Dalam pertempuran dengan persenjataan yang tidak seimbang itu, jelas memakan korban ratusan meninggal di pihak tentara rakyat. Tapi sama sekali tidak menyurutkan semangat pejuang mengusir penjajah. Pertem-puran yang heroik itulah kemudian setelah kemerdekaan dijadikan tonggak sejarah perlawanan terhadap penjajah dengan sebutan Hari Pahlawan 10 November. Persoalannya kini, bagaimana kaum milenial memaknai dan mengapresiasi perjuangan para pejuang yang rela mengorbankan nyawa demi menyongsong kemerdekaan bangsanya. Adakah getaran dalam jiwa kaum milenial setelah menonton drama teatrikal perlawanan rakyat menghadapi gempuran penjajah? Atau menanggapi dengan biasa-biasa saja. Toh peristiwa itu sudah berlalu. Saat ini tantangannya berbeda? Jadi bersikap skeptis?
Menyimak paparan di atas jelas ada persoalan tersembunyi di balik sikap skeptis anak-anak milenial. Perlu digali lebih mendalam penyebab mengapa anak-anak zaman now kurang tertarik dengan kisah-kisah perjuangan pendahulu mereka? Apakah memang tidak pernah atau jarang mendengar kisah-kisah bagaimana rakyat memperjuangkan kemerdekaan? Lebih spesifik lagi apakah para siswa tidak lagi diajarkan pelajaran sejarah di sekolah? Kalau benar pelajaran sejarah bangsa tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah, ini jelas masalah besar dan memotong sejarah keberlangsungan bangsanya. Berarti pula memutus kesinambungan sejarah bangsa. Generasi yang tidak memahami sejarah perjuangan bangsanya, bagaimana mereka dapat menghayati nasionalisme bangsanya. Mereka tercerabut dari akar budaya bangsanya? Tentu hal seperti ini jangan sampai benar-benar merealitas di kalangan kaum milenial.
Guna membahas persoalan di atas, Pagu-yuban Wartawan Sepuh (PWS) Yogyakarta bekerjasama dengan Yayasan Museum Monu-men “Yogya Kembali” menggelar Diskusi Kebangsaan ke XXI bertema : “Memaknai Ulang Kepahlawanan di Negara Pancasila”. Tampil tiga nara sumber: Drs. Edy Widyatmadi, M.Si (pengajar), M. Nursam, S.S. (penerbit Ombak) dan Drs. HM Idham Samawi (Anggota DPR/MPR RI). Dari pembahasan selama diskusi sepakat menginginkan bahwa, saat ini yang diperlukan adalah keteladanan seorang pemimpin. Anak-anak muda milenial ingin bukti nyata berupa karya yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Sebagai moderator diskusi, budayawan Indra Tranggono menyampaikan sebuah penelitian yang cukup mengagetkan kita semua. Hasil penelitian itu mencatat, bila kaum milenial dekat dengan agama, maka mereka akan menjadi fundamentalis. Bila jauh dari agama mereka akan bersikap hedonis. Pertanyaannya kemudian kata Indra, di mana posisi anak-anak muda nasionalis?
Tentu hasil penelitian di atas perlu kajian yang lebih mendalam dan komprehensif. Tapi paling tidak, apa yang disimpulkan dari diskusi kebangsaan PWS ke XXI ini dapat dijadikan penanda untuk melangkah ke depan dalam menyongsong perubahan zaman. Sejauh mana ketahanan nasonal kita dalam menjadikan Pancasila sebagai azas berbangsa dan bernegara. Menjaga keutuhan NKRI dengan UUD 1945 dan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Kiranya perlu dicari cara atau metoda yang tepat bagai-mana menyosialisasikan empat pilar dalam berbangsa dan bernegara untuk generasi milenial ini. Terlambat kita melakukan apalagi kurang mendapat perhatian risikonya sangat besar. Yaitu taruhannya masa depan bangsa dan negara RI.***
Oka Kusumayudha