Rabu , 11 Desember 2024
Ilustrasi (ft. pinterest)

Jurnalisme Menghukum (2): Pers Mendadak Menjadi Garang

PERS di negara-negara yang masuk kategori berkembang, memang mudah terpengaruh dengan iklim atau kondisi politik di negaranya. Termasuk Indonesia. Ketika terjadi perubahan iklim politik di tahun 1998/1999, yang ditandai dengan datangnya era reformasi, wajah dan perilaku pers Indonesia pun berubah.

Di era reformasi, semua sepertinya memang mendadak berubah. Euforia seakan terjadi di semua sektor dan bidang kehidupan. Tidak terkecuali dunia pers pun dilanda euforia itu. Pers seperti sedang pesta kemenangan dan pesta kebebasan. Pers seperti sedang merayakan kebebasannya lepas dari ‘kurungan jeruji’ kekuasaan.

Pers yang semasa Orde Baru terlihat begitu bersahaja, santun dan rendah hati, di era reformasi mendadak menjadi garang. Wajah atau sajian yang sebelumnya terlihat lembut dan lugu, seketika menjadi angker dan keras. Kata-kata atau kalimat-kalimat pujian yang semula terasa begitu mudah dan ‘murah’ dikemukakan, berubah menjadi ‘mahal’. Sedangkan kata-kata atau kalimat-kalimat hujatan, cacian, cacimaki serta firmah berganti menjadi begitu ‘murah’, serta mudah untuk dilontarkan.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintahan Presiden BJ Habibie melalui Menpen Yunus Yosfiah dengan memberikan atau membangun ‘nuansa demokrasi dan iklim kebebasan’ dalam kehidupan pers, telah membuat pers seakan terbebas dari belenggu rasa ketakutan yang mencengkeram selama bertahun-tahun.

Hilangnya rasa takut karena tidak akan ada lagi ‘imbauan’, tidak akan ada lagi ‘telepon’, tidak akan ada lagi peringatan, tidak akan ada lagi tekanan dan tidak akan ada lagi breidel itu, membuat sebagian pers berubah menjadi ‘berani’. Di antaranya berani menelan ‘barang haram’ trial by the press, berani menghujat, berani mencerca, mencemooh, mengkritik secara pedas dan keras (bahkan juga kasar), bahkan berani memfitnah.

Sesungguhnya di tahun-tahun awal era reformasi, bukan hanya tabloid yang terbit di Surabaya itu saja yang pertama kali tertarik dengan trial by the press itu. Tetapi, haruslah diakui bahwa tabloid tersebut memang merupakan satu-satunya dan yang pertama, media pers secara terbuka dan berani menyatakan diri sebagai — tabloid trial by the press (walau beberapa bulan kemudian kalimat atau sebutan “Tabloid Trial By The Press” itu akhirnya ditiadakan atau dihapus.

Simak juga:  Seputar Jurnalisme (2): Jurnalisme Mengedepankan Hati Nurani

 

Publik pun Terperangah

Dalam waktu relatif singkat dan cepat, setelah HM Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, sejumlah media pers telah berani menyentuh dan menggunakan ‘barang haram’ trial by the press itu. Tidak hanya mantan Presiden Soeharto, keluarga, kroni dan mantan-mantan pejabat semasa Orde Baru yang sering jadi ‘bulan-bulanan’ obyek trial by the press, tapi juga pejabat-pejabat atau tokoh-tokoh yang masih berperanan dalam pemerintahan maupun tokoh-tokoh masyarakat dan lainnya, tidak luput dari serangan ‘barang haram’ tersebut.

Publik atau masyarakat pembaca yang semula asyik dengan kelembutan dan kesahajaan sajian pers, tentu sja terperangah ketika menemukan judul-judul besar yang bombas, dan garang, seperti — Soeharto Berdarah-darah, Seret Prabowo ke Peradilan, Memang Ghalib Harus Dipecat, Siapkan Pengadilan Rakyat bagi Habibie, Habibie Pembantai, dan banyak judul mengerikan lainnya.

Seperti halnya mantan Presiden Soeharto, Letjen TNI Prabowo Subianto yang mantan Danjen Kopassus dan mantan Pangkostrad itu juga tidak luput dari serangan trial by the press. Hanya selang beberapa hari setelah dicopot dari jabatannya selaku Pangkostrad pada 22 Mei 1998, Prabowo sudah menjadi incaran sejumlah media pers.

Sebuah judul besar pun muncul di sebuah media pers — Seret Prabowo ke Peradilan. Judul besar yang sudah ‘memvonis’ Prabowo sebagai tersangka bahkan terdakwa itu muncul hanya karena ia dituding berada di balik atau di belakang aksi penculikan terhadap sejumlah aktivis, aksi penembakan mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998, juga dituding berada di belakang aksi kerusuhan 13 -14 Mei 1998 di Jakarta, bahkan dituduh sempat mengepung kediaman Presiden Habibie.

Berkaitan dengan aksi penculikan sejumlah aktivis, tidak hanya TNI dan Prabowo Subianto yang menjadi ‘sasaran tembak’ mantan Presiden Soeharto pun dibidik juga. Misalnya, sebuah majalah berita dalam terbitannya di bulan Juli 1998 menurunkan judul besar — Soeharto Berkenan Menculik. Judul ini memang terkesan sederhana dan tidak bombas, tapi kesan yang dimunculkannya begitu besar. Karena pembaca menangkap kesan, Soeharto ikut berperan dalam aksi penculikan itu. Padahal tuduhan keterlibatan dan peran Soeharto dalam aksi penculikan itu sama sekali belum diungkapkan dan dibuktikan kebenarannya secara hukum.

Simak juga:  Peran Pers dalam Menjaga Kerukunan Beragama

 

Militer Juga ‘Disrempet’

Pada bulan Juli dan Agustus 1998, sejumlah media pers menurunkan kembali tulisan tentang peristiwa atau insiden 27 Juli 1996, yakni peristiwa penyerbuan terhadap kantor DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro, Jakarta. Kebetulan di bulan Juli itu DPP PDI Perjuangan memperingati dua tahun peristiwa penyerbuan berdarah tersebut.

Lantas, sebuah majalah berita pada terbitannya di bulan Juli 1998 menurunkan tulisan dengan judul — Dan Militer pun Merekayasa Kaum Papa. Judul yang menyudutkan atau ‘menyerempet’ militer ini dipilih karena militer dituding berada di belakang peristiwa penyerbuan ke Kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996. Dalam tulisan itu, militer tidak hanya dituding telah merekayasa peristiwa 27 Juli 1996, tapi juga telah membujuk sekelompok warga miskin untuk ikut menyerbu ke kantor DPP PDI.

Sebuah majalah berita yang lain, pada terbitannya di awal Agustus 1998 lebih berani lagi. Tidak tanggung-tanggung, di cover depan majalah itu tertera judul besar dan sangat mencolok — Ini Dalang Kerusuhan 27 Juli — serta wajah dua jenderal, yakni Jenderal Feisal Tanjung dan Letjen TNI Syarwan Hamid.

Seawam apa pun pembaca, melihat halaman depan majalah berita tersebut dengan mudah memahami bahwa yang dimaksud sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 adalah kedua jenderal itu. Meskipun di dalam laporan utamanya, majalah itu tidak secara langsung menuduh kedua jenderal tersebut terlibat, kecuali menyebutkan ada ‘kesatuan lain’ yang disusupkan di dalam barisan para penyerang markas PDI. *** (Sutirman Eka Ardhana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *