Aku masih belum bisa menjawab. Isakku makin mengencang. Tubuhku seakan terguncang dibuatnya.
“Sudahlah, jangan menangis. Sekarang katakan pada Mami, kenapa kau tadi sampai bersikap seperti itu?” bujuk Mami Narti, seperti seorang ibu sedang membujuk gadis kecilnya yang merajuk dan menangis.
“Dia itu pembunuh suami saya, Mam. Dia dan kawan-kawannya telah menembak suami saya. Dia telah memisahkan saya dengan suami saya. Dia telah menghancurkan hidup saya. Telah menghancurkan kehidupan anak-anak saya,” jelasku sambil terisak.
“Apa memang benar begitu? Apa kau tidak salah lihat!”
“Ya, Mam. Begitulah yang terjadi. Lelaki itu memang benar-benar pembunuh suami saya. Saya tidak salah lihat.
Karena sebelum suami saya ditembak, lelaki itu terlebih dulu bertemu dengan saya. Dan, tadi tadi ia pun sudah mengakuinya,” isakku masih belum reda.
Mami Narti terdiam. Hanya tangannya masih tetap mengelus-elus lenganku.
“Seharusnya kau tadi bisa menahan diri sedikit,” ujar Mami Narti.
“Saya sudah berusaha, tapi tidak bisa. Sejak dia masuk, saya sudah langsung mengenalnya. Ketika itu emosi saya sudah bangkit. Tapi saya masih berusaha menahannya. Bahkan Warni pun berusaha keras agar saya tidak emosi. Oleh karenanya Warni lalu mengajak saya jalan-jalan dan beli bakmi. Ketika pulang, saya pikir dia sudah tidak ada.
Ternyata masih di sini. Saat itulah emosi saya muncul lagi dan sulit terkendali. Saya sangat sakit hati kepadanya. Saya sangat dendam. Karena dia telah membunuh suami saya. Telah merampasnya dari saya. Lelaki itu kejam. Pembunuh kejam,” jelasku di antara isak tangis yang belum hilang.
“Apakah dulu kasus pembunuhan suamimu itu tidak ditangani polisi?”
“Tidak, Mam. Polisi tidak pernah menanganinya. Bahkan tidak akan pernah.”
“Kenapa!”
“Karena ketika itu disebutkan bahwa suami saya sebagai seorang gali atau preman. Ketika itu dinyatakan juga bahwa suami saya ditembak karena berusaha melarikan diri saat akan ditangkap. Dan, mereka yang membunuh suami saya itu mengaku sebagai petugas. Jadi, suami saya mati sia-sia begitu saja, Mam. Tidak ada proses hukum untuk kasus itu,” isakku masih belum berhenti.
“Mereka menuduh suami saya itu sebagai preman. Padahal setahu saya, tidak. Sebagai istrinya, saya tahu betul apa yang dilakukan oleh suami saya setiap harinya. Memang di bulan-bulan terakhir menjelang kematiannya, suami saya sering dimintai tolong untuk menagih hutang-piutang,” uraiku lagi.
“Jadi, tamu yang bersama Lisa itu tadi seorang petugas?” masih Mami Narti yang bertanya.
“Mengakunya begitu. Mereka mengaku sebagai petugas. Namun, saya meragukan kebenaran pengakuan itu. Saya tidak yakin kalau petugas main tembak begitu saja. Kalau mereka petugas, berarti mereka itu adalah penegak hukum. Tapi apa mungkin penegak hukum melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum!”
“Menyedihkan juga.”
“Tidak hanya menyedihkan, Mam. Tapi menyakitkan dan menghancurkan. Makanya sampai hari ini hati saya sangat sakit. Sangat perih. Sangat hancur. Karenanya begitu melihat salah seorang dari para pembunuh suami saya ada di kopel kita, emosi saya spontan meninggi. Saya benar-benar marah. Saya benar-benar ingin membalas rasa hancur dan sakit hati itu,” ujarku.
“Mami dapat memahami semua itu, Yat. Mami dapat memahami bagaimana gejolak perasaanmu atas peristiwa yang menimpa suamimu itu,” ujar Mami Narti. “Tapi Mami sangat berharap, peristiwa seperti tadi jangan sampai terulang lagi. Cukuplah itu saja,” tambahnya.
Isak tangisku mulai berkurang. Pelan-pelan aku kembali menetralisir diri.
“Ya, sudahlah kalau begitu. Sekarang berhentilah menangis. Tenangkanlah dirimu. Kalau nanti dirimu masih bisa menerima tamu, ya silakan. Tapi, kalau memang tidak bisa, ya, jangan paksakan diri. Istirahat sajalah dulu. Mami pikir, sebaiknya kau memang istirahat saja dulu malam ini, Yat. Dan, jangan terima tamu dulu. Nanti, kalau kau terima tamu, pasti kau masih belum bisa tersenyum. Wajah marahmu pasti belum hilang,” Mami Narti menepuk-nepuk bahuku
Aku sudah mulai tenang. Emosiku pelan-pelan mengendap. Mami Narti tampak tersenyum melihat perubahan di wajahku. Juga Lisa dan Warni.
“Maafkan aku, Lis. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Aku hanya ingin meluapkan emosi dan dendamku pada tamumu itu tadi. Karena dia itu pembunuh suamiku,” kataku kepada Lisa.
“Oh, tidak apa-apa. Aku maklum, kok. Seandainya itu terjadi pada diriku, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama,” ujar Lisa.
“Hanya saja, dia pasti akan berani datang lagi ke sini,” timpal Warni.
“Tidak datang, juga tidak apa-apa ya, Lis. Cuma satu tamu ini. Tamu lainnya kan masih banyak,” Mami Narti ikut juga menimpali.
Lisa tersenyum. Aku lega melihat senyum Lisa itu. Semula kuduga ia akan marah karena tamunya kiper lakukan seperti itu. ** (Bersambung)