Kamis , 14 November 2024
Novel Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur. (Ist)

Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (13)

Novel karya Sutirman Eka Ardhana

“Lho, apa kau tidak suka kalau dapat jodoh? Dapat suami? Apa kau selamanya mau bekerja seperti ini? Apa selamanya mau jadi perempuan yang melayani keinginan setiap lelaki?” Warni mencecarku dengan tanya beruntun.
Benar juga apa yang dikatakan Warni itu. Aku tentu tak mungkin selamanya menjadi perempuan seperti ini.

Menjadi perempuan yang terpuruk dalam lembah kehidupan berkubang lumpur-lumpur noda. Lumpur caci-maki dan cemooh banyak orang. Tapi untuk bersuami lagi, rasanya sedikitpun tak terbersit di keinginanku. Rasanya terlalu sulit buatku untuk mencintai lelaki lain, selain Mas Bim.

Di dalam lemari kecil itu tersimpan fotoku bersama Mas Bim dan anak-anak. Juga terdapat foto Gagah dan Wanda yang hanya berdua.

Setiap kali aku teringat Mas Bim dan rindu dengan anak-anakku, foto-foto itupun kuambil dan kupandangi dalam-dalam. Seringkali pula foto-foto itu kudekap saat tidur.

Seperti malam ini, baru saja beberapa saat aku membaringkan tubuh yang letih, tiba-tiba hatiku didera rasa rindu kepada Mas Bim dan anak-anakku di desa. Kuambil foto-foto yang terbingkai di figura itu. Kupandangi dengan perasaan pilu. Dengan kerinduan yang dalam. Dan, kudekap erat-erat. Seakan aku sedang mendekap orang-orang yang kucintai.

Tanpa sadar air mataku meleleh. Ada rasa yang pedih dan ngilu di hati. Pedih yang menyayat-nyayat dan ngilu yang menekan-nekan. Lalu, aku meratap. Ratapan yang tak pernah berhenti. Ratapan yang seringkali muncul. Ah, seandainya Mas Bim masih bersamaku. Masih ada di dekatku. Masih menemaniku dalam suka dan duka. Tentu tak akan pernah kualami hidup seperti ini. Hidup berkubang derita dan air mata. Hidup berkubang noda dan dosa.

Simak juga:  Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (55)

Dan, seandainya Mas Bim masih ada, anak-anakku, Gagah dan Wanda, tentu tidak akan menderita. Mereka tentu tidak akan berjauhan denganku. Mereka tentu setiap dapat bermanja-manja denganku. Ah, seandainya tak ada orang-orang yang berhati tega menghabisi jiwa Mas Bim, tentulah kehidupan seperti ini tidak akan pernah datang dalam hidupku.

Bayangan Mas Bim sudah mengusik rinduku sejak siang. Ini gara-gara ada seorang tamu yang wajah dan gayanya benar-benar membuat ingatanku tertuju pada Mas Bim.

Buatku, tamu itu tamu baru. Selama menjadi penghuni di kamar ini, aku belum pernah melihatnya datang ke rumah kopelku. Wajahnya sepintas mirip Mas Bim. Sorot matanya sama. Tingginya juga hampir sama. Hanya tubuh Mas Bim sedikit lebih gemuk.

Ketika berpapasan dengannya di ruang tamu, darahku benar-benar tersirap. Terlebih-lebih ketika ia tersenyum kepadaku, aku menemukan senyuman Mas Bim di wajahnya.

Hatiku mendadak risau. Mendadak gebalau. Aku bergegas masuk lagi ke dalam kamar. Kurapatkan pintu kamarku dengan harapan agar tak melihat wajahnya lagi. Wajah yang sesungguhnya kurindukan, tapi tak kuinginkan muncul di tempat ini.

Simak juga:  Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (8)

Aku berharap lelaki itu tak masuk ke kamarku. Karena bila ia masuk dan menemuiku di kamar ini, betapa hal itu merupakan sayatan yang teramat pedih dan menyakitkan.

Tapi, harapanku sia-sia. Ada suara ketukan di pintu kamarku. Aku bangkit dari tempat tidur dan tergagap. Dadaku berdebar kencang dan keras. Pintu itu pun didorong dari luar.

Wajah lelaki itu benar-benar muncul di mulut pintu.

“Boleh saya masuk?” tanyanya sopan.

Aku tak mampu menjawab. Aku kebingungan untuk bersikap dan memilih kata-kata menjawab pertanyaannya.

“Boleh?” tanyanya lagi.

“Tapi…… saya…… sedang tidak……… ” kata-kataku yang tergagap itu tak dapat kuteruskan

“Tidak apa-apa. Saya hanya ingin ngobrol-ngobrol saja. Bagaimana? Boleh saya masuk?”

Aku tak mampu mengelak lagi.

“Masuklah,” akhirnya kupersilakan dia masuk.

Ia tersenyum. Aku juga mencoba tersenyum.

“Duduklah,” kupersilakan ia duduk.

Karena di kamarku tak ada kursi, ia pun duduk di ujung tempat tidur.

“Sudah lama di sini?” tanyanya kemudian.

“Ya, sudah beberapa bulan,” kucoba menjawab sekenanya.

“Oh. iya? Beberapa bulan lalu, ketika saya kemari, kok belum ada?”

“Mungkin saya belum si sini.”

“Dulu di mana?”

“Di rumah saja.”

“Di rumah?”

“Di rumah. Di desa.”

“Di mana?”

Lalu kusebutkan kota asalku di wilayah pantura Jawa, tak jauh dari Semarang itu.

“Ooo, dari sana, to?”

Aku mengangguk. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *