Rabu , 11 Desember 2024
Novel Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur. (Ist)

Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (18)

Novel karya Sutirman Eka Ardhana

Masih teringat jelas pertemuanku dengan Surti sore itu. Tanpa kuduga, sore itu Surti muncul di rumahku, setelah bertahun-tahun kami tak pernah berjumpa. Surti adalah teman sepermainanku dan teman sekolahku semasa di SMP dulu. Seperti halnya diriku, Surti pun pergi meninggalkan desa. Kabarnya ia bekerja di kota.

Begitu bertemu, kami langsung berpelukan.

“Kapan kau datang, Dur?”tanyaku setelah kami duduk di kursi bambu depan rumah.

“Tadi siang. Begitu kudengar kau pulang lagi ke desa, aku langsung kemari,” ujar Surti.

“Aku terpaksa pulang lagi ke desa, Sur. Aku pulang bersama anak-anakku, dua orang.”

“Aku sudah mendengar musibah yang menimpa suamimu. Ibu yang tadi menceritakannya.”

Kami terlibat pembicaraan yang mengasyikkan. Pembicaraan dua orang sahabat yang lama tidak berjumpa. Macam-macam yang dibicarakan. Pembicaraan pun kemudian sampai ke musibah yang menimpa Mas Bim, lalu derita hidupku sepeninggalnya, serta tekadku untuk membesarkan anak-anakku. Surti pun bercerita banyak tentang dirinya. Ternyata, seperti halnya diriku, Surti juga tinggal di Yogya.

“Sekarang apa rencanamu?” tanya Surti.

“Entahlah, Sur. Aku belum punya gambaran apa-apa.”

“Apa kau tidak punya keinginan untuk bekerja?”

Simak juga:  Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (29)

“Kerja?”

“Ya.”

“Keinginan seperti itu jelas ada, Sur. Tapi, mau kerja apa? Aku tidak punya keterampilan apa-apa.”

“Kalau aku tawari kerja, mau?”

“Kalau itu bisa menghasilkan uang untuk membesarkan anak-anakku, ya aku mau.”

“Bagaimana kalau ke Yogya lagi? Kita sama-sama bekerja di sana.”

“Ke Yogya?”

“Ya, ke Yogya lagi.”

“Kerja di tempat apa, Sur?” tanyaku penasaran.

“Sudahlah, kalau kau setuju, nanti sesampai di Yogya lagi, baru kuceritakan tentang pekerjaan itu. Yang pasti, kau akan bisa mengumpulkan uang untuk anak-anakmu,” jelas Surti meyakinkan.

“Bagaimana dengan anak-anakku?” aku jadi bimbang.

“Tinggalkan saja di desa. Biar mereka dengan kakek dan neneknya. Biar mereka tetap sekolah di sini saja. Nanti, beberapa bulan sekali kau pulang melihat mereka sambil membawakan uang, oleh-oleh atau apa pun namanya.”

Semalaman aku berpikir mengenai ajakan dan tawaran dari Surti itu. Akhirnya kuambil keputusan bahwa aku memang harus bekerja. Bekerja demi membesarkan anak-anakku. Aku ingin mewujudkan cita-cita dan keinginan Mas Bim, agar anak-anakku kelak menjadi orang-orang pintar, orang-orang terpelajar, serta menjadi sarjana. Cita-cita dan keinginan Mas Bim itu sulit terwujud, bila aku tidak bekerja, pikirku.

Simak juga:  Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (37)

Ketika hal itu kuutarakan pada Ayah dan Ibu, mereka pun tak dapat berkata apa-apa, kecuali menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut pada diriku.

“Terserah pada keputusanmu sendiri. Kalau kau sudah putuskan untuk bekerja demi anak-anakmu, ya bekerjalah. Ayah dan Ibu merestuimu. Dan, biar Ibu yang menjaga Gagah dan Wanda di sini,’ ujar Ibu.

Beberapa hari kemudian, aku dan Surti berangkat ke Yogya. Aku tak kuasa menahan air mata ketika berpisah dengan kedua anakku.

“Doakan Mama agar cepat bekerja ya, sayang,” ujarku sambil menciumi Gagah dan Wanda.

Entah mengapa Gagah dan Wanda seakan tegar menghadapi kenyataan itu. Mereka sama sekali tidak menangis. Dalam waktu singkat, ternyata keduanya telah tertempa dengan kehidupan yang tak seindah dan sebahagia semasa ayah mereka masih hidup.

“Tapi, Mama akan sering pulang menemui Gagah dan Dik Wanda, kan?” tanya yang menyayat ini datang dari Gagah.

“Ma, kalau Mama nanti pulang, jangan lupa belikan Wanda boneka, ya….” yang ini terucap dari si bungsu, Wanda.

Air mataku terus terurai ketika melangkah meninggalkan anak-anakku itu. Melangkah demi satu tujuan untuk membahagiakan mereka. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *