Novel karya Sutirman Eka Ardhana
Sialan! Ia melihat ke arahku. Mata kami saling bertemu. Ia tersenyum seraya mengerdipkan ujung mata kanannya. Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan ke tempat lain. Dan, kemudian duduk di sebelah Mas Pras.
Aku berharap Warni juga melihatnya. Ternyata tidak. Pandangan mata Warni tidak tertuju ke meja si gendut itu. Setelah memesan makanan dan minuman, Mas Pras pamit ke kamar kecil. Ketika itulah aku lantas meminta Warni untuk melihat ke samping kiri.
“Ada apa?”
“Lihat saja ke meja sebelah kiri sana.”
Warni lalu menoleh ke samping kiri.
“Apa yang kau lihat?”
“Si gendut, tamu yang menjadi pengagum beratmu itu, to?”
“Ya, si gendut yang menyebalkan itu.”
“Siapa perempuan yang bersamanya itu?”
“Barangkali istri atau mungkin pula simpanannya.”
Warni menoleh lagi ke arah mejanya.
“Dia bermain mata dan tersenyum kepadaku, Yat,” ujar Warni setengah berbisik.
“Ah, senyum yang membuat perutku bisa jadi mual.”
“Dasar lelaki hidung belang. Sudah ada perempuan di dekatnya pun, ia masih bisa-bisanya bermain mata.”
“Jangan diperhatikan terus, War. Nanti dia bisa besar kepala.”
“Justru aku ingin menggodanya di depan perempuan itu. Bila perempuan itu istrinya, nah, biar tahu rasa dia. Biar dia kena damprat oleh istrinya itu.”
Sehabis berkata begitu, Warni bangkit dari duduk dan berjalan ke arah dapur warung melewati dekat meja si gendut.
Aku sama sekali tidak menduga, jika Warni kemudian berhenti di dekat mejanya. Aku benar-benar terkejut dibuatnya. Dadaku berdebar kencang melihat ulah Warni seperti itu. Apa gerangan yang akan dilakukannya?
“Lho, si Om to? Saya pikir siapa. Apa kabar, Om? Kok lama tidak kelihatan? Sibuk ke luar kota, ya?” tiba-tiba terdengar kata-kata Warni seperti itu.
Aku sempat melihat perubahan yang seketika terjadi di wajah si gendut. Ia terlihat gugup, dan pucat. Wajahnya terlihat merah. Ia seperti menjadi salah tingkah. Sehingga kata-kata jawabannya atas rentetan pertanyaan Warni itu terbata-bata dan tidak jelas.
Meski kusesalkan perilaku Warni seperti itu, tapi aku merasa senang juga melihat perubahan yang terjadi mendadak di wajahnya. Nah, rasakan kau!
Dari dekat meja si gendut itu, Warni lalu menemui seorang pelayan warung. Ia berbincang-bincang sesaat. Tidak jelas apa yang dibicarakannya.
“Ah, jangan begitu, War. Kasihan perempuan yang bersamanya itu. Walau bagaimana pun kita harus jaga perasaannya. Seandainya itu terjadi pada dirimu, bagaimana?” kataku begitu Warni kembali lagi.
“Aku hanya ingin membalas perasaan jengkelmu terhadapnya saja.”
“Sudahlah, tidak usah ditanggapi, War. Kita pura-pura tidak melihatnya saja,”
Belum sempat Warni berkata lagi, Mas Pras sudah berada di dekatku. Bersamaan dengan itu pesanan makanan dan minuman pun datang.
Kami menyantap makanan yang dihidangkan. Sambil menikmati makanan, kucoba menoleh lagi ke arah lelaki gendut itu. Ternyata ia sedang berkemas-kemas untuk meninggalkan mejanya. Barangkali ia tidak betah juga berlama-lama di warung. Atau mungkin ia takut, Warni datang mendekatinya lagi dan membuat ulah.
Ketika dia dan pasangannya pergi, Warni mencolek lenganku.
“Ada apa?” tanyaku setengah berbisik.
“Dia pergi tergesa-gesa.”
“Tentu saja tergesa-gesa, karena takut kau akan datang lagi mendekat.”
Warni tertawa.
Di luar dugaan Mas Pras bertanya, “Ada apa?”
“Ah, tidak ada apa-apa,” kataku berbohong.
“Tapi kelihatannya sedang membicarakan tamu di sebelah sana.”
“Kok tahu?” Warni yang bertanya.
“Aku kan mendengarkan pembicaraan kalian tadi. Siapa dia?”
“Tamu setianya Warni,” aku mencoba bercanda.
Warni memukul pundakku. Derai tawanya pecah di warung. Pelayan dan beberapa tamu di warung menoleh ke meja kami, begitu mendengar Warni tertawa lepas.
“Kau bisa-bisanya sembunyi tangan seperti itu,” protes Warni.
Mas Pras pun ikut tertawa.
“Siapa dia, Sum?” Mas Pras bertanya lagi, tampaknya ia memang tidak puas dengan penjelasanku yang disertai tawa itu.
Aku sempat bimbang juga untuk menjawab.
“Siapa, Sum?” desaknya sambil mengunyah makanan.
“Tamu yang sering datang ke kamarku. Tamu yang menyebalkan. Tamu yang kubenci,” aku akhirnya berterus-terang.
“Kok benci?” tanya Mas Pras datar.
“Entahlah. Pokoknya aku tidak suka saja dengan dia. Kalau dia datang, aku selalu mencari cara untuk menghindar.
Kalau tak bisa menghindar, ya, apa boleh buat.”
“Ooo… begitu, to? Pantas kulihat ia beberapa kali melihat ke meja kita,” ujar Mas Pras dengan tekanan suara yang biasa-biasa saja. Tak ada kesan tersinggung, atau lainnya.
Menjelang petang kami turun ke Yogya.
“Cepat-cepat kita pulang. Siapa tahu si gendut sudah menunggu di sana,” gurau Warni dengan setengah berbisik di telingaku.
Aku tidak dapat menahan tawa. Aku dan Warni tertawa bersama. Dan, derai tawa itu lalu tertinggal di kesejukan Kaliurang. (Bersambung)