Rabu , 11 Desember 2024
Penyerahan kenang-kenangan lukisan sketsa wajah Hj. Alimatul Qibtiyah karya Vincensius Dwimawan oleh Oka Kusumayudha, Pangarsa Abdi Dalem PWS (ft. Ist)

Diskusi Kebangsaan XXII: Perempuan di Politik, Tidak Sekadar Formalitas

HJ. ALIMATUL QIBTIYAH, M.SI, M.A, PH.D, KETUA LPP PP AISYIYAH

HARI ini kita akan bicara tentang perempuan dan politik. Sejak tadi malam saya sudah ngeshare ke beberapa grup, quote saya di WA grup adalah memperingati Hari Ibu dengan kegiatan yang substantif. Itu quote saya sudah saya sebar ke Indonesia raya, karena saya sebagai salah satu pengurus di Pimpinan Pusat Aisyiyah dan juga anggota Tarjih Pusat Pimpinan Muhammadiyah, sudah share ke WA grup yang ada.

Baik, sebagai pengantar, perlu kita syukuri, achievement atau prestasi pelibatan perempuan di dunia politik Indonesia semakin hari semakin bagus. Kita sangat berterimakasih, dan itu juga saya rasakan ketika saya di beberapa negara itu, masih ada kurang terasa kebutuhan praktis perempuan itu terpenuhi. Nah, di Indonesia, dari data yang ada, dari 144 negara, alhamdulillah kita sampai ke peringkat 63 di bidang politik. Kemudian dari data yang ada juga di ASEAN, kita juga mempunyai peran yang signifikan, dan juga di internasional. Untuk data yang lain, dari 168, kita ada di angka 89. Kita berharap semoga tahun 2019 akan meningkatkan bagaimana peran politik perempuan di data-data yang ada.

Nah, kita sangat bersyukur karena ada kebijakan kuota 30%. Kenapa sih kok 30%? Kenapa kok tidak 40%, kenapa kok tidak 50%. Kenapa? Ya, karena saya dari akademisi, jadi banyak ceritanya tentang akademisi. Kenapa 30%, karena dengan angka 30% itu insyaallah minimal kita bisa melakukan perubahan. Jadi kalau eyel-eyelan di parlemen, eyel-eyelan di tempat perdebatan, itu dengan 30% akan bisa melakukan perubahan. Tapi kalau baru 10% tidak didengar. Maka kita harus bertekad memperjuangkan bagaimana 30% minimal itu, itu terpenuhi.

Kemudian kalau kita lihat perkembangan anggota DPR RI, itu semakin hari semakin meningkat walaupun di Pemilu terakhir turun, tapi ini tidak berarti keterlibatan perempuan itu turun secara politis. Tidak begitu. Nah, sekarang kalau kita bicara persoalan politik perempuan, bagaimana sih persoalan yang mendasar. Paling tidak ada beberapa hal, yang pertama kurang berperan secara substantif. Kalau Bu Win tadi banyak berperan secara substantif ya, insyaallah, tidak hanya nama saja, tidak hanya formalitas saja.

 

Tidak Sekadar Formalitas

Tahun yang dulu ada salah satu teman yang aktivis, perempuan, yang dirayu-rayu untuk ikut salah satu partai politik. Akhirnya masuklah dia dalam daftaran calon anggota legislatif. Tapi setelah acara Pemilu selesai, disapa pun tidak. Dia pun dapat suara berapa tidak tahu. Lalu curhat datang ke PSW, datang ke kami ya, Bu saya begini, begini, begini. Oke, itu berarti masih melibatkan perempuan bukan secara substantif. Tapi masih melibatkan perempuan secara formalitas dan juga administratif. Begitu. Semoga ini semakin berkurang di 2019, ya kadang-kadang masih ada satu dua, tapi semoga lebih banyak yang memang betul-betul kita mengikutkan perempuan itu diharapkan mempunyai kontribusi untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Nah kedua, dunia politik masih dianggap dunia laki-laki. Yang ini juga karena ada pemahaman yang dikotomis antara publik dan domestik. Jadi seolah-olah yang namanya dunia politik itu adalah dunia laki-laki. Sehingga perempuan itu, wis ta kowe kuwi kanca wingking saja, begitu kan ya. Tidak berhak untuk ikut memutuskan persoalan. Padahal dari literatur yang saya baca, dari riset yang ada, kalau kita belajar Antropologi gender Jawa, yang paling berperan itu sebenarnya ibu daripada bapak. Jadi misalnya, kalau di meja tidak ada makanan itu yang mencari utangan itu ibu, bukan bapak. Ya kan? Tapi nanti ketika misalnya urusan lamaran, baik yang melihat calon mantunya itu seperti apa, dan sebagainya, itu ibu. Bapak itu tinggal acara resmi nanti, iya saya terima lamaran. Tapi komplit pekerjaan banyak dilakukan oleh ibu.

Sehingga ini termasuk kritik saya kepada feminis Barat, yang mengatakan perempuan Indonesia itu dengan menjadi ibu rumah tangga, itu powerless. Siapa bilang? Ndak! Wong perempuan Jawa itu kalau marah itu bisa nyambelnya itu lombok rawit dibanyakin kok. Ada otonomi kekuasaan untuk mengatur rumah tangga. Sehingga tidak benar dikatakan bahwa pilihan ibu rumah tangga di Indonesia itu lebih tidak punya power daripada bapak. Karena kadang-kadang sering ada pemahaman yang dikotomis antara publik dan domestik.

Nah, selanjutnya adalah persaingan dengan proporsi terbuka. Kita sangat bersyukur, lalu ini direspon dengan sistem zig-zag ya, yang mana tiga, satu di antaranya harus perempuan. Coba kalau itu terbuka lebar, kira-kira ya perempuan entah nomer berapa begitu. Yang itu bisa merugikan perempuan karena memang asumsinya tadi masyarakat bahwa politik itu adalah dunia laki-laki.

 

Peran Substantif Politisi Perempuan

Sekarang satu persatu kita lihat peran substantif politisi perempuan. Keterbukaan akses perempuan di ranah publik sebenarnya tidak secara siginifikan mengubah peran politik perempuan secara substantif. Salah satunya, 37,3% calon perempuan, hanya 17,3% yang jadi. Jadi yang tadi saya sampaikan, hanya beberapa itu sebagai pupuk bawang. Tetapi kita tidak bisa memungkiri sebenarnya juga banyak politisi-politisi perempuan yang berperan secara substantif, secara apa yang seharusnya.

Simak juga:  Bung Karno dan Pancasila (2) : "Mufakat, Tempat Terbaik Memelihara Agama"

Nah, di beberapa kasus tadi sudah saya sampaikan, bahwa perempuan dipilih karena alasan kedekatan dengan tokoh-tokoh politik sebelumnya. Karena ketenaran dan juga memang dibutuhkan secara jumlah untuk memenuhi persyaratan. Yang penting tenar, mungkin, dan ini banyak berlaku di beberapa tempat ya. Jadi kadang-kadang mau berdebat saja tak tahu, aturan yang berlaku tidak tahu. Bahkan dulu pernah ada perbedaan antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif saja tidak tahu. Tapi bisa jadi anggota DPR, misalnya. Waduh, ini ya kami sebagai aktivis perempuan ya prihatin gitu.

Mudah-mudahan semakin hari kualitas politisi perempuan ini ya semakin bagus, sehingga kalau masuk ke dunia politik itu bukan karena persoalan perempuannya, tapi memang dia punya visi, punya kualitas yang ingin memperjuangkan kepentingan rakyat. Baik, kemudian ini penggunaan identitas perempuan. Mohon maaf saya agak memilih dua kata ini, mak-mak versus ibu bangsa. Saya tadi pagi, tadi malam mempersiapkan slide ini saya lihat google. Mak-mak, mohon maaf ya bukan karena ini mayoritas PDIP atau salah satu ya, bukan itu, tapi saya secara akademisi akan melihat penelitian, hasil penelitian secara fair. Saya menco-ba melihat kata mak-mak ini, ini di gambar-gambar kok ada yang punya persepsi negatif. Salah satunya yang sering terkenal ini ya, sign kanan masuk apa, kiri gitu ya. Walaupun di situ juga ada sih mak-mak yang punya potensi positif. Tetapi ketika saya googling, ibu bangsa, image gitu ya, kok saya coba yang stereotipe negatif kok ndak ada ya. Mohon maaf, ini saya pegawai negeri harus netral. Tapi ini hasil penelitian yang barusan saya lihat untuk melihat versi mak-mak dengan ibu bangsa.

Karena kalau saya lihat tulisan yang ada, mak-mak itu kan untuk meraih suara menengah ke bawah. Cuma sayangnya kata mak-mak itu, di berbagai masyarakat itu dikonotasikan sesuatu yang sakarepe dhewe, sesuatu yang, misalnya kayak contoh ini ya, Bu kok gak pakai helm? Kok nanya Pak, mbok helmnya itu dipinjamkan ke saya saja, kok ndadak nanya-nanya gitu lho. Ini kan seolah-olah perempuan ini tidak tahu aturan kalau naik motor itu harus pakai helm. Lah, ini dipakai untuk simbol mak-mak, sehingga ada arti negatif di gambar itu. Kalau saya google ibu bangsa kok kebanyakan ya ndilalahe ya, dari riset yang ada itu kok positif-positif walaupun ada gambar yang ingin mencoba menggabungkan antara mak-mak menjadi ibu bangsa.

Hari ini kita memperingati Hari Ibu dan sebenarnya di satu kilometer dari sini, itu di Dalem Joyodipuran, sekarang ada peringatan Kongres Perempuan, sebenarnya saya juga diundang di sana. Jadi tempat di mana Kongres Perempuan I itu diadakan itu di Dalem Joyodipuran yang tempatnya tidak jauh dari sini.

Jadi yang saya lihat tadi ibu bangsa relatif tidak banyak negatif stigmanya di dunia maya dan di masyarakat. Sementara istilah mak-mak itu tadi atau gambar-gambar yang menunjukkan sisi-sisi negatif stereotipe, gitu ya. Nah, dunia politik masih dianggap sebagai dunia laki-laki. Hal ini didasarkan beberapa penafsiran agama yang kontekstual dan juga budaya patriarki yang ada di masyarakat. Sebenarnya begini, ini saya pernah nulis sumbang-sih atau kontribusi suami di dalam mendorong politisi perempuan yang berhasil. Itu saya pernah menulis di Suara Aisyiyah, beberapa saya sampaikan di sini.

Sebenarnya pada posisi jika seorang istri mempunyai modal ketangguhan dalam memimpin, bernegosiasi dan juga mempunyai visi perubahan untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik, sang suami atau anggota keluarga itu seharusnya mendukungnya, bukan malah merasa tersaingi. Karena kadang-kadang dipakai dalil-dalil tertentu, arrijaalu qawwamuna ala nisa (lelaki itu pemimpin bagi wanita) dan sebagainya untuk tidak membolehkan perempuan itu masuk ke dunia publik.

Oke, saya akan putarkan video dua menit. Ini video yang kami buat dari UIN. Kita punya 40 macam video seperti ini, dengan berbagai macam isu, nah karena hari ini isunya politik, maka akan saya tampilkan satu video tentang kepemimpinan perempuan yang itu masih menjadi problem di masyarakat, karena mereka masih menganggap kepemimpinan itu adalah laki-laki. (Pemutaran video singkat).

Ini salah satu upaya kami untuk bagaimana mencoba melakukan penafsiran yang berbeda, yang selama ini ada di masyarakat, yang mana kita tunjukkan, Allah saja mengakui kok negara baldatun toyyibatun ghoffuur, yang disitir Pak Idham tadi, itu dipimpin oleh Ratu Bilqis. Kenapa kita kemudian melakukan penolakan terhadap kepemimpinan perempuan. Jadi seorang pemimpin kalau dia mampu, mempunyai kualitas yang bagus, punya retorika yang bagus, tidak korupsi, maka itu kemudian akan bisa dan layak untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin di dunia apapun, di level apapun karena kepemimpinan itu identik dengan persoalan politik, gitu ya.

Nah, persaingan terbuka tadi sudah saya sampaikan kalau sistemnya itu sangat terbuka, kemungkinan perempuan akan tersisih. Tapi kalau kita tetap akan menggunakan model zig-zag yang mana tiga, satu di antaranya perempuan, maka insyaallah mudah-mudahan perempuan kemudian bisa ikut tambah di proses pemilihannya. Nah, apa yang harus dilakukan? Kalau seorang menjadi seorang pemimpin, atau menjadi tokoh di dalam politik, apa yang harus dilakukan? Yang pertama menawarkan model keberhasilan-keberhasilan politisi perempuan menurut prinsip keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Politik yang ramah, politik yang dengan bahasa santun, politik yang amanah dan politik-politik yang mencerminkan kelembutan tapi juga tegas. Tapi kadang-kadang juga ada jiwa keibuannya itu muncul, tapi kadang-kadang bisa juga kudu galak, gitu ya. Ya kalau memang salah ya kudu galak, sehingga ada perpaduan antara kelembutan dengan ketegasan. Kelembutan dan ketegasan di dalam sosok politisi perempuan.      Yang kedua, mengidentifikasi dan membuat kebijakan yang peduli kepada kepentingan-kepentingan khusus perempuan. Baik itu kebutuhan praktis maupun kebutuhan biologis, perempuan-perempuan dan juga kelompok-kelompok rentan lainnya. Karena di beberapa kasus itu diabaikan. Kayak yang tadi disampaikan oleh Bu Win, beliau sudah mencoba untuk mengidentifikasi dan melakukan kebijakan program-program yang mengarah kepada kebutuhan perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Simak juga:  Teknik Sunat Electrical Cauter dan Bahayanya

Saya punya pengalaman, dan dalam hal itu saya bangga menjadi warga Indonesia. Sebulan yang lalu, mohon maaf, saya lagi nggarap sari dan tidak terduga, karena lima hari lebih awal datangnya, saya capek. Di bandara internasional Istambul. Saya itu mau nyari pembalut, di sepuluh toko tidak ada. Tapi pencukur jenggot itu ada di mana-mana. Saya pergi ke informasi, kemudian ke sekuriti, akhirnya ke visa arrival. Ada pembalut, tapi harus bayar visa 25 dollar. Ini harganya pembalut itu 1 dollar, visanya 25 dollar? Saya sebenarnya ada juga uang, tapi gini, “Saya tak punya uang untuk beli visa”, saya bilang gitu. Bagaimana ini, the world still belong to man in this country. Saya bilang, dunia ini masih milik laki-laki. Namanya kepanjangan jenggot itu masih bisa ditunda besok. Tapi kalau menstruasi, di mana menundanya? Should take my hijjab for this. Saya bilang, haruskah saya melepas jilbab untuk saya pakai sebagai pembalut? No, no, no! So please help me, saya sudah marah.

Akhirnya, “Tolong, ini saya kasih uang, saya tunggu di sini. Tolong saya dibelikan,” kata saya. Akhirnya, petugas visa itu keluar pakai sekuriti melewati passpord check, lalu dia membelikan. Ternyata ada di bandara itu, tapi tidak di internasionalnya. Lha ini kan sensitivitas kebijakannya itu. Di Indonesia, saya coba ada. Saya langsung ketika di Jakarta, “Ada pembalut nggak?” Ada, ada. Ada gampang sekali mencari di sini itu.

Dua minggu sebelumnya, ganti teman saya yang punya kasus di Cairo. Tidak semua pom bensin itu juga jual ternyata. Harus pergi ke pasar dan jauh sekali. Ini kita walaupun berada di hotel bintang 5, di depan ada pedagang kaki lima pasti menyediakan. Jadi pembalut itu sebanding dengan rokok. Kalau jual rokok ya jual pembalut. Kayaknya gitu ya kalau di Indonesia. jadi mudah sekali.

 

Membawa Perubahan

Maka memang betul ini ya, mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang ramah dan sesuai dengan kebutuhan perempuan, itu menjadi suatu yang penting. Kita berharap hal ini tidak hanya dimiliki oleh politisi perempuan, tapi juga politisi laki-laki pun juga harus mempunyai perspektif yang begitu. Ya, kebutuhan praktis laki-laki dan perempuan. Ya menekankan adanya perbedaan akan kehadiran perempuan di dunia politik, dengan menunjukkan kehadiran perempuan dalam meningkatkan kualitas perpolitikan. Kita harus merasakan bagaimana kehadiran politisi perempuan ini bisa betul-betul membawa perubahan.

Termasuk misalnya guyonan-guyonan yang seksis itu. “Malam Jumat dong.” Apa hubungannya malam Jumat dengan foto perempuan-perempuan cantik itu. Nah, sebagai seorang politisi harus singkat saja, memang ada apa kalau malam Jumat dengan perempuan cantik? Mana laki-laki gantengnya? Kadang-kadang ikon perempuan itu dipakai untuk guyonan-guyonan. Yang itu nggak enak banget gitu kita sebagai seorang perempuan dipakai guyonan seperti itu. Itu juga harus sensitif, politisi perempuan harus sensitif untuk tidak ada guyonan-guyonan yang sifatnya menjadikan tidak nyaman bagi salah satu jenis kelamin.            

Kemudian, apa yang harus kita lakukan? Yang pertama, keluarga memberikan dukungan anggota keluarga perempuan untuk berkiprah di dunia politik. Sebenarnya tidak hanya terbatas pada partai politik atau lainnya, di mana pun ada kehidupan politik, ya. Jadi kata feminis, personal is political, itu bisa betul-betul diimplementasikan. Saya saat ini sebagai Wakil Dekan II di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Itu juga butuh perjuangan politik di situ, karena saya PNS ya, jadi berpolitiknya di area-area struktural begitu. Nah, sebagai civil society, mendorong, dan mengapresiasi keberhasilan politisi perempuan. Kemudian politisi dan pemerintah melaksanakan kebijakan minimal kuota 30% secara substantif, tidak hanya sekedar pupuk bawang tadi. Akademisi, tokoh agama, memberikan informasi yang komprehensif tentang kepemimpinan perempuan dan memberikan penafsiran keagamaan yang egaliter.

Jadi kalau semua elemen ini bareng-bareng, insyaallah kehidupan Indonesia, kehidupan dunia ini akan menjadi lebih baik. Saya pikir itu, terimakasih dan selamat Hari Ibu semuanya dan juga selamat kepada Bapak-bapak yang sudah mengapresiasi anak perempuannya, istri-istrinya, ibunya, dengan suatu kehormatan yang luar biasa. *** (SEA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *