Dalam pertunjukan sastra ini, 3 antologi puisi, masing-masig berjudul ‘Wajah Senja’ karya Yuliani Kumudaswari (Sidoarjo), ‘Jika Jakarta Libur Sehari’ karya Sudarmono (Bekasi) dan ‘Wajah Senja’ karya Ristia Herdiana (Jakarta) diluncurkan di Sastra Bulan Purnama, dan dibacakan oleh sejumlah penyair dan pembaca puisi lainnya, tentu termasuk dibacakan oleh penyairnya sendiri.
Tampil pada segment pertama, Sudarmono, seorang penyair yang sekarang tinggal di Bekasi, tetapi asalnya dari Sorobayan, Bantul, Yogyakarta, membacakan 2 puisi karyanya, dan disusul, Dedet Setiadi seorang penyair dari Ngluwar, Magelang.
“Saya ini tidak bisa membaca puisi dengan baik, tetapi kalau menulis puisi, pasti puisi2 saya baik” kelakar Dedet sebelum membaca satu puisi karya Sudarmono.
Setelah Dedet, tampil Tosa Santosa, seorang penyelenggara fashion show, dan memiliki kegemaran membaca puisi, tampil membawakan dua puisi karya Sudarmono. Tosa tampil secara fashionable, sambil membawa puisi yang dibungkus map warna pink, Tosa membaca dua puisi.
“Beberapa kali saya tampil membaca puisi di amphytheater ini, sampai hari ini saya selalu merasa ada sesuatu yang menggetarkan. Puisi bagi saya memang menggetarkan” ujar Tosa Santosa mengawali sebelum membaca puisi.
Pada segmen kedua, puisi karya Ristia Herdiana, selain dibacakan oleh penyairnya sendiri, juga dibacakan oleh Essy Masita, seorang disainer tekenal dari Yogya, dan juga dibacakan seorang penyair sekaligus pengusaha mie khusus untuk mie ayam, Syam Candra namanya.
Penampilan Syam Chandra selalu khas, dan seringkali tidak terduga. Dia membacakan tiga puisi karya Ristia Herdiana, dan yang unik dari Syam, setiapkali dia membaca puisi selalu melemparlan uang ditengah penonton, sehingga tak urung penonton yang duduk di depan akan mendapatkan rejeki.
Pada penampilannya kali ini, pada puisi kedua yang dia bacakan, Syam melemparkan beberapa lembar uang 50an ribu ke tengah penonton, dan hadirin yang duduk di depan ada yang maju mengambil uang yang dilempar. Ada yang mendapat dua lembar dan ada yang mendapat satu lembar.
Pada puisi ketiga yang dia bacakan, dengan ekspresi yang cukup kuat, Syam ‘menghidupkan’ puisi yang dibacakanya, sambil lagi-lagi melemparkan beberapa lembar uang 50an ribu ke penontn arah samping, dan lagi-lagi penonton mengambilnya. Syam seolah tak peduli, sambil terus membaca, sementara penonton riuh.
Pada segmnet ketiga, puisi Yuliani Kumudaswari, selain dibacakan oleh penyairnya, juga dibacakan secara duet oleh Yantoro dan Menik Sithik, juga dibacakan oleh seorang pemain teater, Nunung Deni Puspita dengan cukup ekspresif. Selain itu, puisi-puisi Yuliani diolah dalam bentuk pertunjukan, yang disebutnya sebagai menubuh-suarakan puisi, yang dilakuan oleh SangArt, yang dipimpin, seorang perempuan pemain teater Si Thenk namanya. Selain itu, empat puisi karya Yuliani Kumudaswari dibuat lagu oleh Nyoto Yoyok yang tampil bersama Ana Ratri sebagai vokal mengalunkan dua puisi menjadi lagu. Dua puisi yang lain digarap Giwang Topo, dan dipentaskan bersama Ambar sebagai vokal. Keduanya mengalunkan dua lagu puisi karya Yuliani Kumudaswari.
Jadi, Sastra Bulan Purnama edisi 94, bukan hanya bertabur cahaya rembulan, tetapi juga dihiasi tarian dan lagu puisi. (*)