Novel karya Sutirman Eka Ardhana
Wanda tampak gembira. Sedang Gagah, ia terlihat diam dan lesu. Aku paham apa yang sedang dipikirkan anak lelakiku ini. Ia tentu masih belum dapat menerima kenyataan kenapa harus pindah ke desa dan meninggalkan sekolahnya.
Keesokan paginya. Wanda sudah sibuk dan ribut minta segera didandani sehabis mandi.
“Ayo Ma, katanya kita mau ke tempat Papa?” katanya.
Hatiku sedikit terharu melihat ulah Wanda. Dia kelihatan ceria. Entah apa yang ada di pikirannya. Barangkali ia berpikir akan bertemu dengan ayahnya setelah beberapa lama berpisah. Aku paham, ulahnya itu sebagai wujud dari rasa rindu yang besar kepada ayahnya.
“Wanda mau pakai baju bagus yang warna merah itu, Ma. Baju yang dulu dibelikan Papa di toko itu,” katanya lagi dengan gaya kekanak-kanakannya.
Perasaan sedih menderaku dan mengharu-biru hatiku melihat Wanda sibuk mencari baju merah kesayangan di lemari.
“Ayo Ma, cepat,” si kecilku ini benar-benar tak sabar tampaknya.
“Jangan buru-buru, sayang. Kita harus menunggu Mas Gagah pulang sekolah dulu. Mas Gagah juga kan mau ikut ke makamnya Papa,” bujukku.
Aku berangkat ke makam Mas Bim setelah terlebih dulu menjemput si sulung di sekolahnya.
Sesampai di depan makam Mas Bim, Gagah tampak terdiam menunduk. Sepertinya ia sudah benar-benar tahu tentang bagaimana keadaan ayahnya yang sebenarnya. Akan tetapi agak berbeda dengan Wanda, si bungsu ini justru seperti penasaran karena hanya menemukan gundukan makam saja.
“Ma, Papa sedang apa ya?” pertanyaan menyayat ini dilontarkan Wanda.
“Papa lagi tidur,” kucoba menjawabnya.
“Tidur di dalam sana? Di dalam tanah ini?”
Aku tak kuasa berkata-kata, kecuali hanya mengangguk. Sementara air mata di pelupuk mataku seakan ingin tumpah.
“Mari kita berdoa. Berdoa untuk Papa,” ajakku kepada Gagah dan Wanda.
Gagah cepat tanggap. Ia langsung mengikuti gerakku dengan berjongkok di depan makam ayahnya. Sedang Wanda tetap saja berdiri di sampingku.
“Mas, maafkan. Aku terpaksa harus membawa anak-anak pulang ke desa. Nanti akan kami sempatkan waktu untuk datang menjenguk makammu,” aku berkata begini dalam hati dengan perasaan yang trenyuh.
Tanpa sadar aku menangis. Air mata pelan-pelan menetes dan membasahi pipiku. Aku tidak tahu pasti, apakah arwah Mas Bim dapat melihat tangisku? Dapat mengerti dengan kepedihan di hatiku. Dan, dapat melihat betapa besar kecintaanku kepadanya.
Persiapan untuk pulang ke desa kelak sekitar seminggu. Pertama-tama kuhubungi Bu Rosdiyah, pemilik rumah. Kepadanya kukatakan niatku untuk tidak melanjutkan kontrak rumah karena akan pulang ke desa.
“Saya harus pulang ke desa, Bu. Ibu tahu sendiri, saya di sini tidak punya pekerjaan, tidak punya sambilan apa-apa. Padahal saya harus menanggung dua orang anak. Kalau di desa, mungkin saya bisa berkebun atau bekerja di sawah,” uraiku kepada Bu Rosdiyah.
“Sebenarnya, soal kontrak rumah tidak persoalan buat saya. Soal uang kontrakan, bisa dibayar kapan saja, bila sudah ada uang. Tapi, bila pulang ke desa itu sudah menjadi keputusan, ya, bagaimana lagi. Saya tidak bisa menghalangi,” ujar Bu Rosdiyah, meski tak kuketahui apakah kata-kata itu diucapkannya dengan tulus atau hanya sekadar basa-basi.
Setelah urusan rumah selesai, lalu aku sibuk menemui tetangga-tetangga menawarkan perabot-perabot. Untunglah para tetangga banyak yang mengulurkan tangannya membantuku, sehingga dalam waktu tidak terlalu lama sudah terjual. Soal harga tak begitu dipersoalkan. Buatku yang penting perabot-perabot seperti kursi tamu, lemari ukir Jepara, lemari pakaian, kulkas serta peralatan rumah tangga lainnya itu segera dapat terjual. Hanya televisi dan radio tape saja yang kubawa pulang, biar dapat dijadikan hiburan anak-anakku di desa. (Bersambung)