahun yang berbeda telah melakukan sejumlah pameran, termasuk pameran di Gallery Nasional. Ini kali, untuk mengawali tahun baru Yeni pameran tunggal dengan tajuk ‘Mozaik Kehidupan’, menampilkan lebih dari 10 karya lukis dalam ukuran 120 x 120 m. Suwarno Wisetrotomo, seorang kurator dan pengajar di Pasca Sarjana ISI Yogya menuliskan pengantar dalam buku katalog pameran Yeni Farmawati.
Dalam tulisannya Suwarno Wisetrotomo menyebutkan, Yeni Fatmawati seorang penjelajah; melintasi sekian banyak hobi dan profesi. Belajar ilmu hukum, memahami tata kelola (manajemen) bisnis, berada dalam lingkaran dalam pergulatan politik, menulis puisi, dan melukis. Sebuah modal yang demikian besar untuk dikapitalisasi
“Memahami latarnya yang demikian berlapis-lapis minat, dalam penghayatan saya, kerja melukis merupakan semacam interupsi yang membetot energinya. Apa yang tak tertuliskan dalam puisi, tumpah menjadi bentuk dan warna dalam lukisan. Apa yang tak terwakilkan oleh bentuk dan warna, tertuliskan dalam larik-larik puisi” Ujar Warno, panggilan akrab Suwarno Wisetrotomo
Bagi saya, demikian Warno menyampaikan, lukisan-lukisan Yeni menawarkan drama yang lembut. Dengan segera dapat dikenali bentuk-bentuk dalam lukisan itu; kucing, bebek, capung, kolam, kursi, atau potret diri. Kucing-kucing itu bukan sedang berkelahi, berebut, atau saling menyerang, tetapi tengah bercanda atau bercakap lembut. Bebek-bebek itu juga tampak normal dan bahagia. Demikian pula capung, meski ia ringkih dan terancam, tetap saja memberikan keindahannya pada dunia.
“Pilihan Yeni terhadap jenis hewan dan cara mengolah warna-warna, tentu saja sebuah pesan. Karena kita dapat bertanya, mengapa ia tidak tertarik melukiskan singa, celeng, kerbau, atau ular, misalnya. Mengapa pula Yeni demikian sungguh dan penuh mengolah warna-warna sebagai penanda tempat satwa-satwa itu berada? Pesan yang segera dapat diduga adalah, bahwa Yeni menghadirkan jenis satwa yang sangat ia kenali, dan lebih dari sekadar kenal, ia mendapatkan pencerahan ‘nilai kehidupan tersembunyi’ dari satwa-satwa itu. Dan warna-warna itu, mungkin suasana hati, suasana pikirannya, atau merupakan upaya agar pesan-pesan tersembunyi itu sampai secara renyah dan gembira” kata Warno
Ons Untoro, yang menyelenggarakan pameran ini di Tembi Rumah Budaya menyebutkan, bahwa pameran seni rupa ini sekaligus menerbitkan antologi puisi karya 49 penyair dari berbagai kota.
“Angka 49 menunjukkan usia Yeni sehingga pameran dan penerbitan antologi puisi sekaligus untuk menandai hari kelahiran Yeni” ujar Ons Untoro.
Yeni Sendiri mengaku, momentum kultural ini merupakan bentuk dari ucap syukur, pada usia saya yang ke 49 tahun, ingin menyajikan karya lukis dan puisi bersama teman2 penyair dari berbagai kota.
“Peristiwa budaya dalam bentuk pameran dan peluncuran antologi puisi ini merupakan upaya berbagi apa yang saya rasakan dan pikirkan kepada teman2 dan kepada publik yang lebih luas” ujar Yeni Fatmawati. (*)