Rabu , 11 Desember 2024
Angkringan Lek No yang berlokasi di depan Stasiun Kereta Api Lempuyangan berbentuk pikulan. (ft. SEA)

Angkringan di Yogya, Awalnya Berbentuk Pikulan

MARI kita kembali bicara tentang ide penulisan. Sudah pernah kita obrolkan bahwa ide untuk penulisan itu ada di mana-mana. Dan, kita pun sudah sempat perbincangkan, jika ide-ide tersebut bisa diperoleh di warung angkringan.

Nah, kita sedang kembali berada di angkringan. Sedang duduk di belakang meja angkringan yang berbentuk pikulan, menikmati segelas teh kental manis bergula batu. Ketika sedang duduk di angkringan, sambil menikmati minuman dan makanan yang ada, apakah tidak tergoda untuk mencari ide penulisan? Apakah tidak tertarik untuk mencari tahu, kenapa angkringan itu berbentuk pikulan dan tidak berbentuk gerobak? Sekadar informasi saja, sebagian besar angkringan di Yogya berbentuk gerobak.

 

Cikal Bakal

Angkringan berbentuk pikulan memang merupakan cikal bakal bentuk angkringan di Yogya. Berdasar keterangan beberapa pemilik angkringan, warung angkringan pertama kali muncul di Yogya pada sekitar tahun 1950-an.

Kabarnya, tokoh pionir warung angkringan di Yogya itu bernama Mbah Pawiro. Lelaki asal Cawas, Klaten, Jawa Tengah, ini diyakini sebagai sosok yang pertama kali membuka warung angkringan di Yogya.

“Ya, menurut informasi Mbah Pawiro dari Cawas itulah yang mengawali atau babat alas angkringan di Yogya. Mbah Pawiro jugalah yang pertama kali memperkenalkan angkringan berbentuk pikulan,” kata Sumarno pemilik Angkringan Lek No, yang berlokasi di depan Stasiun Kereta Api Lempuyangan, Minggu lalu.

Simak juga:  Jurnalisme Corong (2) : Jurnalisme Saling Serang

Menurut Sumarno yang juga berasal dari Cawas ini, Mbah Pawiro memulai usaha angkringannya di kawasan Stasiun Tugu. Usaha angkringan Mbah Pawiro kemudian dilanjutkan oleh anaknya, yang kemudian dikenal dengan sebutan Lik Man.

Usaha Angkringan Lik Man kemudian pindah lokasinya di sisi utara Stasiun Tugu. Awalnya di kawasan sisi utara Stasiun Tugu hanya ada warung Angkringan Lik Man saja. Tapi kemudian keberhasilan Lik Man meneruskan usaha Mbah Pawiro, menggoda tetangganya di Cawas, dan juga Bayat, untuk terjun membuka usaha warung angkringan juga. Sehingga kemudian lambat laut kawasan sisi utara Stasiun Tugu itu dipenuhi warung angkringan.

Sebagian besar pemilik angkringan di sisi utara Stasiun Tugu itu masih setia mengikuti jejak pendahulunya, Mbah Pawiro, membuat angkringan berbentuk pikulan. Sebagian lainnya memilih bentuk gerobak.

 

Lebih Khas

Bila dicermati, sebagian besar warung angkringan di Yogya sekarang ini memang menggunakan model atau bentuk gerobak. Dipilihnya bentuk gerobak, karena dianggap lebih praktis dibanding angkringan pikulan. Angkringan berbentuk gerobak mudah dipindah-pindah, karena tinggal didorong saja. Sedang warung angkringan pikulan, kalau mau dipindah harus dipikul terlebih dahulu.

Widodo, pemilik Angkringan Pak Uban yang juga berlokasi di depan Stasiun Kereta Api mengaku, sejak awal berjualan angkringan ia sudah menggunakan bentuk pikulan. Ia mengaku, lebih sreg atau lebih suka menggunakan warung angkringan berbentuk pikulan dibanding bentuk gerobak.

Simak juga:  Yogya, Rindu dan Kenangan

“Angkringan berbentuk pikulan terasa lebih unik dan khas dibanding bentuk gerobak. Apalagi sejak awalnya warung angkringan di Yogya, ya menggunakan bentuk pikulan. Jadi, sebagai pedagang angkringan, yang juga berasal dari Cawas, saya ingin melestarikan bentuk pikulan tersebut,” ujar Widodo alias Pak Uban belum lama ini.

Nah, sekadar informasi, bagi yang belum pernah ke warung angkringan berbentuk pikulan. Induk angkringan pikulan itu berisi dua meja. Masing-masing meja itu berada di ujung-ujung pikulan.

Meja satunya berisi beragam jenis makanan yang disediakan, dari nasi kucing, tempe dan tahu goreng, sate-sate dan lainnya. Meja itu memiliki tempat untuk meletakkan gelas minuman, piring dan semacamnya, walau tak terlalu luas.

Sedang meja satunya lagi tempat untuk memasak air di ceret. Karena itu di bagian meja ini ada ruang tempat anglo. Biasanya di atas anglo tenpat memasak air dengan bahan bakar arang kayu itu terdapat setidaknya dua ceret. Ada juga yang tiga ceret, tergantung seberapa luas atau besarnya meja tersebut.

Nah, sudah dulu ya. Besok kalau kita ke angkringan lagi, pasti akan ada hal lainnya yang bisa dijadikan ide penulisan. ***

Sutirman Eka Ardhana

Tulisan ini telah dimuat di ekaardhana.wordpress.com (15/10/2019)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *