Dari segi menu makanan misalnya, kita bisa menikmati masakan berbagai cina, coto Makasar, menu Bali, Aceh, masasakan Padang, menu dari Batak, menu dari Thailand, Jepang, Korea dan lainnya. Namun kita tahu, menu lokal, yakni gudeg tidak hilang, dan penggemarnya tidak hanya orang Yogya. Masing penikmat menu bisa menikmati berbagai menu dari daerah lainnya, itu artinya perbedaan di terima oleh berbagai kalangan.
Tak hanya itu, selain banyak masjid dan gereja, di Yogya bisa ditemukan beberapa Klenteng, dan upacara Imlek dirayakan. Orang Yogya tidak alergi terhadap perayaan itu, malah ikut terlibat dan menikmati, apalagi ada barongsai dipertunjukkan, di ruang ebuka, sehingga semua orang dari daerah yang berbeda, bisa saling berinteraksi sambil melihat pertunjukkan barongsai dan perayaan Imlek.
Tidak ketinggalan, para perupa Yogya ikut merayakan imlek. Mereka menyajikan karya seni rupa yang merespon hari raya imlek, dan disebutnya sebagai Pameran Seni Rupa Imlek, yang diberi tajuk ‘Kosen’. Kata ini jarang dipakai, dan mungkin orang tidak lagi mengenali, namun bisa ditemukan dalam KBBI, Kris Budiman, seorang pengajar di Program Kajian Budaya dan Media UGM, ketika ditanya soal kata itu menyebutkan artinya: . gagah, berani, ampuh.
“Saya coba cari kata itu dalam KBBI dan ada di sana, artinya kata itu pernah kita kenal, dan jarang dipakai” katanya dalam berbincang sambil melihat karya seni rupa Imlek.
Dalam pembukaan pameran, yang diselenggarakan, Jumat, 1 Februari 2019 di Bentara Budaya, Jl. Suroto, 2, Kotabaru, Yogyakarta, dipertunjukan barongsai sehingga nuansa imlek tidak lepas. Namun juga ada musik, yang dimainkan oleh kelompok lain, dengan lagu-lagu umum, termasuk lagu barat, dengan demikian kita bisa merasakan, bahwa nuansa imlek berinteraksi dengan nuansa kultur lainnta.
Pameran diselenggarakan tidak lama, karena memang untuk merayakan imlek, makaa seharu setelah imlek tepatnya 6 Februari 2019. Pameran berakhir dengan meninggalkan kesan penuh kedamaian dalam perbedaan.. Terasa cepat memang, namun kita bisa tahu sekaligus merasakan, bahwa pameran Seni Rupa Imlek ini adalah upaya untuk merawat keberagaman. Bukan hanya di Yogya, tetapi di Indonesia, dan dari Yogya, melalui karya seni rupa, kita bersama merawat keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia.
Para perupa yang ikut pameran memiliki latar belakang berbeda-beda, ada yang berasal dari Bali, seperti Putu Sutawijaya, dari Semarang, Yuswantoro Adi dan dari kota-kota lainnya, yang kini tinggal di Yogya. Mereka seperti bersepakat, melalui seni rupa perbedaan tidak boleh menjadi masalah. Karena mereka, para perupa, saling menyadari, bahwa karya dari masing-masing perupa juga memiliki perbedaan. Jadi, pameran seni rupa imlek sekaligus untuk merayakan perbedaan.
Karya yang ditampilkanpun bermacam-macam visualnya. Setiap perupa mencoba merespon identitas Tionghoa yang dikenalinya. Ada yang mengambil menu makanan Cina, ada yang ‘memotret’ gapura area pacinan di Yogya, dan yang menampilkan kisah film Cina yang akrab ditayangkan di televisi, ada yang menangkap khas dari pakaian Cina dan berbagai macam visual lainnya.
Yang hadir dalam pembukaan pameran seni rupa imlek tidak hanya para perupa, dan juga tidak hanya warga Tionghoa yang tinggal di Yogya dan merayakan Imlek. Warga masyarakat penggemar karya seni, dan tidak alergi terhadap perayaan imlek ikut merayakan.
Hujan deras mengguyur Yogya, dan pentas musik dalam pembukaan pameran, diwarnai suara hujan, sehingga petikan gitar dan lagu yang dinyanyikan harus bersaing dengan suara hujan yang cukup deras. Padahal jarum jam belum menujuk pukul 8 malam, hujan telah mengguyur dan orang tidak bisa pergi keluar dari area pameran. Untungnya, pembukaan pameran dilakukan sore hari sekitar pukul 5, namun begitu petang tiba, hujan deras menyergapnya.
Dan ditengah hujan deras, kita bersama merawat kebhinekaan melalui karya seni rupa. (*)