Dari buku ini, saya mendapatkan pemahaman dan gambaran yang semakin jelas tentang pemikiran-pemikiran cemerlang, gagasan-gagasan hebat dan langkah-langkah besar dari pendiri Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara, serta para tokoh Taman Siswa lainnya dalam membangun dasar-dasar pendidikan nasional dan kebudayaan nasional. Setidaknya, dari buku ini tersirat jelas, suatu bangsa akan menjadi besar dan jaya bila memiliki sistem pendidikan berkualitas dan kebudayaan nasional yang tinggi atau adiluhung.
Berbicara tentang kebudayaan nasional, di dalam buku ini terdapat tulisan Ki Hadjar Dewantara berjudul “Kebudayaan Nasional dan Hubungan dengan Kebudayaan Bangsa-bangsa Lain“. Sungguh, tulisan ini telah memberikan pemahaman dan pengertian yang amat penting tentang arti, hakekat dan makna kebudayaan nasional. Mari, kita simak.
***
‘Buah Budi’ Manusia
Apa itu kebudayaan? Menurut Ki Hadjar Dewantara, dari asal perkataannya maka kebudayaan berarti ‘buah budi’ manusia. Dan karenanya, baik yang bersifat lahir maupun batin, selalu mengandung sifat-sifat keluhuran dan kehalusan atau keindahan, ethis dan aesthetis, yang ada pada hidup manusia umumnya.
Dari timbulnya atau terjadinya, lanjut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan adalah hasil perjuangan manusia. Yakni, perjuangannya terhadap segala kekuatan ‘alam’ yang mengelilinginya, dan segela pengaruh ‘zaman’ atau ‘masyarakatnya’, yang kedua-duanya, alam dan zaman tersebut, menyebabkan terus menerus berganti-gantinya segela ‘bentuk’ dan ‘isi’ kebudayaan di dalam hidupnya tiap-tiap bangsa.
Sedang di dalam artinya yang umum, yang terpakai sehari-harinya, jelas Ki Hadjar, kebudayaan itu berarti sifat wutuhnya bangsa, teristimewa mengenai tingkatan atau derajat kemanusiaannya, baik lahir maupun batin.
Diuraikan, sebagai hasil perjuangan, pertentangan atau saling berpengaruhan antara hidup manusia yang berbudi itu dengan segala pengaruh alam dan zaman yang sering menyukarkan hidup manusia, maka kebudayaan tidak saja selalu mengandung sifat-sifat keluhuran dan kehalusan, namun pula sifat-sifat kemajuan dan menggampangkan atau menyenangkan hidup dan penghidupan manusia.
Ki Hadjar mengingatkan, selalu ada kekuatan-kekuatan, baik di dalam alam dan zaman, maupun di dalam kodrat hidupnya manusia sendiri (antara lain, instinct untuk mempertahankan diri), yang menghambat kemajuan hidup manusia. Dan, dengan begitu, menyebabkan kebekuan atau kemunduran (verstarring-decadensi), bahkan kadang-kadang matinya bagian-bagian dari pada kebudayaan.
Kebekuan itu, lanjutnya, kadang-kadang menyebabkan timbulnya kekacauan atau kegaduhan dalam hidup dan penghidupan rakyat, yang sangat merugikan. Dan, apabila ini diinsyafi oleh rakyat, serta di dalam masyarakat ada cukup tenaga-tenaga yang dinamis dan revolusioner, maka timbullah semangat ‘revolte‘, yang akhirnya semakin bergolak hingga berganti wujud, dari revolte kebudayaan menjadi revolusi sosial.
Perlunya Hubungan
Kemunduran, kebekuan atau kematian kebudayaan itu, menurut Ki Hadjar Dewantara, selalu dapat ditilik dan dikenali, apabila diukur dan dibandingkan dengan sifat-sifat kebudayaan, seperti keluhuran, kehalusan atau keindahan menggampangkan serta menyenangkan hidup dan penghidupan manusia, dan memajukan dalam arti adab peri-kemanusiaan.
Dikemukakannya, untuk kemajuan hidup tumbuh kebudayaan diperlukan adanya hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Ambillah segala bahan kebudayaan dari luar yang dapat ‘memperkembangkan’ (yakni memajukan) atau ‘memperkaya’ (yakni menambah) kebudayaan sendiri.
Dalam kaitan hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain itu, Ki Hadjar mengharapkan perlunya usaha untuk ‘mengolah’ atau ‘memasak’ bahan-bahan baru dari kebudayaan luar tersebut. Coba simak apa yang dikemukakan dalam tulisannya di bawah ini.
Hendaknya tiap-tiap hubungan yang bersifat “assosiasi” (berkumpul namun belum bersatu padu) diusahakan menjadi “assimilasi”, dalam arti ‘mengulah’ atau ‘memasak’ bahan-bahan baru dari luar tadi, hingga menjadi ‘makanan baru’, yang lezat rasanya dan bermanfaat bagi kesehatan hidup. (Jangan meniru secara ‘mengcopy’ atau ‘ngeblak pola’ saja).
Jagalah pula akan selalu adanya ‘kesesuaian’ (harmoni) antara bahan-bahan kebudayaan baru dengan kebudayaan sendiri; pula harus adanya ‘waktu yang tepat’, diukur dengan ukuran ‘alam’ dan ‘zaman’ (natuurlijk dan psychologis) hingga dapat memudahkan ‘evolusi’, yang berarti: tetap terus maju dengan bebas, tidak terkekang,n tidak terdesak, tidak terpaksa, tidak menjadi beku dan zonder kekacauan atau kegaduhan.*** (Sutirman Eka Ardhana)