Jumat , 11 Oktober 2024
Novel Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur. (Ist)

Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (12)

Novel karya Sutirman Eka Ardhana

Gagah tetap tidak bereaksi.
Hanya Wanda yang langsung menyahut, “Kita sudah mau sampai di rumahnya Kakek dan Nenek ya, Ma?”

“Ya, sebentar lagi. Tapi kita masih ganti kendaraan lagi ke sana,” jelasku.

“Kakek dan Nenek pasti sudah menunggu ya, Ma?”

“Tentu. Kakek dan Nenek tentu sudah tak sabar untuk bertemu dengan Mas Gagah dan Dik Wanda.”

Tidak berapa lama kemudian, kami pun sampai di desa kelahiranku yang berjarak sekitar sepuluh kilometer dari pusat kota.
Ayah dan Ibu menyambut dengan sukacita. Ibu langsung memelukku. Dan, aku menangis di pelukannya. Sementara Ayah langsung merangkul Gagah dan Wanda. Meskipun dirangkul kakeknya. Gagah tetap belum menunjukkan reaksinya. Senyumnya masih tetap mahal. Sedang Wanda, ia tak henti-hentinya mengumbar senyum

“Kenapa dulu tidak langsung memberi kabar kemari tentang musibah suamiMU?” kata Ibu begitu aku duduk di ruang tengah rumah.

“Ketika itu pikiranku sedang bingung. Aku tak bisa berpikir apa-apa. Yang kupikirkan hanya nasib Mas Bim yang menyedihkan itu,” aku mencoba menjelaskannya.

“Terus bagaimana dengan rumah yang di Yogya itu?” tanya Ayah pula.

“Itu kan rumah kontrakan. Ya, dikembalikan pada pemiliknya,” jelasku.

Simak juga:  Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (30)

“Barang-barangnya, bagaimana?”

“Dijual. Cuma televisi dan ini-ini yang dibawa,” kataku seraya menunjukkan bungkusan barang-barang serta tas-tas pakaian.

Tidak banyak yang dapat diceritakan tentang kamar ini. Kamar yang sudah berbulan-bulan menjadi bagian dari hidupku. Kamar yang dinding-dindingnya telah mencatat semua keluh dan dukaku.

Di kamar kecil ini terdapat satu tempat tidur kayu ukuran dua orang. Lalu, sebuah kaca hias sederhana dengan meja kecil di bawahnya. Di sebelah meja terdapat lemari kecil tempatku menyimpan pakaian. Di sudut kamar, terdapat bak air ukuran kecil yang disekat dengan tembok setengah badan, bagaikan kamar mandi mini tak berpintu.

Dulu, ketika pertama kali masuk ke kamar ini, di dinding terpajang lebih dari lima poster penyanyi dangdut. Ada poster Elvy Sukaesih, Ida Laila, Hamdan ATT dan entah siapa lagi. Dan, di dinding dekat pintu, terdapat tulisan dengan huruf besar dari spidol warna merah – Jangan menangis di sini. Karena air mata tidak akan menolongmu.
Entah siapa yang memajang poster-poster dan menulis kata-kata penuh arti itu. Barangkali penghuni sebelumku.

Atau sebelumnya lagi. Dan, sebelumnya lagi.

Tapi kemudian, poster-poster itu kubersihkan. Bukan karena aku tidak suka kepada penyanyi-penyanyi dangdut itu. Sama sekali bukan itu alasannya. Bahkan sesungguhnya aku termasuk pengagum berat Ekvy Sukaesih. Aku hanya ingin, kamar yang kutempati ini terlihat bersih dan rapi. Meskipun sempit, tentu akan nyaman dipandang bila bersih dan tertata. Hanya tulisan di dinding dekat pintu itu saja yang kubiarkan. Tulisan itu berkesan di hatiku. Dan, aku menyukainya.

Simak juga:  Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (39)

Aku, entah perempuan yang keberapa menjadi penghuni kamar ini. Mungkin ketiga, keempat, kelima atau kesembilan. Menurut cerita penghuni kamar-kamar yang lain, sebelum aku datang, kamar ini dihuni Rosmi.

“Dia keluar sekitar dua minggu sebelum kau datang,” kata Warni yang menghuni kamar sebelahku, seminggu setelah aku datang.

“Kenapa dia ke luar? tanyaku.

“Dia menikah. Ada tamu yang jatuh cinta kepadanya. Kebetulan tamunya itu seorang duda. Lumayan, daripada sampai tua di sini,” ujar Warni seraya tawanya melepas.

“Sekarang dia di mana?”

“Ya, dibawa suaminya ke Solo.”

“Ke Solo? Apa suaminya tinggal d Solo?”

“Suaminya itu memang orang Solo. Katanya, seorang pengusaha. Tapi, entah pengusaha apa.”

“Baik juga nasibnya.”

“Makanya, kau rajin-rajin berusaha dan berdoa agar dapat jodoh juga di sini, seperti halnya Rosmi itu ”

“Ah, macam-macam saja.” (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *