Untuk mengenang Rendra dan persahabatannya dengan Subur Rahardja, Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan secara rutin setiap bulan Oleh Tembi Rumah Budaya memberi ruang agar puisi-puisi yang ditulis khusus untuk PGB Bangau Putih bisa dibacakan, dan tentu bukan hanya dibacakan, tetapi bagaimana digerakkan. Maka, satu tajuk dibuat: Tribute To Rendra: Kata Dilisankan, Kata Digerakkan’. Anggota Bengkel Teater yang masih tinggal di Yogya, tampil membacakan puisi Rendra tersebut dan murid PGB, Bogor, Jakarta dan Yogya menampilkan puisi tersebut dalam satu gerak.
Amphytheater Tembi Rumah Budaya diambil sebagai tempat pertunjukan membaca puisi dan murid PGB menggerakan kata.
Langit memang tidak cerah, suasana Amhpytheater Tembi Rumah Budaya tempat berlangsungnya Sastra Bulan Purnama edisi 85, diwarnai cahaya, seolah menggantikan bulan purnama yang tenggelam. Di antara kerumunan orang yang memadati ruang pertunjukan, puisi karya Rendra mengalir dibacakan, Jumat, 26 Oktober 2018.
Sastra Bulan Purnama memang rutin diselenggarakan tiap bulan, dan kali ini menampilkan puisi-puisi Rendra, yang tidak hanya dibacakan, tetapi juga dilagukan oleh Tatyana dan Umir Muslim, juga Untung Basuki. Para pembaca puisi adalah orang-orang teater yang sudah terbiasa pentas di atas panggung, karena itu hampir tak ada yang canggung di depan penonton, bahkan bisa dikatakan semua tampil dengan kalem, tetapi penuuh kesungguhan.
Agus Istianto, seorang pemain teater dari Teater Dianasti mengenakan baju warna putih, dan di dalamnya t’shirt warna coklat. Baju sengaja tidak dikancingkan, sehingga warna kaos dan baju memberi kontras. Agus pertama kali membacakan puisi karya Rendra yang berjudul ‘Kupanggili Namamu’. Agus tidak menirukan Rendra membaca puisi, tetapi dia menafsirkannya puisi karya Rendra, sehingga kita tidak membayangkan melihat Rendra, melainkan sepenuhnya karakter Agus Istianto yang muncul. Berbagai ekspresi dari Agus, dari mimik muka dan gerak tubuhnya, menandakan Agus menghayati puisi yang dibacakan.
Tampil kedua, Eko Winardi, seorang pemain teater, membacakan puisi Rendra yang berjudul ‘Bersatulah Pelacur-Pelacur Jakarta’. Puisi ini agak panjang, dan Eko menghafalnya. Kalaupun dia membawa teks puisi, tidak lebih untuk performance, karena yang dia lakukan adalah bentuk dari deklamasi, bahkan seperti setengah monolog.
Mengenakan baju warna coklat, Eko lantang meneriakan puisi Rendra dan dia hampir menguasai panggung, sehingga semua sisi panggung dia isi. Memnaca sambil bergerak, seolah dia tidak ingin penoton jenuh melihat penampilannya.
Setelah Agus dan Eko, yang membacakan puisi Rendra, yang ditulis sebelum Rendra berlatih PGB Bangau Putih. Dilanjutkan puisi Rendra yang ditulis khusus untuk Bangau Putih, dari 8 puisi, dibacakan 7 puisi. Nita Azhar, anggota Bengkel Teater Rendra tampil di awal membacakan puisi berjudul ‘Mengolah Teratai’.
Mengenakan kemeja putih, Nita duduk di lantai, sambil menari dengan tatapan mata kedepan, seperti sedang melakukan meditasi, ia membacakan puisi, yang hanya beberapa baris, sangat pendek. Puisi yang dibacakan memang terasa padat, laiknya seperti meditasi. Maka, Nita mengambil posisi duduk atau jengkel dalam membaca puisi.
Sesudah Nita, aktor senior dari Bengkel Teater dan salah satu pendiri Teater Dinasti, Tertib Suratmo, dari tempat duduk sudah mulai membaca pusi sambil berjalan ke tengah panggung. Ia, membacakan puisi Rendra berjudul ‘Mengolah Nafas, Menghayati Doa’ dan dalam membaca, Tertib seperti sedang mengolah nafas sekaligus menghayati doa.
Disusul Untung Basuki, seorang anggota Bengkel Teater, yang dikenal konsisten dengan lagu puisi. Karena sejak tahun 1970-an sampai hari ini dia masih terus mengalunkan lagu puisi. Untung membacakan puisi yang berjudul ‘Mengolah Gerak Nurani’. Mengenakan jaket rompi warna hitam dan kaos lengan panjang warna putih, Untung berjalan di atas panggung, sambil mengitari panggung, matanya terpejam, dan pelan-pelan membacakan larik-larik puisi Rendra. Untung sudah hafal di luar kepala puisi Rendra yang dibacakan tersebut, sehingga dia tidak perlu diganggu dengan melihat teks puisi.
Setelah Untung Basuki, Fajar Suharno, anggota senior Bengkel Teater dan memimpin teater Dinasti, tampil membacakan puisi Rendra berjudul ‘Kosong Itu Penuh Daya’. Harno, demikian dia sering dipanggil, sungguh menghayati puisi itu, sehingga dia tidak terlalu atraktif sebagaimana kosong: tak ada atraksi didalamnya.
Akhir dari puisi Rendra, yang ditulis khusus untuk PGB Bangau Putih dibacakan oleh Sitoresmi Prabuningrat, dia bukan hanya sebagai anggota Bengkel Teater, tetapi sekaligus sebagai istri kedua Rendra. Sito, demikian dia sering dipanggil membacakan puisi berjudul ‘Laku Adalah Kenyataan’.
Para pembaca puisi Rendra di atas, seolah seperti menghadirkan Rendra di Amphytheater Tembi Rumah Budaya, dan hadirin yang memenuhi ruang pertunjukan sepeti tak mau pergi sampai pertunjukan usai.
Sebelum diakhiri, Tyatyana dan Umar Muslim mengalunkan 7 puisi Rendra yang terkumpul dalam buku Empat Kumpulan Sajak, yang diterbitkan tahun 1960-an. Mengakhiri pertunjukan murid PGB Bangau Putih tampil dengan gerakaan di antaranya jalan panjang, ambilan dan lainnya..
Puisi Rendra, antara dilisankan dan digerakkan, keduanya memiliki makna yang berbeda. Namun keduanya, sesungguhnya tak bisa dipisahkan, karena pada dasarnya, puisi yang digerakkan lebih memberi warna dari yang dilisankan. Pada puisi yang digerakkan, orang tidak mendengar, tetapi melihat. Seolah kata dan kalimat menjadi satu jurus misalnya, dan judul gerakan mengambil nuansa putis, sehingga namanya menjadi terasa puistis.
Jadi, Tribute To Rendra” Kata Dilisankan, Kata Digerakkan, adalah upaya untuk menghidupkan puisi Rendra yang ditulis khusus untuk PGB Bangau Putih. (*)