MENYONGSONG DITETAPKANNYA HARI KERIS NASIONAL 25 NOVEMBER
Negeri ini bakal punya Hari Keris Nasional setelah 25 November 2005 UNESCO mengangkat Keris sebagai warisan budaya dunia tak benda, UNESCO memberikan penghargaan: A Masterpiece of the Oral and Integible Heritage of Humanity. Dunia telah mengakuinya sementara di negeri sendiri masih kelihatan asing.
Keberadaan keris yang sedemikian melekat pada diri masyarakat Nusantara, sehingga keberadaannya senantiasa dianggap penting dan sering dimuliakan. Keris menjadi salah satu karya budaya atas kristalisasi nilai nilai dan tuntunan hidup mulia yang tercermin dari ungkapan “Curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, Jumbuhing kawula lan Gusti” , yang artinya bahwa bilah keris yang menyatu dengan warangkanya dan warangka yang menyatu dengan bilahnya merupakan simbol menyatunya hamba dengan Tuhannya.
Keris merupakan sarana membangun kesadaran manusia agar senantiasa ingat dengan Tuhan YME. Keris kemudia sering kali dihadirkan sebagai kelengkapan upacara keagamaan sebagai simbol kesadaran untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan selaras dengan agama dan kepercayaannya masing masing.
Pandangan masyarakat Jawa, Bali, Lombok dulu menganggap sempurna dalam hidupnya apabila mempunyai Wisma-rumah simbol kemapanan, wanita, simbol jaminan keturunan, curiga, simbol ketajaman pikir dan kelembutan hati, kreatif dalam tindakan , turangga/kuda jabatan atau kendaraan simbol wawasan yang luas serta kukila-burung sebagai simbol ucapan yang patut didengar dan dicerna.
Masyarakat Nusantara mendudukan keris sebagai sipat kandel atau sesuatu yang diandalkan untuk mempertebal kepercayaan diri dan senantiasa sebagai penolak bala.. Keris diyakini memiliki kekuatan atas daya daya ilahi yang dapat menghantarkan pada keselamatan.
Terdapat ungkapan Jawa” Sirikane Wong Jawa iku aja kok godha bojone, aja kok ladaki anake, lan aja kok cacat kerise,” yang artinya pantangan bagir orang Jawa adalah jangan digoda istrinya, jangan diganggu anaknya dan jangan dicacat kerisnya. Bila pantangan tersebut dilanggar maka mereka akan sangat tersinggung harga dirinya. Selain istri an anak, keris dianggap sebagai benda yang mewakili identitas dan kehormatan dirinya.
Keris secara visual terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian wilah atau bilah dan ganja yang melambangkan lingga dan yoni. Dalam falsafat Jawa yang memiliki akar senada falsafah Hindu, persatuan lingga dan yoni merupakan perlambang harapan atas keseuburan keabadian, kelestarian dan kekuatan. Keris dibuat dari dua, tiga atau beberapa macam logam yang ditempa menjadi satu. Bahan dasar bilah keris berasal dari bijih besi – bumi dan meteorit-angkasa yang mencerminkan perkawinan kosmis- Ibu Pertiwi-Bumi-Bapa Angkasa simbol hubungan manusia/ hamba dengan Tuhannya. Campuran berbagai macam logam dengan teknik tempa menghasilkan ornamentik baik abstrak ataupun figurative pada permukaan bilah keris yang disebut pamor. Terdapat berbagai ragam motif pamor indah yang sarat makna. Pamor berasal dari istilah dalam bahasa Jawa ‘awor’ yang berarti mencampur yang dimaknai perkawinan kosmis yang selaras guna mencapai keindahan. Sementara pemahaman simboliknya mengungkap bahwa pamor adalah bersatunya doa, laku dan anugerah ilahi yang mewujud.
Keris selalu dikemas secara elok baik estetika luar dan estetika dalam. Secara estetika luar “tangible” keris memberikan keindahan visual yang secara matang melalui pola garap dhapur, pamor dan ricikan, kinatah dan sandangan yang selaras.
Secara estetika dalam atau “intangible” adanya kedalaman atas kepercayaan nilai nilai dan makna yang diimplementasikan dalam kehidupan sehri hari. Estertika dalam keris seringkali dipahami secara lebih mendalam pada kepercayaan kekuatan magi.
Keris dipercaya dapat memiliki kekuatan magi protektif-perlindungan deduktif, produktif kesuburan dan profetik-ramalan.
Makna nilai yang demikian mendalam kemudian keris didudukkan sebagai benda yang dianggap penting oleh masyarakat Nusantara.
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java menjelaskan bahwa laki laki Jawa yang tidak mengenakan keris ibarat telanjang. Masyarakat Minangkabau memiliki pandangan berbucana adat tanpa keris adalah budak. Demikian pula masyarakat Palembang menyebutkan yang tidak mengenakan keris adalah wong betino (perempuan). Hal serupa terjadi di Bali, bahwa berbusana tanpa ngadut-memakai keris atau duwung ibarat telanjang.
Sugeng Wiyono Al (Ki Juru Bangunjiwa): penulis berbagai buku tentang keris dari Misteri Pusaka Soeharto sampai Kitab Lengkap Keris Jawa, Dimensi Spiritualitas Nusantara. Tinggal di Bangunjiwa