Novel karya Sutirman Eka Ardhana
Kalau soal menggoda atau meledek dan bercanda seperti ini memang pekerjaan Warni. Ada-ada saja yang bisa dijadikannya bahan bercanda.
“Bagaimana, kita jadi pergi, War?” tanyaku sambil merapikan diri di depan cermin.
“Terserah dirimu, Yat. Mau ziarah ke makam suamimu, ya, mari. Aku siap menemani. Tapi, kalau kau masih mau menunggu kedatangan pengagum beratmu itu tadi, ya, maaf saja, aku tak bisa ikut menemani,” Warni masih bercanda juga.
“Ah, kau ini War.”
Di depan cermin, aku menghias diri lagi. Dandananku memang sudah berantakan. Make-up yang ada di wajahku sudah habis. Sialan! Gara-gara tamu tak tahu diri itu, aku jadi berdandan lagi menjadi. Hah, semuanya jadi kacau! Rencanaku jadi nyaris terhambat! Padahal, aku sudah merencanakan datang ke makamnya Mas Bim dalam keadaan sedang bersih. Artinya, di saat badanku masih belum terjamah tangan lelaki. Karena itulah kurencanakan berangkat sebelum melayani tamu. Gerutuku beruntun di hati.
Mendadak aku jadi bimbang. Berangkat atau tidak? Sementara badanku sudah tidak bersih lagi. Sudah dikotori tamu si perut gendut itu.
Aku jadi termangu di depan cermin.
“Bagaimana? Jadi atau tidak?” tanya Warni mengagetkanku.
“Bagaimana, ya?” aku justru balik bertanya.
“Kok, malah bertanya?”
“Aku jadi ragu, War. Bagaimana, kalau kita tunda besok saja?”
“Kok?”
“Sepertinya aku tidak sreg pergi sekarang, War.”
“Kenapa?”
“Badanku sudah dikotori si gendut tadi. Padahal, aku ingin datang ke makamnya Mas Bim dalam keadaan sedang bersih,” jelasku.
Warni tak berkomentar. Ia hanya mengembangkan kedua tangannya sambil bersandar di tiang pintu.
“Maaf, War,” kataku.
“Tak apa-apa. Kalau hatimu tidak sreg pergi sekarang, ya, jangan dipaksakan. Kita bisa pergi kapan saja. Kalau kau sudah siap untuk pergi, beritahu aku. Aku siap menemanimu,” ujar W, kali ini ia terlihat serius.
“Dari pada berdiri di pintu, masuklah kemari, War,” ajakku.
Warni masuk, dan langsung merebahkan dirinya di kasur.
“Bagaimana, kalau besok saja, War?” tanyaku.
“Boleh juga. Tapi pagi-pagi, sebelum ada tamu yang datang mencarimu.”
“Sialan tamu itu tadi,” gerutuku.
“Sudah, jangan menggerutu terus. Nanti kau cepat tua.”
“Dongkol sekali aku dibuatnya. Dia telah merusak rencana kita.”
“Sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting, dia bayar. Dan yang penting lagi, dia tidak merugikanmu.”
“Tapi, aku tetap merasa dirugikannya, War.”
“Rugi apanya?”kejar Warni.
“Hatiku, perasaanku yang dirugikannya.”
“Apa sih sebabnya, sehingga kau begitu membenci tamu itu tadi? Padahal dia begitu menyukaimu. Sehingga kalau kemari, pasti kau yang dicarinya.”
Soal kenapa aku membencinya, kenapa aku tidak menyukai tamu gendut itu, memang belum pernah kukatakan pada siapa pun, termasuk Warni. Jadi wajarlah, kalau Warni melontarkan pertanyaan seperti itu.
“Setahuku, selama kau di sini, sudah lebih tujuh kali kau melayaninya. Maksudku, sudah tujuh kali dia ngamar denganmu. Jadi, soal berapa kali kau melayaninya, maaf, aku tidak tahu persis. Bisa sepuluh atau lima belas kali, kan? Dan, selama itu pula, kau belum pernah menceritakan padaku perihal ketidaksenanganmu kepadanya. Nah, sekarang katakanlah sebab-musababnya kepadaku,” ujar Warni lagi.
“Baiklah,” kataku.
Lalu, kuceritakan semuanya. Kuceritakan sejak awal, sejak pertama kali aku melayaninya. Kuceritakan tentang kekasarannya. Tentang kesewenang-wenangannya memperlakukan diriku. Tentang bagaimana ia menganggap rendah dan tidak berharganya harkat seorang perempuan yang menurutnya telah dibeli dengan sejumlah uang.
“Mentang-mentang dia membayar, lalu dia menganggap kita ini bisa diperlakukan seenak hatinya. Sekalipun, menjadi penghuni di komplek ini, aku tetap tak mau diperlakukan seperti itu. Tapi, sebagai pelacur di sini, aku tidak punya kekuatan untuk menolaknya setiap kali ia datang,” uraiku.
“Jadi, karena itu kau membencinya?”
“Ya. Tapi, dasar badak! Dasar lelaki tidak tahu diri! Ia tetap seperti tidak mengetahui atau melihat, betapa aku tak menyukai kehadirannya. Ia tetap saja datang lagi menemuiku. Padahal, setiap kali ia datang, aku sudah terang-terangan menunjukkan sikap ketidak-senanganku. Misalnya, dengan tak pernah bersikap ramah. Jarang tersenyum. Dan, melayani semauku saja. Pokoknya, aku tak pernah bereaksi apa-apa. Aku selalu diam saja.”
“Barangkali dia memang punya kelainan, Yat?” pertanyaan Warni ini hampir tak terdengar, karena di ruang tamu ada tawa yang lepas dan derainya seakan menyeruak ke kamarku. (Bersambung)