Jumat , 11 Oktober 2024
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman HY. Aji Wulantara, SH, memotong tumpeng menandai launching Pawiyatan Sastro Sudarmo, Desa Wisata Budaya Rajeg Wetan. (ft. Ist)

Desa Wisata Budaya Rajeg Wetan Miliki Pawiyatan Sastro Sudarmo

KEHADIRAN Desa Wisata Budaya Rajeg Wetan yang mendeklarasikan diri dengan karakter budaya memang perlu didukung. Apalagi kini mendirikan Pawiyatan Sastro Sudarmo. Ini sesuai dengan visi Pemkab Sleman yakni terwujudnya masyarakat Sleman yang lebih sejahtera, mandiri, berbudaya. Masyarakat berbudaya. Artinya, meskipun kegiatannya berupa pariwisata tetapi intinya adalah budaya. Oleh karena itu, Dinas Kebudayaan Sleman akan ikut andil dalam pengembangan pawiyatan.

Komitmen ini disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman HY. Aji Wulantara, SH, saat me-launching Pawiyatan Sastro Sudarmo di Ndalem Sastrosudarman Desa Wisata Budaya Rajeg Wetan (Dewi Rawe) Tirtoadi, Mlati,Sleman (Minggu, 21 Juli 2019).

​Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman HY. Aji Wulantara, SH, saat me-launching Pawiyatan Sastro Sudarmo. (ft. Ist)

 

Menurutnya, pembelajaran kebudayaan Jawa harus dimulai sejak dini. Belajar kebudayaan itu tidak ada habisnya. “Memikirkan dan menggerakkan kebudayaan itu memang harus diuji sambil berjalan. Karena kebudayaan itu juga bermakna sebagai proses pembelajaran. Pawiyatan Sastro Sudarmo ini bisa dijadikan ruang atau media untuk belajar mendalami kebudayaan Jawa gagrak ngayogja,” tandasnya dalam pidato berbahasa Jawa.

Terkait dana keistimewaan, Aji memberi pemikiran tajam. “Dana itu diadakan untuk menumbuhkembangkan kebudayaan gagrak ngayogja. Dinas Kebudayaan mempunyai dana untuk pentas dalang Sleman. Saya berpesan agar gaya yang dipakai, gamelan yang digunakan, adalah gaya Yogyakarta. Maka aneh bila dalang Sleman pentas dimana-mana gamelan yang dipakai gamelan Solo, cengkok-nya cengkok Solo, padahal menggunakan dana keistimewaan.

Dikemukakannya, Sleman tidak ada kampung tetapi yang ada padukuhan. Aneh bila kini dilembagakan kampung. Sebutan itu bukan untuk gagah-gagahan tetapi harus dilandasi indentitas budaya. Desa wisata budaya Rajeg Wetan (Dewi Rawe) ini juga harus menunjukkan karakter budaya Jawa-nya yang jelas berciri ngayogjan.

Simak juga:  Menulis dalam Riuh

Lebih lanjut, disampaikan, “Seandainya masyarakat Sleman yang terdiri dari 17 kecamatan 86 desa dan 1212 padukuhan ini memiliki semangat seperti padukuhan Rajek Wetan maka kebudayaan bisa dikembangkan masyarakat sendiri, bukan karena adanya dana keistimewaan.

Lebih jauh, Aji menjelaskan anggaran bukan lagi jadi masalah. Yang menjadi masalah adalah mendudukkan dan menegakkan kebudayaan yang benar. “Apa yang coba digerakkan pengelola wisata Dewi Rawe ini saya lihat sudah benar. Membumikan cipta rasa karsa dan karya prinsip kebudayaan Jawa yang bercorak ngayogjan yang bersumber dari ajaran Pangeran Mangkubumi yakni golong giliging tekad untuk hamemayu hayuning bawana, mamunggaling kawula gusti, lan sangkan paraning dumadi,” simpulnya.

 

Lima Rumpun Pembelajaran

Sementara penanggung jawab Pawiyatan Sastro Sudarmo, Wahjudi Djaja, S.S., M.Pd menjelaskan, lembaga ini memiliki lima rumpun pembelajaran.

“Di ndalem yang bersejarah ini kami mencoba menggerakkan pawiyatan tentang tari klasik, olah limbah sampah jadi karya seni, teater tradisional dan modern, kepenulisan Jawa dan Indonesia, serta kepenyutradaraan. Memang tak mudah tetapi kita memiliki tekad kuat dan jaringan yang bisa diberdayakan,” tandas fasilitator desa wisata budaya Rajek Wetan (Dewi Rawe) ini.

Agus Hartono dari LSM Lestari yang memberikan orasi budaya menguraikan, problem yang dihadapi bangsa ini adalah masalah sampah terutama sampah plastik. “Indonesia adalah penyuplai sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina. Ini masalah serius yang harus segera dicarikan solusinya. Rata-rata perhari 750 ton masuk ke TPA Piyungan dari Sleman dan sekitarnya. TPA yang dibangun 1985 ini telah mencapai titik maksimal. Karena rencana penggunaannya hanya sampai 2012,” tandas Agus dalam orasi budayanya.

Simak juga:  Diskusi Kebangsaan VIII: Kata Bung Karno, Ketuhanan Harus Berkebudayaan

Agus melihat ada dua hal yang bisa dikerjakan terkait penanganan sampah. “Keduanya adalah bagaimana kita mengurangi dan bagaimana penanganannya. Saya terlibat dalam RUU, yang kita ajukan, bukan pengurangan dan penangangan, tetapi pengurangan dan pemanfaatan. Oleh karena karena itu, pawiyatan ini bisa dikelola dan diberdayakan lebih lanjut untuk memberi andil dan solusi atas masalah persampahan dengan gerakan kembali ke alam dan mencintai lingkungan,” kata alumni Arkeologi FS UGM ini.

Tampil dalam launching Pawiyatan Sastro Sudarmo antara lain gitaris cilik Hanna Lethea, puisi Ika Ria Ernawati, R. Bambang Nursinggih, organ Lim Hans, tarian Shella Anggraini, tarian Sanggar Lestari Budaya, tarian Sanggar Dewi Rawe. Wayang limbah sampai dimainkan oleh Sardiman. Sardiman adalah salah satu perintis kelestarian lingkungan yang memperoleh Kalpataru DIY 2019.

Hadir malam itu, Aris Herbandang dan Muhari dari Dinas Pariwisata Sleman, Sekar Pangawikan, Kepala Dukuh Rajek Wetan Widiarto, dan masyarakat sekitar yang memenuhi halaman Ndalem Sastrosudarman. (SEA)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *