Novel karya Sutirman Eka Ardhana
Aku tak tahu, perasaan apa namanya yang berkecamuk dan bergejolak dalam hatiku. Ada gembira, malu, sedih, terharu, dan entah apa lainnya lagi.
Gejolak-gejolak itu semakin keras. Sehingga akhirnya aku tak mampu menahan gejolak untuk menangis.
Aku menangis. Kalau saja tidak ingat di ruang tamu ada Mami Narti dan lain-lainnya, suara tangisku pasti akan terdengar keras. Kuambil bantal. Lalu kubenamkan tangisku di bantal itu.
Terdengar langkah mendekat. Kemudian kurasakan sentuhan di pundakku.
“Sudahlah, Sum. Tidak usah menangis. Kenapa menangis? Aku datang kemari bukan untuk membuat dirimu sedih. Sama sekali tidak,” katanya pelan.
“Aku malu, Mas Pras. Aku malu. Aku malu sekali pada Mas Pras,” kataku dengan terisak-isak.
“Sudahlah….”
“Aku malu, Mas. Aku malu sekali. Aku malu, bahwa aku kini bukan Sumi yang seperti Mas Pras kenal dulu. Bukan seperti Sumi yang dulu selalu bersamamu itu. Kini aku telah menjadi perempuan kotor. Perempuan hina. Perempuan pelacur.”
Isakku kian mengencang.
“Sudahlah, Sum. Hentikan tangismu. Nanti kalau tangismu sampai terdengar di luar kamar, bisa dikira ada apa-apa zaman,” suaranya lagi.
Kata-kata itu terasa sejuk di hatiku. Dan, aku berusaha mengikuti kata-katanya dengan mencoba menghentikan tangis.
“Aku sengaja kemari untuk mencarimu, Sum. Kau tentu heran, dari mana aku bisa tahu kau berada di sini,” katanya ketika aku sudah melepaskan bantal dari wajahku.
“Ya, dari mana Mas Pras kalau aku berada di sini?” aku mencoba bertanya meski isakku belum sepenuhnya hilang.
“Semula aku belum yakin sepenuhnya kau berada di sini. Aku baru menduga-duga saja. Aku kan tinggal di Yogya ini juga, Sum. Beberapa waktu lalu aku pulang ke desa, dan sempat singgah di rumahmu. Ketika itulah aku diberitahu bila kau diajak Surti untuk bekerja di Yogya,” jelasnya.
“Tapi, kenapa Mas Pras lantas menduga-duga kalau aku berada di sini?”
“Ketika diberitahu kau diajak Surti, aku benar-benar terkejut. Sebab aku sudah tahu, apa yang dikerjakan Surti di Yogya. Suatu hari aku bertemu Surti di Malioboro. Ketika itu aku bersama seorang teman kerjaku. Nah, teman kerjaku itulah yang mengatakan bahwa Surti bekerja di komplek ini. Bahkan, menurutnya ia pernah bersamanya.
Atas dasar itulah aku menduga-duga, jangan-jangan kau telah dibawa Surti kemari. Ternyata, dugaanku tidak meleset. Aku benar-benar menemukanmu di sini,” ungkap lelaki yang kupanggil Mas Pras itu seraya duduk di pinggir tempat tidur, di dekatku.
“Sebelum ini, Mas Pras sudah pernah ke sini?” tanyaku sambil menyeka air mata yang masih membasah di pelupuk mata.
“Belum. Baru sekali ini, Sum. Kalau saja aku tak berniat mencarimu, aku tidak mungkin datang ke sini.”
“Tadi langsung ke kopel ini?”
“Oh, tidak. Aku tadi singgah dulu di kopel lain, sekadar minum dan mencari informasi tentang dirimu. Semula aku bertanya, apakah ada penghuni di sini yang berasal dari daerah kita. Di antaranya di kopel ini. Kebetulan aku langsung menuju ke sini. Aku sengaja melongok ke setiap kamar. Dan, ketika melongok di kamar ini, aku melihatmu. Begitu melihatmu, aku yakin bahwa yang kulihat itu adalah benar-benar dirimu.”
Aku menghela napas. Hening sesaat. Aku dan Mas Pras hanya saling pandang. Hatiku mendadak jadi kelu lagi.
“Sekarang Mas Pras sudah tahu bagaimana diriku sebenarnya. Terserah Mas Pras menilainya. Kalau mau membenciku, ya bencilah. Aku memang sudah siap menerima kenyataan seperti itu,” kataku dengan hati perih.
Mas Pras tidak mengalihkan pandangannya. Ia tetap memandangiku dengan tatapan seakan tak berkedip. Tatapan yang sudah lama menghilang. Tatapan yang dulu begitu sangat kukenal. Tatapan yang teduh.
“Kenapa kau berkata begitu, Sum? Aku tidak akan pernah bisa membencimu. Bagaimana pun keadaanmu, dan apa pun statusmu sekarang, aku tidak akan pernah membencimu,” katanya seraya kemudiaan mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar.
“Tapi, aku sudah kotor, Mas. Aku sudah hina,” suaraku memarau.
“Ah, sudahlah. Jangan berkata seperti itu lagi.”
Kurasakan air mataku kembali menetes. Kembali aku terisak. (Bersambung)