Ki Atmadipurwa
Politik Ceker
REMBULAN jingga di atas Jokteng. Pelataran di atas beteng, tersiram cahya suam-suam, sejuk temaram, tanpa rasa panas sedikitpun. Langit hitam, sinar bintang-bintang berkurang dari kecemerlangan yang biasanya. Bintang hanya cermelang penuh ketika panglong tiba. Rembulan belum mengudara, saat bidadari malam suntuk dalam persembunyian. Malam ini Lek Man Square, Jokteng Grass Root Cuisine, round table angkring, fresh from the wajan menu, mendapat rahmat siraman rembulan penuh. Padang jingglang padhange kaya rina.
Malam ini, Lek Man tetap one man play, captain on playing, mengurus sendirian pusat jajanan rakyat. Butuh keberanian sekaligus keterampilan. Butuh kemahiran berbasis kewirausahaan wong cilik. Sebegitu banyak gorengan, bungkusan, dan ragam penganan rakyat, sediaan bergekas-gelas minuman hangat dan panas, tawar atau pedas jahe yang menyengat, pahit kopi tubruk berampas yang menekuk lidah di mulut, semua tersedia dan diracikramu dari satu tangan Lek Man, prime minister of Jokteng Square. Pun pula tidak dihantui rasa khawatir penggabrulan pelanggannya. Kalkulasi seluruh penghitungan jumlah termakan, hanya berdasar laporan pengakuan pemakannya. Terbuka peluang lebar untuk menggabrul, tapi Lek Man menutup prasangka itu. Warung rakyat menempatkan rasa percaya untuk lahirnya kejujuran. Lek Man juga menghitung tanpa alat hitung, semua mengandalkan kepala. Termasuk, menghitung kembalian. Cepat dan tidak pernah takut salah. “Sapa gawe nganggo, sapa nandur ngundhuh. Bathi-rejeki, sudah ada yang mengatur,” pendoman Lek Man dalam berjualan, falsafahnya wong cilik.
Lantai bawah, trotoar panjang Jokteng penuh tamu langgangan Angkringan Lek Man. Angkringan yang sama sekali tidak ada angkringnya. Pada duduk di dingklik panjang, juga gelaran tikar-tikar. Demikian pun, Lantai atas, pelataran beteng, siap menampung luberan pengunjung di lantai bawah. Beberapa gerombol tamu Lek Man duduk pula di atas tikar. Tempat Denmas Tet dan Denmas Kasut duduk reriungan, diserbu sesama pelaku seni. Dengan begitu, maka dengan sendirinya serta otomatis, semua beal dibayar Denmas Kasut. Angkring Lek Man tempat spesial bagi Denmas Kasut buat menyebar sawur, pyur-pyur duit receh untuk sesama seniman yang bersaksi atas masa lalunya.
“Masa lalu, selalu menghantui orang sok… ses,” celetuk Kang Kuncung yang duduk persis di depan Denmas Kasut. Seperti biasa, disusul seruputan atas kopi tubruk kepyur garem kesukaannya. “Nikghmuat ….”
Denmas Tet tertawa ngakak. “Situ itu mo ngungkit masa lalu Kasut, njuk ben ingat bolehnya situ nolong Kasut le ketahuan …”
“Dah, ndak usah diteruskan!!” potong Denmas Kasut cepat. “Tet, jangan diungkit-ungkit ta aku punya masa lalu.”
“Naaa….. tulkan sa punya omongan?” sahut Kang Kuncung cepat. “Masa lalu menghantui orang sokses….”
“Ya, kamu ini hantunya Denmas Kasut,” tuduh Solis kepada Kang Kuncung.
“Tul Lis. Kuncung ini memedinya Kasut. Diperes wae Cung…”
“Hek-e iya, Cung. Suruh bayar situ berapa gitu. Kalau ndak mau, diubal-ubal aje tuh masa lalunye….,” sambung Solis menggoda.
“Prex!!!” timpal Denmas Kasut cepat.
“Wah Solis ki cah kemarin sore dah berani nranyak sama Denmas Kasut. Sa ini ndak setega itu, Lis. Cukup dibayari ndik tiap makan di sini. Pulangnya ditlesepi tukon rokok, cukup lah …”
“Prex!!!” kata Denmas Kasut lagi.
Solis dan Denmas Tet tertawa juga. Mereka meneruskan makan minum berbasis rasa cocok. Makan basis rasa enak, perilaku harian Denmas Kasut dan Denmas Tet di luaran sana. Dimanapun di dunia ini, makan di angkringan harus merelakan lidah menuju basis rasa cocok. Mencari rasa enak di angkringan, bisa jadi pikiran dan perbuatan sia-sia.
Kang Kuncung dan Solis, dua seniman sudah lama mendengar kabar, Denmas Tet dan Denmas Kasut sedang tidak akur. Meski penyebabnya mereka sama sekali tidak tahu persis, tapi wawuhnya kedua tokoh itu menularkan rasa bahagia kepada keduanya. Kang Kuncung dan Solis pasti segera mewartakan. Denmas Tet dan Denmas Kasut sudah wawuh, aman teteram, rukun damai dan sentosa kerta raharja.
“Cung. Masa lalu menghantui orang sukses itu kamu petik dari kata-kata siapa?” tanya Denmas Tet serius sembari lahap krikit-krikit ceker bacem sediaan Lek Man, grass root traditional cuisine.
“nJiplak dari mana, Cung?” susul Denmas Kasut
“Wooo, itu hasil renungan.”
“Renungannya wong mlarat,” sergah Solis cepat dan penuh nada mengece.
“Kok?” tanya Denmas Tet.
“Renungan kere mencari mangsa,” sambung Solis lagi.
“Kok?”
“Cari fulus dari keburukan masa lalu wong wong sukses.”
“Waaaa… Solis ini bolehnya melecehkan sa punya reputasi. Mana buktinya sa memanfaatken masa lalunya Denmas Kasut? Mana? Semua yang diberikan pada sa, itu ikhlas sebagai tanda persahabatan. Bukan uang penyumpal sa punya mulut, Lis. Bukankah begitu Tuan Raden Mas Kasut?”
“Prex!!” lagi-lagi Denmas Kasut merespon santai.
Denmas Tet menimpali, seperti biasa tetap disambil mengunyah kulit kaki ayam, terkelupas secuil demi secuil dari tulangnya. “Gini lho. Raden Mas Harya Pradipta yang kita kenal sebagai mister Kasut ini, sekarang punya kedudukan penting, tinggi, terhormat, dan strategis. Maka, Kang Kuncung betul, dia segera harus melakukan tindakan menutup hal-hal buruk di masa lalu. Beliaunya ini, minta bantuan sama saya, Raden Mas Harya Kulkirami alias mister Markutet. Supaya dibuatkan desain komunikasi melawan berita bohong. Berita bohong masa lalunya.”
“Ah. Berlebihan kau ini Tet, Markutet,” sahut Denmas Kasut cepat. “Tidak setragis itu, ah. Tak ada apa-apa soal masa laluku. Aku ini orang baik sepanjang masa, di masa lalu, sekarang dan nanti.”
“Ooooo… bagitu ye? Jadi, kalian ini bersekutu atas dasar adanya transaksi bisnis ya. Persahabatanmu cepete, transaksional, ndak tolos,” kata Kang Kuncung dalam nada bahasa Jawa panggung.
“Tidak ada makan malem gratis,” sela Solis.
Mereka berempat tertawa. Tawa mereka menyihir tamu-tamu yang lain menoleh dan menyebabkan menjadi tahu, Denmas Tet dan Denmas kasut duduk sepelataran beteng bersama mereka. Tak terbendung mereka bergabung merapat. Kedua bintang di luaran sana, sekaligus bintang pula dan Jokteng Square, Angkringan Lek Man. Sejak SMA mereka dikenal luas sebagai aktor dari drama seri legendaris, “Lorong Kota.” Mini seri itu disiarkan televisi. Kulkirami memerankan Markutet dan Harya Pradipta membawakan Kasut. Nama peran itu di kemudian hari membawa berkah, mereka dikenal sebagai Denmas Tet dan Denmas Kasut. Kenapa Denmas? Ya, karena keduanya memang darah biru. Denmas Tet terjun ke bisnis, Denmas Kasut ke dunia politik. Kali ini, keduanya bergandeng untuk bisnis politik penuh dengan politik bisnis. Menurut pemahaman Kang Kuncung, politik bisnis dalam bisnis politik, tak lebih sekadar bongkar-bongkar masa lalu orang sukses lalu mengobal-obalnya ke dalam pusaran berita.
Gigi Denmas Tet tetep sibuk berjuang melawan ceker bacem. Kang Kuncung dan Solis membantu perjuangan Denmas Tet. Mengerubut ceker bacem, buah masakan dari single madame chef Nyai Ngatman, first lady Angkringan Lek Man. Cerker bacem sediaan dari Lek Man, tinggal menyisakan gundukan tulang. Lek Man datang mendekat ke arah Denmas Tet, lagi-lagi membawa sepiring penuh ceker bacem, disodorkan kepada Denmas Tet. “Nih, kalau masih kurang.”
Langsung Denmas Tet komentar, “… wow nglulu nek ini.”
“Nglulu, itu politik dagangnya Lek Man,” sambung Denmas Kasut diikuti tawa renyah.
Kang Kuncung cengar cungir melihat gundukan ceker bacem yang menantang. Denmas Tet langsung memberi aba-aba, “Ayo Lis, Cung. Serbu. Serang. Terjang!!!”
Langit masih berhias rembulan malam. Lembut temaram.
Menurut kalkulasi politik Denmas Tet, sebelum carut marut dieker-eker ceker, lebih baik ceker-ceker ini diberantas tuntas cecara lahap dalam tempo singkat. Perlawanan wong cilik, paling banter cuma krikit-krikit bak gigi-gigi menghabisi ceker bacem. Sedikit demi sedikit lama-lama tetep sedikit.***
Yk. 23/9/17