Rabu , 11 Desember 2024
Cupu Manik Astagina Sunan Kalijaga. (ft. net)

Cupu Manik-Internet-Asta Gina

NY CIPTANINGSIH Utaryo, sesepuh yang menjadi warga kehormatan dari sebuah paguyuban ‘kasepuhan’ di Indonesia menyatakan bahwa pendidikan masyarakat sekarang ini tidaklah mempunyai pegangan yang jelas. Oleh karena itu ada baiknya meninjau ke belakang, artinya melihat warisan apa yang diberikan leluhur untuk meninjau kembali perilaku kehidupan bermasyarakat untuk digunakan dan dikembangkan sebagai sangu hidup di dunia yang serba rumit ini. Tetapi pesannya jangan terlalu lama memandang warisan leluhur, tetapi sebaiknya itu hanya sebagai cermin yang menjadi dasar berpijak untuk maju.

Sebab kalau kita mau berkaca dari warisan budaya yang ada banyak contoh yang bisa dikedepankan sebagai contoh, adanya hand-phone, sebelumnya dalah kisah wayang sudah diterakan atau disimbolisasikan dengan apa yang disebut dengan aji pameling. Aji pameling ini hanya dipunyai oleh Dewa Wisnu penjaga alam, atau kemudian menitis pada Sri Kresna. Artinya hanya mereka yang mampu membaca tanda-tanda alam sajalah yang bisa mengartikannya.

Sekarang ini muncul ‘hand phone’ atau telpun seluler, sebagai manifestasi dari aji tersebut.

Kemudian di dalam kisah wayang, muncul pula kisah yang mengkisahkan tentang ‘Cupu Manik Asta Gina’, yang dimiliki oleh Resi Gutama.

Lalu apa sebenarnya isi Cupu Manik Asta Gina ini sesungguhnya, mengapa itu menjadi rebutan antara Guwarsa-Guwarsi dan Anjani. Lalu mengapa dibuang ke Telaga Madirja. Dan mereka yang menyelam ke telaga itu menjadi kera atau berparas kera. Simbolisasi apa ini?

Piwulang dan piweling serta pitutur luhur Jawa biasanya dikemas dalam rupa simbol dan ‘sanepan’. Oleh karena itu mereka yang mampu membedahnya saja yang bisa mengetahui maknanya secara pas. Tentu ini dikaitkan dengan semangat hidup orang Jawa yang mengutamakan ‘Jiwa-Jawi’ demi kepentingan ‘Jaga Wibawa’ atau menjaga kewibawaan, bukan ‘nguja hawa’ atau mengumbar hawa nafsu. Mengingat bahwa keduanya bila dimampatkan berarti Ja-wa. Makna lain pun bisa bermunculan selaras dengan tafsiran si penafsir dengan pengalaman batin dan hidupnya masing-masing.

Simak juga:  Jogja International Keris Heritage Festival Menyadarkan akan Pentingnya Nilai nilai Budaya

Perlu disadari bahwa Cupu Manik Astagina ini adalah wahana, sarana untuk melihat dan menjalani hidup dan kehidupan. Wahana atau sarana adalah alat. Alat pada dasarnya adalah netral, bisa digunakan secara positif, tetapi juga bisa digunakan dengan arah negatif.

Cupu Manik, boleh disebut sebagai pegangan hidup (manik). Ada dalang yang mengatakan bahwa cupu manik ini berisi gambar jagat. Boleh dipadankan kalau sekarang ini adalah internet. Internet adalah sarana kehidupan. Bisa digunakan secara positip tetapi juga bisa digunakan untuk hal yang buruk. Tergantung manusianya. Teapi untuk Cupu Manik Astagina, boleh dikatanan berarti pegangan hidup yang bisa diejawantahkan dalam kehidupan yang jumlahnya delapan (Hasta).

Lalu apa itu delapan pegangan hidup manusia yang berjumlah delapan itu? Lalu mengapa dibuang di telaga. Telaga adalah sumber hidup mahkluk hidup. Sementara Telaga kehidupan yang terbesar adalah dunia dan Yang Tertinggi adalah Sang Pencipta sendiri.

Orang perlu berkaca untuk mengejar dunia ini. Kalau mereka itu serakah, diibaratkan menjadi kera yang mempunyai kebiasaan ingin menguasai. Pencarian Guwarsa-Guwarsi maupun Dewi Anjani, tidak dilandasi dengan delapan semangat hidup yang sebenarnya sudah tertera dari nama Cupu itu sendiri yakni Astagina.

Lalu apa yang disebut dengan Hastagina. Tidak lain dan tidak bukan adalah delapan pegangan hidup manusia. Pertama manusia Jawa selalu mengedepankan ‘Wanita’, artinya Wanodya kang puspita. Maknanya perempuan yang cantik jelita yang menjadi dambaan semua priya. Artinya manusia sebaiknya menjadi dambaan semua insan lantaran kehidupannya indah tak tercela, sehingga namanya tersebar harum mewangi menaburi bumi pertiwi.

Yang kedua adalah ‘Garwa’, sigaraning nyawa. Artinya manusia hidup harus mampu mewujudkan diri sebagai bagian dari keluarga, masyarakat dan bangsa serta dunia ini.

Yang ketiga manusia hidup harus ber-curiga-keris. Artinya mempunyai ketajaman dalam memandang hidup. Ketajaman pikir, ketajaman rasa dan ketajaman jiwa harus senantiasa dipelihara dan dirawat dengan baik.

Simak juga:  Pernikahan Jawa - Sunda, Dibayangi Legenda

Keempat, manusia hidup harus mempunyai ‘wisma’. Artinya mampu memberikan ‘pengayoman dan pengayeman’, memberikan rasa aman kepada lingkungan dimana ia berada.

Kelima, manusia hidup harus mempunyai semangat untuk mengendalikan hawa nafsu yang diibaratkan dengan memiliki ‘turangga’-kuda. Disamping mempunyai semangat seperti kuda ia juga diharapkan mampu menguasainya agar hidupnya terarah kepada kehidupan yang baik.

Keenam, manusia harus meneladan kehidupan burung perkutut, yang ‘anggungnya’ amat dinantikan. Manusia yang suaranya dinantikan adalah manusia yang bijaksana. Lebih afdol lagi kalau suaranya disertai dengan laku keutamaan.

Ketujuh, manusia hidup harus seperti ‘waranggana’, merdu suaranya indah dan menjadi primadona di dalam sebuah pertunjukkan dengan iringan gamelan. Bisa jadi sekarang ini bisa diubah menjadi seorang penyanyi atau artis yang mampu menyihir pemirsanya. Demikian pula manusia hidup harus mampu menyihir lingkungannya dalam upaya menebar keharuman nama. Hidup itu indah dan keindahan dunialah yang menjadi tujuan hidupnya. Tentu selaras dengan jiwa Jawi.

Kedelapan adalah mampu mendatangkan -pradhanga- praptaning kendhang lan gangsa; artinya hidup harus laras dan mampu menyelenggarakan keselarasan hidup. Kalau pun ia jadi pemimpin baik dalam skala kecil maupun besar harus mampu melahirkan irama indah dari para pembantu-pembantunya. Keselarasan, keindahan dan kenyamanan menjadi tujuan hidup yang berorientasi kepada keselamatan semuanya.

Itulah mengapa cupu manik astagina itu dibuang oleh Resi Gutama. Ketiga puteranya harus mampu menyelaminya di dalam kehidupannya, bukan hanya menerima secara pasif, tetapi aktif mencari dan menemukannya sendiri. Dengan begitu mereka akan mengetahui bahwa dunia ini tidak sekedar putih saja. Tetapi ada merah, ungu, hitam, kelabu, jingga dan lain sebagainya. Dunia ini berwarna indah kalau manusia mampu melihatnya sebagai sebuah keindahan. (Ki Juru Bangunjiwa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *