Kali ini saya akan mengambil contoh dua tempat saja dulu, yakni pasar dan warung angkringan.
Pasar
Pasar merupakan pusat berkumpulnya banyak orang dari berbagai lapisan status sosial. Karena di pasar orang-orang akan mendapatkan beragam kebutuhan hidupnya. Dari keperluan atau kebutuhan akan sandang sampai pangan. Dari kebutuhan perawatan diri sampai racun-racun pembasmi serangga dan tikus.
Penulis, termasuk juga wartawan, yang kreatif dan peka akan mendapatkan banyak ide tulisan dari dalam pasar. Di tengah-tengah suasana hiruk-pikuk serta kesibukan para pedagang dan pembeli itu akan ditemukan banyak ide cemerlang serta menarik untuk tulisan.
Jangan dikira di dalam pasar hanya terdapat isu-isu yang berkaitan dengan bisnis atau ekonomi saja. Beragam potret sosial dan persoalan kehidupan lainnya dapat ditemukan di dalam pasar, hingga bisa dijadikan ide penulisan, baik untuk penulisan artikel, feature, laporan mendalam, maupun informasi berita. Pendek katabiaa ditulis untuk jenis tulisan apa pun.
Informasi bahwa di pasar banyak copet, janganlah dipandang sebagai informasi yang sederhana. Informasi itu tentu dapat dijadikan ide yang menarik untuk membuat tulisan tentang ‘liku-liku percopetan di pasar’, ‘kenapa banyak perempuan menjadi copet di pasar?’, ‘dalam seminggu berapa banyak uang yang tersedot copet?’, ‘suka-duka pencopet cilik di pasar’, dan lain-lain. Atau, barangkali akan diperoleh pula ide untuk menulis ‘derita para korban copet’.
Jika ingin menjadi penulis atau wartawan yang sedikit ‘usil’, cobalah simak dan cermati, apakah di pasar hanya berlangsung bisnis jual-beli beras, cabai, sayur-mayur dan bisnis kain batik saja? Apakah tidak ada bisnis lainnya yang menarik? Bisnis cinta, misalnya?
Warung Angkringan
Nah, setelah dari pasar kita beralih ke warung angkringan. Bukan apa-apa, karena saya kebetulan memang suka juga bersantai-santai di angkringan, sambil menikmati minuman dan makanan yang ada.
Warung angkringan merupakan warung kelas rakyat yang populer di Yogya. Dan, di angkringan mana pun, termasuk angkringan langganan saya (sekadar info saja, saya suka nyantai di Angkringan Lek No atau Angkringan Pak Uban di depan Stasiun Kereta Api Lempuyangan), pasti tersedia ‘nasi kucing’, tempe goreng dan bacem, sate ayam, sate keong, sate brutu, dan beragam makanan rakyat lainnya. Dan, untuk minumannya ada teh, kopi, susu, wedang jahe, dan lain-lainnya lagi. Khusus untuk teh, ada teh gula pasir, teh gula batu. Juga untuk kopi ada kopi biasa, ada pula kopi joss.
Pengunjung angkringan sesungguhnya berasal dari beragam status sosial. Ada tukang ojek motor, tukang becak, sopir taksi, tukang parkir, pengangguran, wartawan, guru, ANS, pedagang, mahasiswa, dan lain-lainya. Pokoknya macam-macam ada.
Obrolan di angkringan selalu asyik untuk didengar. Siapa pun bisa ikut ngobrol bersama, tanpa dibatasi status sosialnya. Semua merasa dekat. Merasa menjadi teman sepenanggungan dan sehobi.
Kalau kita peka dan jeli dalam menyimak obrolan-obrolan di angkringan itu, akan ditemukan ide-ide yang menarik untuk ditulis. Misalnya, kita menemukan ide tentang tidak adanya sekat-sekat sosial di angkringan. Semuanya guyub. Semuanya akrab. Semua merasa satu kegemaran di angkringan, walau latar belakang kehidupan dan profesinya berbeda. Semuanya bisa ngobrol dan bercanda.
Belum lagi tentang beragam makanan dan minuman rakyat yang disediakan di angkringan. Misalnya, ketika menikmati nasi kucing, apakah tidak tergoda untuk mengetahui kenapa diberi nama nasi kucing? Sejak kapan munculnya? Bagaimana sensasi rasa ketika menikmatinya?
Begitu pula ketika menikmati teh gula batu, kita bisa tergoda untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan gula batu tersebut. Bagaimana gula batu dibuat? Apa bedanya gula batu dengan gula pasir?
Begitu juga ketika menikmati minuman kopi joss. Apa itu kopi joss? Kenapa disebut kopi joss? Sensasi apa yang diperoleh dari meminum kopi joss? Apa perbedaan rasanya dengan kopi biasa? Apa khasiat arang kayu membara, yang jadi campuran kopi joss itu? Dan, banyak ide lainnya lagi.
Menarik, kan? Nah, kapan kita ngobrol di angkringan?
Sutirman Eka Ardhana
Tulisan ini telah dimuat di ekaardhana.wordpress.com (12/10/2019)