Terus terang saya tertarik dengan pertanyaan seorang mahasiswa di dalam kelas beberapa waktu lalu. Mahasiswa itu bertanya, “Saya pernah mendengar sebutan manajemen konflik. Nah, apakah di dalam pengelolaan media massa ada juga yang disebut manajemen konflik itu?”
Kalau saya, terus terang memiliki pengalaman terlibat di dalam manajemen konflik itu. Setidaknya, pengalaman itu saya alami atau peroleh di lebih dari dua media. Karena saya punya pengalaman tentang itu, maka pertanyaan mahasiswa saat kuliah Manajemen Media Massa tersebut dengan cepat saya jawab.
Saya katakan kepada mahasiswa, ada satu jenis manajemen di media massa yang tidak ditemukan di buku-buku referensi tentang media massa, yakni manajemen konflik. Dengan kata lain, memang ada media massa yang memakai manajemen konflik dalam proses pengelolaannya.
Saya pun menjelaskan, bila ada media massa yang menggunakan manajemen konflik, biasanya itu dibangun atau digunakan oleh direksi. ‘Konflik’ itu diciptakan di jajaran redaksi. Sehingga di jajaran redaksi terdapat kelompok-kelompok, yang satu sama lain akan bersaing. Karena adanya kelompok-kelompok itu, maka redaksi tidak solid, tidak kuat, tidak bersatu.
Bila redaksi kuat, bersatu, dan solid, itu bisa jadi ancaman bagi direksi. Jika redaksi solid dan kuat, redaksi bisa tidak sejalan dengan kebijakan-kebijakan direksi. Bisa saja keinginan direksi tidak dilaksanakan oleh redaksi.
Ini kata saya, pada mahasiswa. Apa yang saya katakan itu berdasarkan pengalaman, setidaknya di tiga media.
***
SAYA punya pengalaman menarik dalam kaitan manajemen konflik itu ketika bekerja setidaknya pada tiga media. Tapi ada satu pengalaman yang menurut saya ‘luar biasa’, mengejutkan, sekaligus menyedihkan, di sebuah media yang terbit di luar Yogya.
Media tersebut semula terbit seminggu tiga kali. Boss media itu mengajak saya masuk ke media tersebut. Ketika saya masuk, tidak ada satu orang pun di jajaran redaksi, maupun perusahaan yang saya kenal. Kecuali pemimpin umumnya atau boss di media itu. Sebagai orang baru, saya benar-benar diistimewakan. Saya diberi posisi atau tugas mengerjakan tugas-tugas pemimpin redaksi, padahal media itu masih punya pemimpin redaksi.
Ternyata, lama-lama pemimpin redaksi itu tidak betah juga dengan posisinya, yang tidak berbuat apa-apa. Ia mundur. Maka terjadilah perubahan jabatan. Si boss menempatkan dirinya sebagai pemimpin redaksi, dan saya sebagai orang kedua. Tapi praktis sayalah yang melakukan tugas-tugas Pemred itu.
Padahal para redaktur dan wartawan, merupakan bawaannya Pemred terdahulu. Maka terjadilah keguncangan, yang lambat laun membuat kondisi media menjadi tidak kondusif. Sejumlah redaktur dan reporter ikut mengundurkan diri. Kondisi itu dijadikan alasan oleh si boss untuk menghentikan penerbitan.
Setelah media berhenti, tak berapa lama kemudian si boss bertemu saya dan mengatakan alasan sebenarnya dia membawa masuk saya ke media itu.
“Saya hanya ingin menghentikan penerbitannya,” kata si boss.
Maka berceritalah ia panjang lebar. Ketika medianya terus merugi dan tidak berkembang, dia sudah merencanakan untuk menghentikan penerbitan. Tapi dia gengsi, kalau alasan menghentikan karena modal sudah menipis. Dia khawatir kredibilitasnya sebagai pengusaha akan terganggu. Maka dia rancanglah cara agar muncul suatu permasalahan yang menurutnya bisa dijadikan alasan.
Lalu didatangkanlah ‘orang asing’ ke media itu. Dan, orang asing itu diberi posisi yang menentukan kebijakan di media. Pemimpin redaksinya tentu saja tersinggung, karena tidak diajak bicara, sehingga dia mundur.
Celakanya, ‘orang asing’ yang didatangkan untuk membuat media itu menjadi runyam tersebut adalah saya.
Saya terkejut dan sedih. Tapi juga tersenyum dan tertawa. Mentertawakan kekonyolan diri sendiri, karena telah dijadikan ‘alat’ untuk menghentikan penerbitan suatu media.
Nah, paling tidak, pengalaman saya itu membuktikan memang ada media massa yang menerapkan manajemen konflik. *** (Sutirman Eka Ardhana)