Kalau hanya sekadar menjadi ‘wartawan tukang’, wah, alangkah mudahnya jadi wartawan. Tidak perlu banyak pengetahuan. Tidak usah kaya keterampilan. Yang penting, dan yang pokok, asal tahu saja dengan rumus atau unsur-unsur berita 5 W dan 1 H itu. Tahu apa itu What, apa itu Who, When, Where, Why dan How. Nah, cukup.
Dengan bekal rumus itu lalu terjun ke lapangan. Menghadiri pelantikan pengurus Dharma Wanita, mengikuti istri Bupati panenan di sawah, datang ke jumpa pers seorang pengusaha, meliput peresmian gedung, dan macam-macam. Lalu mencatat atu merekam semua keterangan, mengumpulkan data atau menjepretkan kamera. Di kantor, atau mungkin di rumah, ambil laptop, komputer dan semacamnya, kemudian lihat buku catatan.
Pekerjaan pun dimulai. Dengan pengetahuan sebatas 5 W dan 1 H, data-data yang dicatat atau direkam, ditambah sedikit perbendaharaan kata-kata, menjelmalah menjadi sebuah berita. Bereslah sudah pekerjaan itu. Dan, selesailah salah satu pekerjaan sebagai ‘wartawan tukang’ atau ‘tukang pembuat berita’. Kemudian puas.
Tak Punya Manfaat
Di zaman now, di masa teknologi informasi berkembang dan mengalami kemajuan pesat, dan di masa masyarakat yang sudah cerdas dalam mensikapi perkembangan pola kehidupan maupun perubahan sosial dan politik, Indonesia sudah seharusnya tidak memerlukan lagi wartawan atau jurnalis yang berstatus ‘tukang’ itu.
Karena wartawan-wartawan ‘tukang’ itu tidak punya manfaat apa-apa bagi negara yang sedang gencar membangun dan mensejahterakan rakyat, serta memberi ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat atau rakyatnya untuk menikmati kemajuan di bidang informasi. ‘Wartawan tukang’ hanya sekadar bermanfaat bagi dirinya sendiri, dan bermanfaat bagi redaktur atau desk penanggungjawab halaman yang merasa lega medianya sudah penuh berita. Andai ada juga redaktur yang begitu, maka si redaktur itu pun layak dikategorikan sebagai ‘redaktur tukang’.
Lantas wartawan macam apa yang diperlukan? Jawabnya jelas. Indonesia memerlukan wartawan-wartawan yang mampu merealisasikan dan mengejawantahkan segala fungsi dan peranan pers di dalam beragam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga kini tak pernah berhenti membangun. Pembangunan dilakukan di segala sektor. Sektor fisik maupun non-fisik. Termasuk di antaranya membangun kesadaran berbangsa dan bernegara. Juga membangun kesadaran untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, menjaga serta menghormati keberagaman.
Sejak lama diakui, pers memiliki peranan penting dalam mensukseskan pembangunan di suatu negara. Salah satu dari peranan penting pers dalam pembangunan suatu bangsa atau negara, atau bila meminjam istilah yang gencar disebutkan di era terdahulu yaitu pembangunan nasional, sebagaimana yang sering disebut para ahli komunikasi adalah sebagai sumber dan senjata pembaharuan di segala bidang.
Tidak berlebihan rasanya jika mengutip pendapat Wilbur Schramm yang di era Orde Baru dulu sering didengungkan, yakni letak peranan mass media (pers) dalam pembangunan nasional adalah dalam hal membantu mempercepat proses peralihan masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat modern.
Peralihan yang dimaksudkan Wilbur Schramm itu, peralihan dari kebiasaan-kebiasaan yang menghambat pembangunan ke arah perilaku baru yang peka dan tanggap terhadap pembaharuan demi pembangunan.
Walau pendapat Schramm ini populer di era terdahulu, tapi sepertinya pendapat itu masih layak dikemukakan di era sekarang. Karena hingga hari ini proses peralihan masyarakat itu masih terus berlangsung.
Di sinilah wartawan harus berfungsi dan memainkan perannya. Dalam menjalankan kerja kewartawanannya, wartawan dituntut tidak hanya sekadar puas membuat berita, tapi juga dituntut berusaha bagaimana berita atau tulisan yang dibuatnya tidak hanya berwujud informasi semata. Berita atau tulisan itu haruslah diupayakan mampu menjadi senjata pendorong, penggerak, pembangkit semangat masyarakat, juga partisipasi dan keikut-sertaan dalam mensukseskan langkah besar pembangunan. Termasuk di dalamnya pembangunan mental dan ideologi bangsa, demi menjaga tetap berkobarnya semangat kebangsaan di dada setiap anak bangsa.
Tidak Ringan
Lalu apa yang harus dimiliki dan dilakukan oleh wartawan Indonesia guna memenuhi tuntutan tugas mulia itu?
Tugas itu memang tidak ringan. Banyak yang berpandangan bahwa tugas itu cukup berat. Bahkan ada yang menyangsikan kemampuan wartawan untuk memikul tugas dan tanggung jawab berat itu.
Mampukah? Pertanyaan ini memang masih merepotkan jika wartawan-wartawan masih saja terlena dengan statusnya sebagai ‘tukang’. Andai status ‘tukang’ itu sudah ditinggalkan, tentunya semua mudah untuk dilakukan. Pertanyaan pendek itu akan mudah dijawab. Wartawan Indonesia pasti mampu memenuhi semua tuntutan tugasnya demi keberhasilan pembangunan.
Untuk meninggalkan status ‘tukang’ itu, wartawan harus meninggalkan kebiasaannya bertumpu dengan sekadar tahu 5 W dan 1 H, serta teori piramida terbalik. Wartawan dalam penulisan berita atau karya jurnalistiknya, selain memasukkan keenam unsur berita yang diketahuinya, haruslah mengupayakan karya jurnalistiknya itu menjadi hidup, segar, merangsang semangat, dan mampu membawa pembaca, pemirsa atau pendengar media sampai ke lokasi peristiwa.
Dan yang terpenting, berita atau karya jurnalistik itu tidak hanya ‘informasi mati’, melainkan ‘informasi hidup’ yang mampu menggerakkan dan mendorong pembaca, pemirsa atau pendengar, maupun masyarakat luas, terlibat langsung ke dalam obyek pemberitaan. Jika itu dikaitkan dengan pembangunan, maka mampu menggerakkan semangat masyarakat untuk ikut berpartisipasi terhadap gerak laju pembangunan, termasuk pembangunan karakter bangsa.
Jurnalisme Baru
Karya jurnalistik dengan ‘informasi hidup’ semacam itu oleh kalangan ahli komunikasi sejak era 80-an dulu dikenal dengan sebutan Jurnalisme Baru. Dan, untuk negeri kita yang proses perubahan itu masih terus berlangsung, sebutan Jurnalisme Baru itu sepertinya masih tetap layak. Bahkan, rasanya kita tak perlu alergi untuk menyebutkan Jurnalisme Baru itu sebagai Jurnalisme Pembangunan. Bukankah kita masih tetap dalam proses membangun?
Sebutan Jurnalisme Baru dewasa ini memang sudah jarang terdengar. Ada kesan sebutan itu warisan era sebelumnya, era Orde Baru. Padahal sesungguhnya tak perlu alergi untuk mengatakan, bahwa Jurnalisme Baru masih layak dikembangkan atau digunakan oleh wartawan Indonesia dalam menjalankan kerja profesinya hingga hari ini.
Sekadar bekal untuk memahami Jurnalisme Baru atau Jurnalistik Baru, barangkali dapat dicatat apa yang pernah dikemukakan oleh pakar komunikasi S Sinansari Ecip pada tahun 80-an lalu.
Menurutnya, untuk menyiapkan sebuah karya Jurnalistik Baru diperlukan ketekunan dalam mencari bahan yang berbobot dan mendetil. Bahan-bahan itu meliputi babak-babak dalam peristiwa, dialog-dialog yang mantap dan memang diperlukan, kebiasaan-kebiasaan yang terperinci serta emosi yang hidup. Babak-babak atau adegan-adegan peristiwa harus tersusun dengan rapi. Percakapan yang penting haruslah realistis. Sudut pandangan penulis berupa pandangan orang ketiga. Syarat berikutnya adalah perekaman peristiwa yang bersimpul. (Jurnalistik Baru, Kompas, 17 November 1983).
Meski sudah dipopulerkan sejak tahun 80-an, tapi rasanya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Jurnalisme Baru atau Jurnalistik Baru masih layak diterapkan dalam kerja jurnalistik sekarang ini. Karena makna dan hakekat dari Jurnalisme Baru itu adalah tidak sekadar menyuguhkan informasi mentah kepada masyarakat.
Masyarakat pembaca, pemirsa atau pendengar memerlukan informasi atau bentuk-bentuk penulisan pers yang mampu mendorong perhatian mereka untuk terlibat dalam suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan nasional.
Misalnya, penulisan-penulisan tentang ekonomi, tentunya diharapkan mampu mengajak partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam gerak pembangunan ekonomi. Meliput kegiatan di bidang koperasi, misalnya, tidak hanya pada kegiatan-kegiatan pembangunan gedung koperasi semata, tetapi bagaimana keberhasilan koperasi itu menunjukkan manfaat yang besar bagi anggotanya.
Demikian pula penulisan di bidang-bidang lain. Misalnya, pemberitaan masalah kejahatan, hukum, olah raga, pendidikan, seni budaya, pariwisata, politik, dan lain-lainnya, haruslah ditujukan pada sasaran yang sama.
‘Informasi hidup’ yang disajikan lewat berita-berita atau karya-karya jurnalistik di koran-koran, di media penyiaran bahkan media online, tidak hanya memberikan publik sekadar tahu akan suatu peristiwa. Akan tetapi mengajak publik pembaca, pemirsa atau pendengar, untuk berpikir, mengambil kesimpulan, menentukan sikap, tertawa, gembira, terhibur, dan mungkin juga terharu dengan penderitaan orang lain.
Dan, semuanya itu tak mungkin diraih oleh ‘wartawan tukang’. *** (Sutirman Eka Ardhana)