Rabu , 11 Desember 2024
Anak-anak sedang memproses Wayang Lingkungan Sekitar di Studio Omah Cangkem. (ft. Pardiman)

WAYANG, INSPIRASI TANPA BATAS: Memburu Sarangnya Wayang

SEPERTI perintah mencari dan menemukan ketiadaan dalam pasemon Jawa, golekana  susuhing angin  (carilah sarangnya angin), seperti juga golekana galihing kangkung (carilah inti batang kangkung), golekana tapake kuntul anglayang (carilah tapak burung terbang), terasa sesuatu yang muskil, namun suwung (ketiadaan) sering diasumsikan kebagai keberadaan yang senyatanya. Ketiadaan itu ada. Karena itu, tindakan mencari sarang angin secara kalkulasi nalar ibarat golek geni adedamar (mencari api membawa obor) atau golek banyu apikulan warih (mencari air berpikulan tirta) suatu “kesia-siaan” atau “kepercumaan”. Sudah bawa obor nyala kok masih mencari api. Bagi banyak pihak, wayang mencari sarangnya wayang, seperti mencari-cari.

Ketika Wayang dalam Jogjakarta International Heritage Festival (JIHF) 2017 lalu ditengarai tema “Wayang, Lakon tanpa Batas”, di antaranya menggelar Sanding Dalang Seribu Bocah yang mewartakan seribu bocah se DIY laki perempuan mendalang bersama di Jalan Margo Utomo Tugu Yogyakarta, 05 November 2018 lalu, banyak yang terhenyak. Anak-anak ternyata begitu dekat dengan dunia wayang. Sebagai penyelenggara, Dinas Kebudayaan DIY tentu selalu ingin punya langkah lanjut ketika wayang telah didorong ke tangan anak-anak untuk dikembangkan menurut kebutuhan kreasi dan wilayah estetika  hidup mereka pada jamannya. Peristiwa itu didesain menurut kalkulasi budaya, bahwa kecintaan anak pada wayang dimulai dari pengenalan, pelibatan, dan menjadi tergugah hasrat kecintaannya (tepung-srawung-dunung).

 

Inspirasi tanpa Batas

Tahun 2018 ini Dinas Kebudayaan DIY menggelar agenda tindak lanjut Sanding Dalang Seribu Bocah, yang mengerucut pada balutan tema Wayang, Inspirasi tanpa Batas. Di tangan generasi pemiliknya, wayang terus akan memburu sarangnya, sarang jatidirinya sebagai karya kreatif bangsa yang tangguh menembus segala zaman. Dipercaya, wayang adalah karya budaya yang menginspirasi laku hidup masyarakat. Wayang tidak dibiarkan merana dalam ruang-ruang kreatif yang telah diciptakannya. Terus disorong agar meluber dan melebur ke dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat terkini, bahkan perlu menyelinap ke dalam batin para pewarisnya. Wayang menjelma menjadi energi kreatif tanpa batas, beranak pinak turun temurun, bertali-temali mengalir panjang dan jauh namun tidak pernah kehilangan kewayangannya. Jadi, biarkan “anak-anak burung-burung wayang” terbang bebas ke langit kreasi, pada saat-saat yang tepat pulang menemukan sarang, ruang-ruang kepulangan setiap pengembaraan.

Simak juga:  Wayang Kancil, Siapa Penerus Ki Ledjar?

Mengapa demikian?

Wayang itu produk hilir, karya budaya muara. Produk hilir yang inspiratif yang hulunya adalah daya cipta. Sumber wayang, sarangnya wayang bukan wayang, melainkan “gagasan-gagasan merdeka”. Wayang juga bukan sekadar karya kerupaan visual dan kemendayuan auditif, melainkan kecemerlangan imajinasi gagasan. Strukturalisasi wayang, penganggapan wayang sebagai bangunan material, atau wayang sebagai instrumen material karya budaya bukan hakikat wayang karena wayang adalah realisasi imajinasi gagasan otentik dan merdeka. Karena itu, wayang itu memerdekakan penggelutnya, bukan mengikat pelaku kreatornya. Wayang itu selalu beranjak melangkah mengembara tetapi selalu pulang sarang, balik kandang.

Naluri besar wayang memang semangat “reproduksi”, tetapi nalar besar wayang adalah kemerdekaan atau ruang pembebasan, penjelajahan, dan perburuan kemungkinan. Daya cipta menjadi kreasi perburuan utama dalam berwayang dan mewayang. Berburu sarangnya wayang, menemu spirit pewarisan bukan berhenti sebagai generasi kewarisan (beroleh warisan) belaka. Apa yang akan diwariskan kepada anak cucu jika para ahli waris hanya mewarisi warisan yang diperoleh dari pendahulu tanpa pernah menambah aset budaya?

 

Tata Surya Wayang

Wayang, inspirasi tanpa batas adalah proses “transgenetik kultural” untuk melahirkan meta-ragam “genetika wayang” yang merenggang tanpa memisah, merapat tanpa melekat, meluas tanpa bablas, menjauh tanpa keruh, sehingga akan tetap dalam orbit galaksi wayang. Seberapapun ragam lan langgam wayang yang akan tercipta, mereka tak akan lepas dari orbit tata suryanya. Tata surya wayang, ekologi kreatif dan energi budaya bangsa ini. Oleh sebab itu, penjelajahan kreatif dunia wayang, seperti perbuatan lunga-mlayu-mulih (pergi-berlari-pulang). Ditemukannya “sarangnya wayang” berarti menjadi proses realisasi imajinasi gagasan dalam genitas otentik kewayangan pada orbit meta-galaksi wayang. Kali ini, dan akan terus begitu, kreasi hak generasi, dan karenanya anak dan anak-anak muda, diajak bergerak dalam orbit wayang-wayang ciptaan mereka. Tentu, sekalipun bukan karya eksperimentasi tetapi tetap diyakini bisa menjadi tawaran atas makin banyaknya pilihan meruwat dan merawat wayang agar tetap memiliki daya survival di tengah tempaan zaman sebagaimana telah dibuktikannya selama berabad-abad.

Simak juga:  Memilih Cakil

Tidaklah mengherankan apabila Wayang, Inspirasi tanpa Batas, sangat yakin pada proses dan keterlibatan para anak, remaja, dan pemuda dalam bersama-sama menciptakan “genetika turunan” wayang yang otentik, spesifik, berbeda tapi tetap mudah dikenali. Wayang pulang sarang dari pengembaraan di langit kemungkinan.

Melalui proses unjuk pikir, unjuk gagasan, unjuk kerja, unjuk be-rasa, dan unjuk karya, para pelaku dalam agenda Wayang, Inspirasi tanpa Batas yang terdiri dari para anak-anak muda, terlibat dalam forum proses yang didampingi mentor-mentor: Catur Benyek Kuncoro, Pardiman Djoyonegoro bersama Tim Omah Cangkem, Ria bersama tim Papermoon Puppet Theater, Sena Videa, dan Aneng Kiswantoro bersama tim, melahirkan satuan generasi yang bersama-sama menggalang kekuatan melahirkan karya “gen wayang”  kolaborasi, karya kerjasama, dan karya komunikasi kultural. Untuk sementara mereka menyebut, (1) Wayang Cinema Wayang Karang Taruna, (2) Wayang Suporter , (3) Wayang Motion, (4) Wa-Ba, Wayang Bayangan, dan (5) Wayang Lingkungan Sekitar.

Serangkaian kerja kreatif mereka, anak-anak, remaja, pemuda bersama para pendampingnya, menemu suatu ruang kreasi yang menggembirakan, wayang itu sesuatu benget, sesuatu yang menggembirakan, bikin riang dan bahagia, dan ketika dirangkai menjadi aliran pertunjukan serempak, kekuatan-kekuatan anak-anak, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus, remaja-remaja sekolah, anak-anak muda suporter sepakbola, pemuda-pemuda akrab digital, bergerak asyik masyuk dalam dunia wayang.

Di Kampus Akademi Komunitas DIY, Jalan Parangtritis Sewon, Bantul, Minggu, 2 Desember 2018, karya proses-proses mereka akan dirangkai dalam peristiwa budaya unjuk karya. Proses bersama mereka mendasari gerakan hamewayang hayuning wayang, kuasa daya cipta. Wayang, inspirasi tanpa kenal lelah. Berbuat dan berbuat, membuat dan membuat, berbuah terarah, teruji dan terpuji. Jadi, mewayang dan berwayang untuk menemu sarangnya wayang, bisa menemukan marwah, harkat, dan martabat karya budaya wayang. Anak-anak muda itu, bagai bermata elang: tahu persis letak sarang, meski jauh dan tinggi berterbangan.

Wayang, inspirasi tanpa batas, pengepakan sayap-sayap tenaga muda.***

 

Purwadmadi, pemerhati dan penulis seni budaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *