PENGAYUH SEPEDA UNTA
: soekarno
akulah pengayuh sepeda unta
keliling kampung, menjaja kata
keliling kampung, menjaja cinta
bukan pada pandang yang kejora
wajah merah, mataku nan marah
bukan pada senyum yang purnama
tulang putih, penatku nan tatih
akulah pengayuh sepeda unta
keliling kota, menghasut takut
keliling kota, membakar tekar
bukan geram atau raung kematian
tapi rindu, pungguk meluk bulan
bukan kebencian atau kemurkaan
tapi cinta, merdeka dari jajahan
kini, lampuku telah padam
pijarnya terbunuh dendam
suluhnya direnggut kelam
kini, matahariku telah tenggelam
tikam panggangnya diambil malam
tengkah kompangnya terbungkam
sepeda unta pun tak dipakai lagi
lelah dan istirah di rumah sejarah
tontonan wisatawan berselfie riah
sepeda unta pun tak dipakai lagi
bersalin wajah menjadi mercy
menabrak rerambu sesuka hati
oh, akulah si pengayuh sepeda unta
keliling negeri, memungut airmata
Mboro, 2017
RAJA KECIK MENAHAN SEDAN
: kafz
dikau yang doa
kala embun masih rimbun
dikau yang bunga
kala embun di ujung daun
dikau yang menyanyi menari
kala embun telah pergi
cengkok lagumu menelikung liku
di dawai gambus yang memupus
mencakar matahari yang membakar
langkah zapinmu berhitung ganjil
di tengkah marwas yang ganas
menerjang siang yang panggang
di degilmu, sejarah terdedah
di nakalmu, marwah terbelah
bukan aku cemaskan waktu
namun zuriat disinggah malu
bukan aku menangis sesegukan
namun raja kecik menahan sedan
dengung lebah yang berhumban
tak berbisa di resahmu yang luka
sengat tembuan yang berdatangan
tak bergigit di risaumu yang langit
masih adakah kebenaran yang kau
surukkan?
tumpahkanlah ke panci hatiku
akan kujerang di tungku senyuman
Mboro, 2017
RIAU BUKAN TEXAS
: aris
riau bukan texas
tak ada penghalang wajah di kepala
hanya sorban dan tanjak yang terletak
namun, badan jadi tegak cegak bagak
menantang matahari dengan besar hati
riau bukan texas, katamu
yang suka memeras bumi bawa pergi
yang menebuk hati anak-anak negeri
riau bukan texas, kataku
yang mencincang kemaluan ibu-ibu
dengan parang tumpul tak bermalu
riau bukan texas
tak ada pistol sarung kulit di pinggang
hanya kain tenun sarung terselempang
namun, marwah jadi terbilang, bersinar
cemerlang negeri yang gilang gemilang
riau bukan texas, kata kita
menyambut tamu, wajah tersenyum madu
halaman sepenuh hamparan karpet rindu
walau airmata terus menyimbah cinta
jenazah, berkabar tentang duka bunda
riau bukan texas, kata mereka
datang dengan sejuta senyum bunga
ucap salam, tanpa sembunyi geram
membaca kalam tanpa simpan dendam
riau bukan texas
tak ada ringkik kuda terpekik di malam hari
pun alunan banjo dan harmonika lupa irama
adalah mihrab yang hening, sunyi bunyi
di sini
di riau
bukan texas
berhias airmata di sajadah tua yang cinta
Mboro, 2017
Catatan:
Puisi Kebangsaan kali ini menghadirkan tiga puisi karya penyair Norham Abdul Wahab. Ketiga judul puisi tersebut terhimpun di dalam buku kumpulan puisinya “Preman Simpang“, yang diterbitkan TareSI Publisher, Jakarta, 2018.
Norham Abdul Wahab lahir di Bengkalis, Riau. Setelah menyelesaikan kuliah di Ilmu Sastra FIB UGM pada pertengahan tahun 1990-an lalu, ia pulang ke daerah kelahirannya. Ia kemudian berkiprah selama beberapa tahun di Harian “Riau Pos” dan menjadi penanggungjawab halaman budaya “Sagang”. Di bawah asuhannya, halaman budaya “Riau Pos” itu telah memunculkan banyak nama cerpenis dan penyair terkemuka di Riau, di antaranya Husnizar Hood, Ramon Damora, Syaukani Alkarim, Hang Kafawi, Murparsaulian.
Tapi kemudian dia meninggalkan hiruk-pikuk dunia kewartawanan, dan kini aktif di jalan dakwah, sambil menjalankan sejumlah usaha perniagaan. Kini ia lebih banyak menghabiskan waktu di sebuah desa kecil tidak jauh dari Gunung Lawu, Desa Temboro, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, bersama istri dan ketiga anaknya.
Simaklah puisi-puisi ini dengan seksama, dan kebeningan hati. Maka akan terlihat bagaimana Norham Abdul Wahab mengungkapkan rasa kecintaan, perhatian dan rasa kepeduliannya yang besar terhadap bangsa dan negara ini. Simaklah bagaimana ia mencoba menyentuh rasa kebangsaan kita melalui puisi-puisinya. Ia mengungkapkannya semua dengan kerendahan hati. Bukan dengan teriakan-teriakan nyaring, tapi tak bermakna.
Selamat menikmati! *** (Sutirman Eka Ardhana)