Sekaligus merayakan Hari Ibu.21 Desember 2018, para perempuan penggurit dari berbagai kota, tampil mengisi Sastra Bulan Purnama edisi 87, yang diselenggarakan Jumat, 21 Desember 2018 di Pendhapa Tembi Rumah Budaya, jl,. Parangtritis Km 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Para perempuan tersebut, atau sebut saja para ibu dari berbagai usia yang datang dari berbagai kota di Jawa Tengah, tampil membacakan geguritan karyanya, yang terkumpul dalam antologi puisi berjudul ‘Wanodya’, ditulis oleh 14 perempuan, dan buku geguritan berjudul ‘Pokokmen Semaragan’ ditulis Sulis Bambang.
Mereka pada mengenakan kebaya, laiknya seorang ibu, yang sedang merayakan Hari Ibu , dan tidak dengan pesta, melainkan membacakan geguritan karya mereka sendiri, sekaligus untuk menunjukkan, bahwa perempuan, yang telah menyandang sebagai ibu rumah tangga, masih terus berkarya. Apalagi, buku puisi ‘Wanodya’ merupakan buku geguritan seri kedua, karena seni pertama sudah terbit tahun sebelumnya.
Dam ‘Pokokmen Semarangan’ buku geguritan karya Sulis Bambang, dan merupakan salah satu buku dari sejumlah buku yang sudah diterbitkan. Pendek kata, para ibu, yang datang dari beerbagai kota tersebut hadir di Tembi sambil membawa karya masing-masing dan membacakakan geguritan karyanya di depan publik.
Mereka tidak hanya membaca, tetapi juga sambil menari, setidaknya sepeti dilakukan Puspo Endah, membaca geguritan sambil menari, meskipun tanpa iringan musik, tapi rupanya kata-kata dalam geguritan merupakan bentuk dari musik itu sendiri.
Secara bergantian, 11 penggurit perempuan yang hadir dari 14 penggurit yang ikut dalam antologi geguritan ‘Wanodya’ membacakan geguritan karyanya. Ada yang mebacakan geguritan dengan dialek Banyumasan, yakni Wiendu Setyaningsih. Jadi, geguritan tidak hanya dibacakan dengan bahasa Jawa halus atau ngoko, tetapi ada yang menulis dengan dialek Banyumasan dan Semarangan.
Sulis Bambang misalnya, melalui buku geguritan ‘Pokokmen Semarangan’ menyajikan geguritan dengan dialek semarangan, yang sifatnya khas dan spontan, sehingga terasa akrab didengarkan. Bahkan bagi orang semarang, geguritan Sulis Bambang terasa sehari-hari, dan karena terbiasa dengan dialek semarangan, geguritan menjadi enak didengarkan ketika dibacakan.
“Dalam dialek semarangan, kata yang mungkin tidak terbiasa diucapkan, seperti kata asu misalnya, tapi karena intonasinya tidak mengumpat, dalam dialek semarangan, orang semarang akan segera tahu, bahwa kata itu merupakan ungkapan keakraban, atau bentuk lain dari ungkapan rasa kagun” ujar Sulis Bambang.
Selain geguitan dibacakan oleh para ibu-ibu yang menulis geguritan dalam buku ‘Wanodya’ atau ‘Pokokmen Semarangan” Arieyoko, seorang penyair dan mempunyai perhatian terhadap sastra etnik, tinggal di Bojonegoro, ikut tampil membacakan geguritan karya Sulis Bambang.
Untuk mengenang Hari Ibu, sekaligus untuk mengenang ibunya, Resmiyati membacakan geguritan berjudul ‘Gurit Kagem Simbok’, saat membacakan geguritan itu, terlihat matanya berkaca-kaca. Resmiyati tak mampu menahan air matanya menetes. (*)