Pernyataan tersebut saya kemukakan di depan para lansia yang menjadi peserta Pelatihan Menulis dan Mengarang untuk Lansia se-Kelurahan Tegalpanggung, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta, Kamis (5 Desember 2019). Pelatihan berlangsung di Kantor Kelurahan Tegalpanggung.
Saya kemukakan kepada para peserta, sampai hari ini memang masih ada pandangan bahwa untuk menulis atau menjadi penulis itu diperlukan bakat secara khusus. Bahkan masih banyak yang percaya dengan pendapat yang salah seperti itu. Sehingga ketika diminta untuk menulis, ada yang mengatakan dirinya tidak mempunyai bakat menulis. Akibat dari pendapat dan pemahaman yang salah tersebut, minat banyak orang untuk tertarik ke dunia penulisan menjadi minim atau masih sangat sedikit. Terlebih para lansia, sangat sedikit yang berminat ke dunia penulisan tersebut.
Padahal, kata saya lagi, sesungguhnya untuk menulis atau menjadi penulis, tidak diperlukan bakat khusus. Siapa pun bisa menjadi penulis, melalui proses belajar, berlatih dan mengasah kemampuan diri. Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai dunia penulisan, karena menulis itu bisa dipelajari.
Senam Otak
Sebagai ‘guru’ atau pemberi materi dalam pelatihan itu, saya tentu bangga dengan semangat dan antusiasme para peserta yang sebagian besar berusia 60 tahun ke atas. Apalagi, sebagian peserta berstatus nenek-nenek.
Sebelum acara dimulai, saya beruntung sempat mendengar seorang peserta melontarkan kesannya.
“Tumben baru kali ada kegiatan senam otak bagi lansia. Biasanya selama ini, yang selalu dilakukan untuk lansia adalah senam fisik atau senam olahraga itu,” kata salah seorang peserta perempuan, Emmy Yuliati.
Rasanya, apa yang dilontarkan salah seorang peserta itu bukanlah hal yang berlebihan. Menulis (dalam konteks berkarya) bagi lansia memang bisa dijadikan sebagai “senam otak”. Karena dengan menulis, maka seseorang akan menggerakkan otak atau pikirannya untuk bekerja. Otak akan bekerja dan bergerak karena harus mencari ide atau tema tulisan. Setelah ide atau tema diperoleh, otak akan bekerja lagi, bagaimana mewujudkan ide tersebut menjadi sebuah tulisan.
Pendek kata, selama proses penulisan, dari mencari tema, mengumpulkan data atau referensi, sampai menulisnya, otak terus bekerja, terus bergerak.
Bagi lansia, “senam otak” bisa menjadi terapi, agar otak atau pikiran tetap cemerlang, tetap sehat. Bisa dijadikan terapi untuk menghindari kepikunan, atau memperlambat datangnya kepikunan.
Keinginan para lansia untuk mengisi hari-hari tuanya dengan menulis, bagi saya, sudah merupakan sesuatu yang menarik. Apalagi kalau kemudian para lansia peserta pelatihan sepakat pula untuk sesegera mungkin menunjukkan hasil bahwa keikutsertaan mereka dalam pelatihan tidak sia-sia. Artinya, segera akan mewujudkan karya-karya tulisan.
Para peserta pun sepakat untuk mengumpulkan karya-karya tulisan mereka dalam sebuah buku. Dan, buku itu pun nantinya segera diterbitkan. Judulnya pun sudah siap, Tua Itu Indah.
Sungguh, kegembiraan saya akan memuncak bila hasil dari para lansia menulis itu nantinya benar-benar terwujud dalam buku “Tua Itu Indah”.
Mari kita tunggu!***
Sutirman Eka Ardhana
Tulisan ini telah dimuat di ekaardhana.wordpress.com (7/12/2019)