Sebagai sebuah gedung pintu seribu, selalu ada yang berada di dalamnya, hilir mudik lewati pintunya, ada pula yang lalu lalang di lingkaran luarnya. Tidak dilupakan pula, mereka yang sebatas memasuki halaman dan tamansari di pekarangannya. Hebatnya wayang atau rumitnya wayang?
Akan halnya hitungan sewu dalam khazanah petung Jawa, sejatinya sodoran hitungan jumlah yang kadang tidak difinitif, tanpa kalkulasi. Gedung Lawan Sewu di Semarang, Gunung Sewu di Gunungkidul, atau Grojogan Sewu di Tawangmangu, Siti Sewu di Kota Yogyakarta, atau Sewu Galur di Kulonprogo, Sana Sewu di Bantul, bahkan ajian sakti Bala Sewu, tidak ada yang berpayah-payah menghitungnya. Langsung percaya, termasuk percaya bahwa senyatanya kurang atau lebih dari hitungan seribu. Kepastian jumlah tidak penting, suatu timbangan kualitatif. Artinya, soal “berapa” itu tidak penting, dan yang jauh lebih penting adalah perkara “banyak” tak terhitung. Sangat kualitatif.
Wayang adalah dunia metaforik. Dunia lakon fiktif dan simbolik. Sangat imajinatif meski kaya eskpresi realitas empirik. Dunia amsal, dan karenanya ajakan mengamsalkan wayang sebagai gedung lawang sewu, mohon untuk ditanggapi sebagai cermin naïf dari suatu kesulitan untuk “memulai” membicarakan wayang melalui pintu-pintu yang mana. Tidaklah elok melewati seluruh pintu, atau sebagian besar pintu, banyak pintu, untuk satu satuan paket “wiracarita” yang terbatas oleh persyaratan normatif, utamanya syarat waktu. Satuan waktu sesaat tidak bisa mencakup seluruh pintu-pintu dan ruang-ruang “bangunan wayang” yang megah dan rumit. Tidak perlu risau, sebab seperti teramsal dalam introduksi tulisan ini, selalu boleh memilih pintu dan ruang, satu atau lebih.
Satu amsal lagi, dari dunia pewayangan, hitungan satu yang mengenapi jumlah seribu karena keunggulan komparatif. Jika dalang wayang kulit purwa mencandra seorang perempuan cantik, perempuan tercatik dari yang cantik-cantik, mengibaratkannya “widadari sakethi kurang siji”, bidadari seribu kurang satu. Yang satu itu, yang tercantik. Dan, ingat pula sakethi kurang siji itu, angka kembar tiga 999. Tidak perlu mengajak pembaca membahas angka 999 itu, karena tidak kontekstual dengan topik yang hendak diurai dalam tulisan ini. Itulah wayang, bicara satu “teks pintu”, teks-teks yang lain berkelindan menyertai.
Wayang, kadang-kadang menjadi dunia yang dipahami secara tekstual, melupa konteks dan interteksnya. Acapkali pula, lepas konteks karena tipisnya kesadaran teks masarakat pendukungnya. Dari arah pintu berbeda, wayang tampak sebagai sumber teks kebudayaan yang lengkap, adi budaya yang luhung, adi luhung. Keluhungan yang tak henti dan selesai dikaji, ditelaah, dirumuskan, diteorikan, dan dipraktikkan. Hakikat dan syariatnya mencapai kemakrifatan laku wayang, perjalanan bersama bayang menuju langit pengharapan. Wayang, selalu diperkarakan sangkan, paran, dan dumadi-nya. Tak ada habisnya, oleh sekalian umat manusia di berbagai belahan bumi yang memiliki tradisi budaya wayang. Wayang itu universal.
Satuan utuh nilai pertunjukan bayangan gerak wayang kulit ber-tatah-sungging, beserta ekspresi lisan pergelarannya, kompleksitas musik karawitan yang mengiringinya, bagian dari warisan mahakarya budaya dari Indonesia untuk dunia.
Pengakuan Dunia
MEMELIHARA wayang konsekuensi logis pertanggungjawaban tindak lanjut atas masuknya karya budaya Indonesia dalam Representatif List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity, UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Tanda pengakuan dunia atas karya warisan budaya bangsa Indonesia. Karya budaya Indonesia terkait dengan DIY, yang telah beroleh pengakuan dunia, Wayang (2003), Keris (2005), dan Batik (2009). Pemerintah DIY menyelenggarakan JIHF sekali dalam dua tahun dan setiap kali penyeleggaraannya, bergantian antara wayang, keris, dan batik. Tahun 2017, jatuh pada giliran presentasi wayang.
Wayang, pertunjukan keping boneka wayang lewat bayangan dan wicara tuturan lisan, menjadi Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Karya budaya umat manusia, melalui tuturan bernilai, warisan budaya takbenda. Dari Indonesia untuk dunia. Indonesia juga telah meratifikasi Convention for the safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2002, suatu Konvensi UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Terkait hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007.
Umar Kayam, dalam bukunya “Kelir tanpa Batas”, (Gama Media, 2001) sudah sangat jelas mengurai bahwa wayang adalah objek penelitian yang selalu berproses, sehingga tidak akan pernah final sebagai suatu kajian budaya. Jelas, JIHF ini terinspirasi oleh uraian telaah budaya Umar Kayam, wayang, kelir tanpa batas.
Wayang, boleh disebut bagaikan “gedung lawang sewu”. Sulit memilih dari pintu mana akan memulainya beserta cakupan yang berada di dalamnya. Namun, jika kepurwaan wayang purwa terakui kepurwaannya, maka wayang kulit, keping kulit yang di-tatah rumit dan di-sungging teliti, dimainkan menggunakan teknik pencahayaan, melahirkan bayangan hidup bergerak di kelir, dengan mengalirkan tuturan lakon-lakon tertentu dalam janturan, suluk, tembang, pocapan, gunem, antawecana, jogetan, sabetan, oleh dalang dengan iringan karawitan gamelan bersama lirik sindenan dan gerongan oleh pradangga, maka pematang pilihan materi pameran menjadi lebih sederhana, konkrit, dan fundamental sebagai sumber inspirasi kreatif wayang-wayang lain sesudah kepurwaannya. Percaya saja, disebut wayang purwa karena boleh dibilang “mendahului”, sulung, dibanding yang lain, sekaligus tetap hidup sampai saat ini, membersamai timbul tenggelamnya wayang-wayang lain “sesudahnya”. Wayang dalam pengertian yang mengerucut. Dari wayang purwa itu, terlacak perjalanan lanjutnya.
Membaca Wayang
MEMBACA wayang, membaca kehidupan. Sekurangnya, di antaranya meliputi 12 sudut pandang katagoris, dari, (1) gambar atau keping dua dimensional bolak-balik, dan “boneka” tiga dimensional yang dimainkan, (2) bahan baku keping dan boneka wayangnya, (3) cerita dan lakon yang dibawakan, (4) lokasi asal dan keberkembangaanya, (5) media dan tempat-waktu saat dipergelarkannya, (6) iringan dan ilustrasi musiknya, (7) teknik-teknik memainkan dan alat-alat bantunya, (8) figur-figur yang memainkannya, (9) lapisan dan tipologi masyarakat penonton dan pendukungnya, (11) masa zaman hidup dan berkembangnya, sampai dengan (12) fungsi, peruntukan, dan kemanfaatannya. Wayang ada dalam banyak tradisi di berbagai belahan dunia. (Purwadmadi, Jawa Pos, 15 September 2013).
Akan halnya wayang kulit purwa. Jikalaupun ia dianggap sebagai sumber estetik masyarakat, saya pernah menulis (ibid, 2013), mungkin (pakai kata mungkin terkait kelawangsewuan dunia wayang) itu karena:
- wayang melapis dengan kekuatan lakon-lakon hidup yang fiktif, tetapi melampui tingkat pemahaman publik atas realitas;
- wayang adalah ekspresi kreatif visual yang sangat detail dengan irama relung-relung lembut, ragam warna busana-asesori yang nyaman di area mata pemandangnya lewat teknik sungging yang jelimet; apalagi diimbuh oleh teknis tatah yang merupakan penemuan teknologi tembus sinar dan efek bayangan di kelir;
- wayang dimainkan dengan ekspresi gerak yang mengimitasi gerak-gerak manusia dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam situasi khusus seperti bertarung (pencak silat) dan menari (joget); beberapa figur memiliki kemampuan gerak istimewa yang diolah dengan teknik sabet;
- lingkup gending iringan dan ilustrasi dalam pertunjukan wayang, termasuk suluk dan tembang, berada dalam ranah karawitan tinggi yang lengkap, rumit, dan mendalam, tetapi tetap luwes dalam pelaksanaannya karena selalu menyesuaikan tingkat penguasaan para pengrawitnya. Karena itu, dalang yang baik haruslah memiliki taraf kemampuan hanggendhing, menguasai jiwa dan teknis gending;
- wayang adalah seni drama lisan yang bercitarasa sastra tinggi (lewat suluk, janturan dan panyandra) sekaligus populer-merakyat dan komunikatif (lewat antawecana, pocapan, gunem dan geguyonan). Sastra wayang menembus ranah sastra tulis lewat pembacaan atas sumber lakon dan penulisan buku-buku yang tidak saja menjadi sumber lakon (babon) tetapi juga menjadi panduan teknis dalang dalam memainkan lakon, bahkan termasuk paduan perilaku serhari-hari bagi seorang dalang, adab dalang;
- wayang juga seni pertunjukan kolosal yang melibatkan para seniman pelaku yang memainkan musik (niyaga/pradangga) dan menyanyi (sindhen/waranggana dan wiraswara), bidak-bidak anak wayang, para kru pendukung yang menyiapkan keperluan teknis, dan penonton yang berpusat pada otoritas “Sang Dalang”. Wayang jadi pertunjukan yang memiliki pusaran dukungan dengan melibatkan begitu banyak orang yang bersentrum pada pusaran as, yaitu otoritas dalang.
Jadi, kekuatan wayang tidak berbatas pada kekuatan oralitasnya. Ia meliputi hampir semua sisi dan sendi hidup, dan karenanya wayang berbasis pada kekuatan humanitasnya. Wayang menyuarakan bobot kemanusiaan.
Dalam konteks indikator kompleksitas wayang purwa, tentu layak dipandang pula sebagai pameran yang tidak sebatas sajian material visual melainkan juga sodoran nilai pengetahuan yang selalu menyertai dan berada lengket di sebalik karya budaya wayang, segala wayang. Deretan material pameran, tentu lewat tata kelola saji yang bersifat respon dan rekasi estetika keruangan, capaian artistik penempatan, namun semua akan tetap tidak bisa mengalahkan pencapaian estetika visual karya warisan budaya wayang.
Dalam suasana hati runduk taksim pada kuasa derajat pencapaian estetika material wayang, material visual pameran disajikan untuk dan atas nama eksposisi atau presentasi spiritualitas dan nilai, dengan meminjam representasi sejumlah figur wayang yang mewakili episode zaman, peragaman jenis dan bentuk, penggolongan terminologi akademis, episode penjelajahan kreatif, sampai dengan latar belakang historis kemunculan dan keberadaannya. Tidak semuanya, tetapi cukup sebagai bahan bicara, sejatinya apa dan bagaimana yang perlu dilakukan dalam mewarisi, melindungi, memelihara, mengembangkan, dan memanfaatkan karya warisan budaya takbenda wayang. Pada akhirnya, sajian material wayang dalam pameran, bahkan dalam pertunjukan oleh para dalang pun, selalu masih memerlukan oralitas (pelisanan) keterangan pelengkap, penjelas, dan pendetail yang menghangatkan setiap perbincangan wayang. Wayang hadir selalu untuk dibicarakan. “Kodrat” wayang, pelintas perubahan.
Dalam situasi yang demikian, sulit melakukan kanalisasi katagoris yang lurus lugas, karena berbagai irisan, persilangan, persalingan, dan ketumpangtindihan selalu mewarnai wayang. Jika akhirnyapun disajikan wayang kulit purwa koleksi berbagai pihak, baik milik lembaga kendali budaya, ataupun pribadi pelaku kuat pewayangan dan pedalangan, bukan untuk maksud keterwakilan katagoris. Mungkin, presentasi yang tidak representatif, tetapi sekurangnya menyiratkan maksud memperluas ruang pemahaman dan pengetahuan baru kalangan awam agar makin tertarik mencintai wayang. Bersamaan dengan itu, pameran dituntut pula mempertimbangkan segi-segi pengamanan estetika bentuk sebagai suatu pameran fisik visual, termasuk jaminan keamanannya.
Daya Lekat Wayang
Wayang memiliki potensi daya lekat dan daya rekat hubungan sosio-kultural antarbangsa. Bagaimana kita yang dalam satu bangsa? Wayang, duta dan diplomamat budaya. Namun, disadari wayang berada di tengah perubahan peradaban. Wayang terbukti mampu meniti buih-buih perubahan dan menjiwai setiap pergeseran wacana dan wilayah budaya. Dugaan saya, ada banyak faktor, seperti yang dalam artikel “Membaca Wayang”. Di antaranya,
Pertama, wayang berada dalam pusaran akhir tradisi feodal menuju masyarakat madani yang sedang mencoba demokratis.
Kedua, wayang memasuki masa akhir tradisi agraris menuju masyarakat industrial, yang tentu saja termasuk industri seni hiburannya.
Ketiga, wayang secara merangkak meninggalkan basis pendekatan mitologis menujupendekatan akademis. Termasuk pendekatan lisan ke pendekatan lebih tertulis.
Keempat, wayang sedang berubah ke arah manajemen kolegial (team work) dari tradisi panjang penyerahan diri pada otoritas tunggal Ki Dalang.
Kelima, wayang yang sejak awal didesain sebagai sumber orientasi nilai hidup, etika dan moral, suatu pertunjukan edukasi yang menghibur, kini makin menguat fungsi sebagai media ekspresi individual atau kelompok/golongan, bahkan sering memperlihatkan ekspresi seni gerakan.
Keenam, adanya tekanan berupa tuntutan rasionalisasi atas wayang berdasar realitas kehidupan, mengubah wayang yang serba imajinatif menjadi mendekat ke arah faktual. Realitas fiktif diubah menjadi reportase faktual. Terjadi pemiskinan dan pemasungan daya bayang penonton wayang.
Ketujuh, wayang kulit yang semula punya otoritas kuat sebagai media komunikasi massa, kini sedang bernegosiasi dengan perkembangan teknologi media berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Negosiasi itu meliputi kerjasama antara karakter dominan yang masing-masing mereka miliki, dan tentu saja wayang tidak demikian saja takluk sekadar menjadi subordinat dari kuasa media bersifat digital yang seakan “serba ada, serba bisa, serba sewaktu”. Wayang elektornik-animatif, wayang video-televisi, wayang digital, dan wayang hybrid menjadi bagian dari keriuhan lalu lintas on line media dan situs jejaring sosial media.
Kesimpulan
Wayang, dunia tanpa akhir, karena sulit juga mengenali kapan dimulai. Informasi arkeologis, artefak budaya wayang, dalam cakupan wilayah kultur segala bangsa, bisa terukur masa-masa perjalanan historisnya, wujud dan tanda kelahiran keberadaannya. Tetapi konteks budaya yang melingkupi dan menyertai tidak serta merta terbaca dari bukti artefak dan keprasastiannya. Mewayang-mendalang, memainkan keping boneka tembus cahaya, akibat tatah-an (pelubangan) pada lembar keeping sosok tokohnya, dibauri dan dibarui oleh tampilan dari seluruh penjuru, berupa ratusan ragam anak-anak wayang utuh pandang dalam kepadatan, dua dimensi atau tiga dimensi, tidak tembus pandang dengan berbagai cara memainkan, lakon yang dibawakan, dalam cakupan wilayah daya dukung geospasial dan geokulturalnya. Apapun itu, wayang adalah kekayaan ekspresi umat manusia.
Khusus wayang dalam arti kulit purwa dengan seluruh oralitas wiracarita dan bingkai tampilannya, termasuk lirik dan notasi gending karawitan musik pendukungnya, menjadi penanda kuat kekayaan warisan budaya inspiratif yang menopang laju pertumbuhan dan perkembangan wayang dalam beragam keteknikan bentuk visual dan kedalaman isi pesannya. Karena itu, merespon dan mereaksi wayang tidak mungkin hanya berangkat dari satu jenis wayang karena antar semua jenis terkandung pula keragaman locus dan tempus-nya. Manusia-manusia kreatif dari beragam waktu dan jaman, tersebar dalam beragam tempat geografis dan lokasi kultural yang selalu dalam rapatan tali-temali persinggungan dan ketumpangtindihan. Wayang, dunia tali-temali, pilinan saripati kebudayaan antarbangsa.
Wayang, dan seluruh cakupan yang ada di dalamnya, selalu layak untuk dibincangkan sekaligus sudah sepantasnya didorong untuk dicipatkannya karya-karya serunut wayang, selaras kewajiban menjawab tuntutan perubahan. Akan selalu lahir “wayang-wayang baru” bersamaan dengan perayaan kebesaran wayang oleh dunia.
Wayang, “dunia lawang semu”, gedung dengan seribu pintu, dari pintu manapun memasukinya, melalui pintu manapun meninggalkannya, semua dapat dikenali dan berada dalam satu kesatuan ruang perjumpaan. Ruang tegur sapa. Sejatinya, wayang itu satu pintu, yaitu, persaudaraan antarbangsa. ***
Purwadmadi,
Pemerhati dan penulis seni-budaya