Aku menghela napas.
“Bagaimana dengan Mas Pras tadi? Lancar-lancar saja?” tanya Warni kemudian.
“Kami berjanji akan pulang sama-sama, War,” jelasku.
“Pulang ke desa?”
“Ya.”
“Kapan?”
“Mungkin Rabu nanti. Mas Pras janji akan menjemputku Rabu pagi.’
“Akan berapa lama kau di desa?”
“Entahlah, aku belum tahu pasti. Aku ingin melepas rinduku dulu kepada anak-anakku. Nanti, setelah rasa rindu itu berkurang, baru aku ke sini lagi.”
“Sebaiknya jangan terlalu lama kau berada di desa. Nanti semakin banyak yang merasa kehilangan dan patah hati.”
“Ah, kau mengada-ada saja, War.”
“Buktinya nanti yang akan berbicara, Yat.”
“Bukti? Bukti apa?”
“Buktinya, tamumu yang gendut itu pasti akan kecewa karena kau tidak ada,” tawa Warni berderai. Tawaku juga.
“Belum lagi Mas Bram. Dan, yang lainnya,” tambah Warni.
Mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakan Warni. Paling tidak, ada yang merasa kecele karena aku tidak ada. Namun, semuanya bukan penghalang untuk rencana kepulanganku ke desa. Kerinduan pada Gagah dan Wanda, adalah segala-galanya bagiku.
“Kalau kau jadi pulang nanti, jangan lupa oleh-oleh dari desamu,” ujar Warni seraya bangkit dari duduk dan melangkah keluar kamar.
**
HARI-HARI berlalu begitu cepat. Hari Rabu telah tiba, padahal rasanya baru kemarin aku berjanji dengan Mas Pras untuk pulang ke desa.
Kurapikan lagi pakaian di dalam tas dan koper kecil yang kutata malam harinya. Hampir semua pakaian yang kuanggap bagus kubawa. Foto almarhum Mas Bim dan foto anak-anakku juga ikut kumasukkan ke dalam koper.
Dan, boneka cantik yang bisa menangis pesanan Wanda, yang siang hari sebelumnya kubeli di Malioboro, kumasukkan dalam tas plastik khusus. Sementara enam stel pakaian baru, masing-masing tiga untuk Gagah dan tiga untuk Wanda, kumasukkan dalam tas tersendiri pula.
Cuma ini yang kusiapkan untuk kubawa pulang sebagai oleh-oleh buat anak-anakku. Sebenarnya aku ingin membawakan banyak lagi. Namun kupikir akan lebih menyenangkan bila kuajak Gagah dan Wanda untuk memilih apa yang mereka inginkan masing-masing. Karenanya, lebih baik nanti beli di kotaku saja. Tidak lupa kusiapkan juga oleh-oleh untuk kedua orangtuaku, yang sudah bersusah-payah menjaga anak-anakku.
Menjelang pukul sembilan pagi Mas Pras datang.
“Bagaimana, sudah siap?” tanya Mas Pras.
Aku mengangguk.
Aku lalu berpamitan kepada Mami Narti, Warni, Wiwien, Lisa, Erna, Aniek dan lainnya.
“Kalau sudah selesai kangennya pada anak-anakmu, cepat-cepat ke sini, ya,” ujar Mami Narti ketika mengantarkanku sampai ke halaman kopel.
“Kalau si gendut itu datang, ada pesan apa?” Warni berbisik di dekat telingaku diiringi tawanya. Aku pun tertawa.
Bersama Mas Pras, aku melangkah meninggalkan kopelku, dan dilepas dengan lambaian tangan Warni, Mami Narti dan yang lainnya.
Ketika mobil yang dikemudikan Mas Pras melaju meninggalkan komplek resosialisasi wanita tuna susila yang sudah berbulan-bulan kuhuni itu, sempat terbesit tanya di hatiku — akankah aku datang lagi ke tempat ini nantinya? (TAMAT)