Novel karya Sutirman Eka Ardhana
Mobil sedan warna merah hati itu sudah menunggu. Dari kejauhan sudah terlihat sebuah mobil sedan berwarna merah hati berhenti di sisi kiri jalan. Dia pasti Mas Pras, pikirku.
Perkiraanku tidak meleset. Memang benar, Mas Pras yang menunggu di dalam mobil sedan itu. Ketika jarak becak dengan mobil itu tinggal duapuluh lima meter lagi, Mas Pras tampak keluar dari mobil. Mungkin dari balik kaca mobil, ia sudah melihat aku di dalam becak. Meski becak belum dekat betul, ia sudah melambai-lambaikan tangannya, meminta becak berhenti.
“Dia itu orangnya, Yat?” Warni masih sempat bertanya seperti ini, beberapa saat sebelum becak berhenti peta di depan mobil.
“Ya,” aku mengangguk.
“Wah, tampan juga,” bisik Warni.
Setelah turun dan membayar ongkos becak, langsung kuperkenalkan Warni kepada Mas Pras. Mereka bersalaman dan saling menyebutkan nama. Kemudian Mas Pras mempersilakan aku dan Warni masuk ke mobil.
“Kau duduk di depan saja, Yat. Biar aku di belakang,” ujar Warni.
Aku pun duduk di depan, di samping Mas Pras. Sedang Warni di jok belakang.
“Ke mana tujuan kita?” tanya Mas Pras setelah menghidupkan mesin mobilnya.
Lalu kusebutkan nama sebuah desa di pinggiran barat kota Yogya.
“Di desa itu suamimu dimakamkan?” masih Mas Pras yang bertanya, setelah mobil melaju di jalanan.
Mobil terus melaju di jalanan yang mulai padat dengan kesibukan lalulintas.
“Sudah berapa lama kau tak datang ke makam suamimu, Sum?” tanya Mas Pras lagi, ketika mobil berhenti di traffic light.
“Sudah lama, Mas. Semenjak aku di komplek itu, aku belum pernah datang ke makamnya,” jawabku.
“Kenapa tak kau sempatkan waktumu untuk datang ke sana?”
“Entahlah.”
Aku memang sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Ya, kenapa aku tak pernah menyempatkan waktu untuk datang ke makamnya Mas Bim? Padahal sudah berbulan-bulan aku berada di komplek resos pelacuran itu? Padahal saat datang bersama Gagah dan Wanda, ketika akan pulang ke desa dulu, aku sudah berjanji akan datang berziarah lagi. Kenapa?
“Kemarin saja, kalau tidak saya sarankan ia untuk ziarah ke makam suaminya, mungkin ya belum akan ke sana juga,” ucap Warni.
“Tapi, kau masih tetap ingat jalan menuju ke pemakaman itu kan, Sum? kembali Mas Pras bertanya.
“Ya, pasti ingat to, Mas. Seperti sudah berpuluh-puluh tahun saja tidak ke sana. Baru beberapa bulan,” jelasku.
“Nanti akan melewati dekat tempat tinggalmu dulu?”
“Melewati sih tidak. Tapi tidak terlalu jauh dari jalan yang akan kita lewati.”
Mendadak ada perasaan sedih muncul di hatiku, ketika menyebut tentang bekas rumah tempat tinggalku itu. Rumah tempat aku dan Mas Bim bertahun-tahun membangun kebahagiaan. Rumah yang sarat dengan kenangan. Kenangan manis dan pahit. Kenangan suka dan duka. Lalu, aku teringat kebun di belakang rumah. Dan, kolam yang menyimpan kenangan pahit tak terlupakan. Kolam tempat Mas Bim memancing. Kolam tempat Mas Bim ditembak sore itu.
Mataku terasa perih.
Mendadak pula ingatanku tertuju kepada Bu Irah, Mbak Wanti, Pak Darman, dan para bekas tetanggaku lainnya. Apa kabar mereka sekarang? Masihkah mereka dalam keadaan sehat?
Ah, bagaimana kalau aku bertemu mereka nanti? Apa yang harus kukatakan? Apa yang harus kuceritakan tentang diriku kepada mereka? Jangan-jangan di antara mereka sudah ada yang tahu pekerjaanku sekarang. Tahu, kalau aku kini menjadi perempuan murahan. Perempuan yang terpuruk di komplek resosialisasi pelacuran. Perempuan pelacur. Ah!
Betapa malunya, betapa terbinanya, bila mereka, bila Pak Darman, Bu Irah, Mbak Wanti dan lainnya, mengetahui bahwa kini aku jadi pelacur. Jadi perempuan tak berharga. Jadi perempuan yang berkubang kotor. Berkubang noda dan dosa. Dan, seandainya mereka tahu, apakah mereka masih mau menerima tegur sapaku? Apakah masih mau menerima uluran tanganku untuk bersalaman? Serta Bu Irah dan Mbak Wanti, apakah mereka masih mau memelukku?
“Kita sudah sampai ke desa tempat tinggalmu dulu. Sekarang lewat jalan yang mana?” pertanyaan Mas Pras membuyarkan lamunanku.
Desa dengan hamparan pepohonan rimbun itu memang sudah di depanku.
“Lewat jalan mana, Sum?” tanya Mas Pras lagi.
Aku baru sadar jika pertanyaan Mas Pras tadi belum dijawab.
“Kita belok ke kanan, nanti terus ke kiri,” kataku.
Setelah memberi kesempatan pada dua sepeda motor yang melaju dari arah barat, Mas Pras membelokkan mobilnya ke kanan, ke jalan desa yang di kiri-kanannya dipenuhi rerimbunan pohon bambu.
Kemudian belok ke kiri lagi, ke jalan desa yang sedikit agak sempit, tapi masih bisa dilewati mobil sedan. (Bersambung)