Rabu , 11 Desember 2024
Para gerilyawan MILF di depan posnya. (Foto: Ahmad Latief)

Rokok dan Gerilyawan MILF

KETIKA sampai di check-point terakhir sebelum memasuki areal Kamp Abu Bakar Ash Shidiq, markas utama MILF (Moro Islmic Liberation Front) di kaki sebuah gunung di Maquindanao, Filipina Selatan, yang pertama ditanya: Apakah Anda membawa rokok?

“Ya, ada beberapa kotak,” jawab saya seadanya.

Petugas di pos pengawalan kamp utama tempat tinggal pemimpin MILF, Ustaz Salamat Hashim, tak minta saya menunjukkan bungkus-bungkus rokok atau mengeluarkan benda ‘haram’ itu dari tas sandang saya. Hanya diberitahu tentang larangan merokok. Saya manggut-manggut.

Dan, benar. Sekalipun ketika itu saya masuk kategori perokok berat, selama lebih sepekan tinggal bersama para gerilyawan mujahidin Moro di Kamp Abu Bakar dan Kam Ali Bin Abi Talib itu, saya bisa berhenti merokok. Hal yang sama juga terpaksa saya taat larangan merokok ketika masuk ke sarang mujahidin di Afghanistan.

Berhenti merokok untuk keperluan meliput. Tapi begitu keluar dari teritorial larangan merokok, asap rokok dari rongga mulut pun mengepul lagi. Dan baru benar-benar berhenti ketika saya mau mengerjakan ibadah haji awal tahun 2000-an. Kendati iblis tak pernah lelah membujuk saya dengan mengirimkan bau beragam asap, termasuk bau asap cengkeh dari beragam rokok kretek produksi Indonesia, yang sangat saya hapal.

Simak juga:  Meninggalnya SOEKARNO Tak Seindah Jasanya Memerdekakan Bangsa Indonesia

 

Kisah Rokok di Yogya

Ketika masih kuliah pada tahun-tahun awal di Yogyakarta, saya ingat betul suatu ketika ada perselisihan antar-suku di kota pelajar itu. Masing-masing pihak saling baku hantam kalau ketemu di jalanan.

Pada hari-hari yang tegang dan mencekam itu, kalau bekal rokok sudah habis, malam-malam saya keluar membeli rokok di kios Pak Amat, depan Pasar Lempuyangan, Yogya. Hampir sebagian besar nama merek-merek rokok saya hapal. Mulai yang kretek, sampai rokok putih dan cerutu. Kalau lagi ‘miskin’, saya masuk Pasar Beringharjo membeli tembakau yang aromanya bisa dipilih, juga kertas untuk dilinting sendiri. Rokok jenis ini terkenal dengan mereknya sendiri “tingwe“, alias melinting dewe.

Syukur Alhamdulillah, sekarang bisa lupa aroma asap yang mulai akrab sejak usia dini itu. Angkara rokok juga, saya sempat opname di RS Bethesda, Yogya, selama 24 hari karena peradangan paru-paru.

Ketika masih menjadi ‘budak’ rokok, saya tahan duduk berjam-jam di tengah kerumunan orang-orang merokok. Tapi sekarang, melintas saja di depan orang yang lagi merokok, efeknya saya akan pulang membawa batuk. *** (Ahmad Latief)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *