Belum sempat Warni berbicara lagi, di depan teras sudah muncul Mas Pras. Karena asyik berbicara dengan Warni, sampai-sampai aku tidak melihat Mas Pras datang. Mas Pras tersenyum melihat aku dan Warni seperti terkejut ketika menyadari ia sudah berada di depan teras kopel.
“Sudah ditunggu dari tadi lho, Mas Pras,” Warni langsung berkata begini.
“Ah, kau ini bisa-bisanya mengarang, Dan war,” sergahku.
Lagi-lagi Mas Pras tersenyum.
Semula terlihat Mas Pras ingin duduk di bangku teras bertiga. Tapi, belum sempat ia duduk, Warni sudah terlebih dulu mencegahnya. “Jangan duduk di sini. Langsung saja Yat, bawa Mas Pras ke kamarmu,” katanya.
Mas Pras jadi membatalkan niatnya untuk duduk.
“Ayo sana, Yat. Bawa Mas Pras masuk,” Warni mendorongku.
“Bagaimana Mas, mau duduk-duduk di sini dulu, atau langsung ke dalam?” aku terpaksa bertanya seperti ini kepada Mas Pras.
“Duduk-duduk di sini saja dulu,” kata Mas Pras sembari duduk di sebelahku.
Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Suasana ramai dan semarak kembali terlihat di malam Minggu ini. Suara lagu-lagu dangdut dan pop berdentangan dari kopel-kopel. Sementara di teras kami bertiga asyik berbincang-bincang.
Warni yang lebih banyak berbicara dengan Mas Pras, sedangkan aku hanya sesekali saja menimpali perbincangan mereka. Kemudian datang Wiwien, Erna dan Aniek ikut bergabung di teras. Pembicaraan menjadi hangat, karena sering diselingi derai tawa.
Akan tetapi, mendadak Warni mencolek lenganku.
“Lihat siapa yang datang,” katanya berbisik di telingaku.
Aku memandang ke depan. Darahku tersirap seketika. Betapa tidak! Di depan teras tampak jelas Mas Bram sedang melangkah masuk. Dadaku berdebar keras. Ketika melangkah masuk, Mas Bram terlihat melontarkan senyumnya.
Mas Bram langsung masuk dan disambut Mami Narti. Terdengar Mami Narti mempersilakannya untuk duduk.
Terus terang, aku jadi gelisah dibuatnya.
Ketika dadaku didera gelisah itu, Mas Pras berkata pelan, “Aku ingin istirahat di dalam.”
Ia lalu berdiri, dan bahagia aku tentu tidak bisa mencegahnya.
Mas Pras melangkah masuk ke dalam. Warni mendorongku untuk segera mengikuti Mas Pras.
“Ayo, ikuti Mas Pras ke dalam,” desaknya.
“Aku jadi tidak enak dengan Mas Bram,” kataku gelisah.
“Sudah terpepet seperti ini. Sana, ikuti saja Mas Pras ke kamar.”
Dengan dada berdebar, aku menyusul Mas Pras. Ketika lewat di dekat kursi tamu, meski lidahku terasa kelu, aku terpaksa berkata kepada Mas Bram, “Maaf Mas, saya masuk dulu.”
Aku tidak tahu, bagaimana perubahan di wajahnya mendengar kata-kataku itu.
Di dalam kamar, setelah melepas sepatu dan kaos kaki, Mas Pras langsung merebahkan dirinya di tempat tidur.
“Copot saja kemejanya, nanti kusut kalau dibawa tidur,” kataku.
Mas Pras mengikuti saranku. Ia duduk kembali, kemudian melepas kemejanya. Kemeja itu kuambil dan kugantungkan di gantungan pakaian dekat pintu kamar.
Aku di samping Mas Pras berbaring dengan perasaan tidak sepenuhnya tenang. Ya, perasaanku masih belum sepenuhnya tenang. Masih belum sepenuhnya tenteram. Masih ada risau dan gelisah di dadaku. Kehadiran Mas Bram telah mengganggu pikiranku dan membuatku gelisah.
Dia tentu merasa kecewa, karena aku tidak menyambut kedatangannya. Bahkan kemudian masuk ke kamar dengan lelaki lain. Entah apa saja yang sedang berkecamuk di dalam hatinya begitu melihatku masuk ke kamar bersama Mas Pras.
Tapi, seharusnya dia tahu bahwa beginilah kehidupan di komplek pelacuran. Siapa datang lebih awal, maka dialah yang lebih dulu dapat. Jadi, tidak seharusnya kecewa. Tidak seharusnya tersinggung.
Akan tetapi, kalau dia mau bersabar, atau benar-benar memang hanya ingin bersamaku, tentu dia akan sabar menunggu di kursi tamu. Namun, kasihan juga bila dia menunggu di luar. Menunggu sesuatu yang belum pasti. Menunggu Mas Pras keluar dari kamarku. Kapan? Berapa lama? Pukul berapa?
Mendadak muncul wajah Mas Bram yang tertunduk lesu dan kecewa di kursi tamu. Terbayang raut wajahnya yang dibalut kecewa.
“Sebenarnya sudah sejak kemarin aku ingin ke sini, Sum. Tapi begitu ingat pesanku agar aku datang pada malam Minggu, ya, apa boleh buat terpaksa kutahan saja keinginan itu. Padahal, aku kangen berat lho, Sum,” kata Mas Pras membuyarkan bayangan wajah Mas Bram. (Bersambung)