Lelaki itu semakin gugup. Kepanikan terlihat jelas di wajahnya. Ia tentu sangat terkejut mendengar kata-kataku itu. Kata-kata itu tentu di luar dugaannya. Ia pasti tidak mengira jika aku akan mengatakan tentang larangan bagi petugas, seperti tentara dan polisi, masuk ke komplek pelacuran. Apa yang kukatakan itu memang tidak mengada-ada. Di dekat pintu masuk komplek memang terpasang jelas papan pemberitahuan yang menyebutkan petugas dilarang masuk ke komplek, terkecuali petugas yang sedang menjalankan tugas pemeriksaan.
“Kamu bukan petugas! Tapi pembunuh! Pembunuh suamiku! Pembunuh ayah dari anak-anakku! Pembunuh! Pembunuh kejam!” teriakku semakin tidak terkendali.
Lelaki itu terkejut. Ia tentu tidak mengira aku akan berteriak lepas kendali seperti itu.
Dadaku memang benar-benar dibakar amarah. Emosiku sedang memuncak dahsyat. Aku ingin meloncat, menerkam dan menerjang ke lelaki itu. Tapi, Warni dengan cepat menangkap pinggangku. Demikian pula Mami Narti dengan cepat menahan lenganku. Sementara Lisa dan Wiwien terlihat menarik cepat lelaki itu dan menggeretnya keluar.
“Mas, keluar saja cepat,” suara Wiwien setelah berteriak, seraya menarik tangan lelaki itu. Dengan wajah panik, lelaki itu pun menurut saja apa yang diteriakkan Wiwien. Ia tampak bergegas melangkah keluar.
Aku tidak berhenti di situ. Melihatnya melangkah keluar, spontan aku ingin mengejarnya. Namun langkahku dihadang Warni, Mami Narti, Wiwien dan Lisa. Warni dan Wiwien memegangi kedua tanganku
“Lepaskan! Lepaskan! Aku ingin membalas sakit hatiku pada pembunuh suamiku itu. Lepaskan!” aku berteriak dan memberontak, berusaha melepaskan diri dari pegangan Warni dan Wiwien.
Beberapa orang terlihat masuk ke dalam kopel. Di antaranya pemilik kopel yang di depan. Sementara si teras, juga terdapat beberapa orang.
“Ada apa?! Ada apa?!” pemilik kopel yang di depan bertanya dengan penuh keheranan.
“Apa yang terjadi?!” tanya yang lain.
“Apa yang diributkan?;”
“Ada apa, Mbak?”
“Kenapa?”
“Siapa yang buat keributan di sini?”
“Mana orangnya? Masih di sini atau sudah pergi?”
Bermacam-macam pertanyaan muncul dari orang-orang yang datang itu.
“Oh, tidak ada apa-apa,” Mami Narti terlihat mencoba menjelaskannya.
“Apa ada tamu yang buat keributan di sini?” masih ada yang bertanya lagi.
“, Sudah. Sudah. Tidak ada apa-apa, kok,” ujar Mami Narti.
“Tapi, kenapa Mbak itu berteriak-teriak?”
“Hanya soal biasa saja, kok,” jelas Mami Narti seraya menyuruh Warni dan Wiwien membawaku masuk.
Warni dan Wiwien menarikku ke arah kamar. Semula aku masih berusaha melepaskan diri.
Namun, Warni membujukku, “Ayolah, Yat. Kita masuk ke kamar dulu. Apa kau tidak malu dilihat orang-orang seperti itu?”
Hatiku melemah juga. Kata-kata Warni membuatku mengurungkan langkah untuk terus mengejar lelaki itu. Aku pun kemudian menurut saja ketika digandeng Warni dan Wiwien masuk ke kamarku.
“Berbaringlah dulu, Yat. Redakan dulu emosimu. Kemudian tenangkan pikiranmu,” pinta Warni.
Kuturuti kata-kata Warni. Aku langsung menjatuhkan diriku di atas tempat tidur. Setelah itu, aku tidak mampu lagi menahan tangis. Tangisku meledak. Air mataku tumpah, bagaikan luapan bah yang tidak mampu dibendung. Warni berusaha menenangkanku.
Wiwien bergegas keluar dan kemudian masuk lagi sambil membawa segelas air putih.
“, Minumlah dulu, Mbak Yat,” kata Wiwien.
Seperti anak kecil yang sedang bersedih, aku pun menerima sodoran gelas air putih itu dan meminumnya. Dalam waktu bersamaan Mami Narti disertai Lisa muncul di pintu.
Dalam dugaanku, Mami Narti pasti akan marah. Ia pasti akan marah dengan apa yang telah kulakukan terhadap lelaki itu. Ia akan marah, karena aku telah membuat keributan dengan seorang tamu.
Ketika kudengar langkah Mami Narti mendekat, aku sudah siap untuk menerima kenyataan yang terjadi. Siap untuk dimarahi. Siap untuk disalahkan. Siap untuk dicaci-maki.
Dugaanku meleset. Dugaan bahwa Mami Narti akan marah ternyata tidak terwujud. Ketika sampai di dekatku, Mami Narti langsung duduk di tepi tempat tidur.
“Kenapa kau sampai bersikap begitu kepada tamu itu tadi, Yat?” tanya Mami Narti pelan seraya memegang tanganku.
Pertanyaan yang pelan dan terkesan lembut itu membuat perasaan haru semakin mengharu-biru hatiku. Aku semakin terisak. Dan, tangisku kian mengeras.
“, Kenapa, Yat? Kenapa?” tanya Mami Narti lagi. (Bersambung)