Ki Juru Bangunjiwa
ANGURBAYA naliti sabdane paniti sastra kang aweh sesuluh, tinimbang nglambrang dedawa wirang kang hamung antuk susuhing susah, sekaring rubeda’.. Lebih baik membedah nasehat luhur pujangga yang memberi pemahaman hidup, daripada bermain tanpa tujuan, yang kadang memalukan dan berbuah sengsara serta bencana.
Aporisma Jawa diatas lantas disambung kalimat lain berbunyi ;.Boya prayoga urip kang kalantur tanpa tutur, pramila enggal muliha nguwot wara kawireh, sarta reh prentahe turuten supaya uripmu bisa sareh ati semeleh. Tidaklah baik hidup ngawur tanpa aturan atau tanpa mempedulikan nasehat leluhur. Segeralah memilih jalan kembali dengan membaca dan melaksanakan kembali pitutur luhur warisan leluhur dengan segala anjurannya agar hidup menjadi tenang dan hati lapang.
Nenek moyang kita senantiasa menunjukkan ajaran bahwa manusia hidup perlu belajar dari pengalaman pendahulunya. Sultan Agung menegaskan, keturunannya tak diaku sebagai darah Mataram kalau tidak kenal petuah luhur dan menjalankannya. Dalam Sastra Gendhing ditulisnya:” Hawya kongsi ngaku dharah yen tan wignya ing tembung Kawi…….
Pengalaman nenek moyang biasa disembunyikan dalam sebuah wahana kata-tembung, nyanyian- tembang yang kadang pelik dibedah. Masyarakat sekarang tidak kenal lagi budayanya secara baik, atau dengan sengaja melalaikan budaya dan bahasanya sendiri demi mengejar budaya asing yang menurutnya lebih baik. Maklum budaya Jawa lebih mengedepankan budaya semu, kias yang tersaji dalam ; Gedruk Bujang, Esem Mantri, Semu Bupati, Sasmita Nata. Artinya komunikasi antar orang bertingkat setaraf kedudukannya. Yang rendah dengan bentakan dan gestur tubuh, sampai ke personal yang punya jabatan tinggi dengan semu atau lambang dan sasmita.
Orang Jawa bersemboyan : Nora misuwur karana peparinge leluhur, ananging tumindak luhur karana piwulange leluhur. Tak ingin terkenal karena warisan harta benda nenek moyang tetapi bertindak luhur berdasar petuah para luhur.
Itulah mengapa kita perlu sadar bahwa di dalam kehidupan Jawa, pitutur luhur disembunyikan dalam nyanyian-tembang-kata-tembung yang berisi lambang dan simbol. Mengapa disembunyikan supaya tidak dicemooh dan disepelekan. Orang yang ingin belajar harus dengan semangat dan niat kuat.
Untuk meneliti wewarah – nasehat luhur yang tersaji dalam berbagai tradisi yang mengemuka lewat makanan, seperti sesaji kalau di Jawa , ‘Bebanten’ di Bali itu saja sulit. Kalau semua itu tidak diberi makna dan arti serta dijelaskan secara gamblang, maka bukan sesuatu yang mustahil kalau kemudian arti ini kemudian sirna. Inilah yang dikhawatirkan dengan pewarisan budaya yang terkendala dengan sikap yang tidak peduli dan acuh tak acuh. Padahal sebuah keselarasan hubungan antara manusia-Allah-alam senantiasa terwujud dalam sebuah harmoni kehidupan yang indah, dan menggairahkan.
Hubungan dengan Tuhan tidak bisa dilakukan tanpa adanya wujud nyata hubungan dengan sesamanya. Cinta kepada Tuhan harus pula tercermin dari kecintaannya kepada manusia sesamanya. Dan cinta kepada sesamanya harus mencerminkan wujud cinta kepada ciptaan Tuhan di alam raya. Dan itulah kemudian nenek moyang mengemasnya dalam sebuah tradisi budaya yang hidup. Masyarakat senang bergairah dengan mengedepankan niatannya yang luhur ‘hamemayu hayuning bawana’.
Adanya sesaji bunga dan makanan atau buah-buahan menunjukkan, manusia harus menyediakan dan menanam bunga-bungaan dan buah-buahan. Tanaman harus dijaga hingga mampu berbuah. Hal ini menyiratkan manusia hidup harus menanam kebaikan dan berbuah kebajikan dengan laku amal kebaikan. Dengan sesaji sarat simbol, para leluhur mempedulikan aspek hidup religius, sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan hidup. Bukan hal aneh acara-acara tradisi warisan leluhur merupakan kristalisasi berbagai macam ilmu yang digelar di jagad raya ini. Ironisnya , manusia sekarang malas untuk berpikir mendalam.
Drs Sugeng Wiyono, penggiat budaya Jawa, tinggal di Bangunjiwa Kasihan Bantul