Robbun Tidak Ghofur
Sudah siap “Sekam Terpendam di Tlatah Yogya”, tapi kusimpan dulu. Kita menyelam ke pembelajaran nilai yang ‘universal’ saja dulu.
Sebelum menyelam aku sempat menoleh menatap Indonesia. Ternyata tetap saja berkecamuk adrenalin cintaku kepadanya: Wahai Indonesia, sebenarnya kita ini mau apa sih? “Aku Indonesia” itu maunya apa? Mau pergi ke mana? Gawang tendangan bola kita yang mana? Cita-cita kita apa? Mau Kaya? Atau mau hebat? Kuat? Pintar? Baik? Kuasa?
Kalau mau kaya, wahai para ahli kekayaan terangkanlah dibanding ketika merdeka, sekarang ini apakah kita makin kaya, atau malah semakin miskin? Atau jelaskanlah kaya itu bagaimana? Kaya itu merdeka dari utang, ataukah semakin banyak utang berarti makin kaya? Menurut kriteria dunia, yang kaya itu Negaranya, pejabatnya ataukah rakyatnya? Kalau tukang bakso menabung sekeping demi sekeping uang selama puluhan tahun untuk biaya naik haji, lantas Negara meminjamnya entah untuk apa – siapa di antara mereka berdua yang kaya?
Kami rakyat kecil takut salah kepada Negara kalau kami bilang kami miskin, tetapi memang sekarang semakin susah cari penghidupan. Kami tidak punya pengetahuan untuk mengatakan Indonesia ini kaya atau miskin. Tanah air kita kabarnya kaya, bahkan katanya terkaya di muka bumi. Tetapi kami tak punya ilmu untuk menyimpulkan apakah dengan adanya Negara dan Pemerintahan berkali-kali ini kita menjadi makin kaya atau lebih miskin.
Aku pribadi buta huruf tentang kekayaan dan kemiskinan, kalau yang dimaksud adalah materialisme, kapitalisme, peta keuangan, konstelasi modal, devisa, fiskal, daya beli, kedaulatan pangan dan apapun makhluk-makhluk gaib lainnya. Kalau kaya adalah melimpahnya materi, benda dan uang, kenapa tiap hari semua rakyat dan Pemerintah mengeluh tentang itu semua?
Kalau kaya adalah menyembah berhala-berhala keduniaan, kenapa para berhala itu belum juga menerima ibadah dan sembah sujud kita kepadanya? Manusia yang paling konyol adalah yang getolmenyembah berhala, tetapi berhalanya tidak mau disembah. Sampai utang-utang berhala. Sampai mengkhayal-khayalkan berhala. Sudah jelas busuk diberhalakan sebagai harum. Sudah jelas merosot, diberhalakan sebagai kenaikan. Sudah jelas terpuruk, diberhalakan sebagai kebangkitan. Sudah jelas berebut, sikut menyikut, singkir menyingkirkan, baku bunuh karakter dan akses, tetap diberhalakan sebagai persatuan dan kesatuan.
Aku tidak punya daya dan kuasa atas Indonesia. Oleh karena itu aku juga tidak bertugas apa-apa di dan kepada Indonesia. Sehari-hari aku hanya melakukan muhasabah pribadi, berhitung atau meng-hisabhidup aku sekeluarga kecil maupun keluarga besar aku, karena nanti di-hisab oleh Pencipta dan Pemilik kami semua.
Kalau aku bertanya kepada diriku: Apakah hidupmu mau kaya, hebat, kuat, pintar, baik, atau kuasa? Aku menjawab: tidak semua. Jadi mau apa? Aku ‘hanya’ berjuang agar tidak dimurkai oleh Allah. In lam takun ‘alayya Ghodlobun fala ubali: asalkan Engkau tidak marah kepadaku, maka kuterima nasib apapun di dunia. Aku tidak ‘pathèken’ oleh keadaan apapun yang Engkau tentukan di bumi.
Mungkin bagi Indonesia: kegelapan utama adalah kemiskinan dan kebodohan. Nabi Ayyub yang sangat miskin, atau Nabi Muhammad yang “ummiyy”, tidak punya alat serap terhadap kepustakaan tekstual, yang satu pakaiannya dipakai, satu lainnya, di almari, dan satu lainnya dicuci, yang sering mengganjal perutnya dengan batu di balik sabuknya karena lapar – menurut kriteria Indonesia: adalah dua Nabi yang hidup dalam kegelapan.
Kalau ada kasus korupsi, kegelapan bagi Indonesia adalah “harta Negara dicuri”. Sedangkan bagiku kegelapannya terletak pada “manusia kok mencuri”. Manusia kok tidak adil dan tidak beradab terhadap sesamanya, sehingga merebut paksa hak orang lain. Kegelapan bagiku adalah hancurnya kepribadian manusia, termasuk ambruknya martabat bangsa dan Negara.
Kegelapan bagi Indonesia mungkin adalah tidak punya kereta cepat, infrastruktur fisik terbengkalai, meyakini kecemasan bahwa ia tertinggal 200 tahun dari Negara-negara lain. Tapi tidak bagiku. Aku tidak pernah tertinggal sehari pun dari siapapun dan apapun, sebab jalan yang kutempuh berbeda, dan arah hidupku tidak sama. Aku bukan warga Negara Dunia Ketiga. Aku tidak ketinggalan 200 tahun dari Bangsa lain. Aku tidak mengejar siapapun di jalanan yang berbeda.
Atau misalnya kita mengacu ke tiga rumusan cita-cita kemasyarakatan tradisional Jawa: “deso mowo coro, negoro mowo toto”. Kemudian “gemah ripah loh jinawi”. Serta “toto tentrem kerto raharjo”. Yang pertama, ketertataan Negara dimulai secara bottom up dari cara hidup masyarakat di desa-desa. Infrastruktur peradaban Negara adalah keberadaban desa-desa. Yang berlangsung sekarang adalah desa-desa merupakan bagian dan diatur oleh Negara. Terjadilah top down ketidaktertataan, sejumlah perusakan, pelecehan dan perendahan kota atas desa.
Yang disebut kemajuan adalah kalau desa menjadi kota. Diperlukan Kementerian Desa Tertinggal. Produknya sementara ini adalah ketidaktertataan Negara semakin hari semakin menghancurkan “deso mowo coro”. Masyarakat desa dipandang sebagai strata terendah dalam pandangan kota dan Negara. Penduduk desa adalah semacam “Sudra”. Yang di bawah garis kemiskinan adalah “Waysha”. Kelas menengah intelektual adalah “Ksatria”. Elit penguasa adalah “Brahmana”.
Sementara bagiku, siapa saja, boleh tukang becak atau Menteri, tukang sabit rumput atau Presiden, kuli atau Ulama – kalau hidupnya menomorsatukan materialisme keduniaan: merekalah Sudra atau Waysha. Dan siapa saja, boleh penjual pecel atau pengusaha, buruh pabrik atau Profesor, makelar motor bekas atau Habaib – kalau mereka meletakkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sila Pertama atau rujukan utama perilaku hidupnya: merekalah Brahmana.
Kemudian “gemah ripah loh jinawi” adalah terawatnya tanah air serta apapun yang tumbuh dan hidup padanya atau di atasnya. Lingkungan hidup yang sehat dan subur, yang berbuah kesejahteraan bagi manusia. Lantas “toto tentrem kerto raharjo” adalah iklim politik dan perhubungan sosial budaya yang kondusif untuk membangun ketenangan hidup masyarakatnya.
Tiga filosofi tradisi itu sangat bagus, tetapi belum berdialektika vertikal. Ada rumusan “baldatun thayyibatun wa Robbun Ghofur”. Baldah itu bisa Negara, Kerajaan, Kesultanan, Padepokan, Persemakmuran, Perdikan, atau komunitas saja. Thayyibah adalah baik. Di dalamnya boleh ada kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan materi. Tetapi titik beratnya adalah kebaikan bersama secara sosial.
Keadilan sosial adalah: Boleh kaya boleh agak miskin. Boleh high-tech atau low-tech. Boleh berkibar-kibar gedung-gedung mencakar langit. Boleh super-digital boleh manual. Asalkan seluruhnya itu adil bagi seluruh rakyat.
Sementara itu Allah menunjukkan presisi tujuan hidup manusia dengan konsep “Robbun Ghofur”. Sehebat apapun pencapaian manusia di dunia, babak finalnya adalah diampuni atau tidak oleh-Nya. Tak punya pencakar langit tak apa, asalkan bersih dari kemarahan Allah. Miskin tak apa, asal Ia mengampuni di kehidupan sejati nanti. Maka aku hidup jangan sampai fakir, juga jangan sampai memanggul kekayaan melebihi wajarnya kebutuhan.
Yang terbaik adalah lapar. Yang kurang baik adalah kenyang. Yang tidak baik adalah kekenyangan. Dan yang paling tidak baik adalah kelaparan.
Kujalani prinsip kesehatan hidup yang semacam itu. Pasti di tengah perjalanan ada kurang-kurang, bocor-bocor, penyok-penyok atau prithil-prithil. Tuhan memang menciptakan manusia dengan kelemahan: ‘al-insanu mahallul khotho` wan-nisyan’, manusia itu tempat salah dan lupa. Maka Ia Maha Pengayom siap siaga mengampuni. Bahkan Allah menyiapkan minimal enam konteks ampunan: Al-Ghofur, Al-Ghaffar, Al-’Afuww, Ar-Ro’uf. Ditambah kontekstualisasi sifat Tuhan yang bisa berakibat pengampunan: Al-Karim, yang Maha Pemurah, atau Al-Wadud, Maha Mencintai.
Andaikan Allah bermurah hati bertanya kepadaku: “Kamu ini mau apa sih?”. Aku jawab dengan menirukan kalimat seorang Muthawwif yang Rasulullah saw juga berthawaf di belakangnya: “Aku ingin menghitung kedermawanan-Mu, sehingga aku tahu seberapa kemurahan-Mu kepadaku. Aku ingin meng-hisab ampunan-Mu, sehingga aku tahu seberapa selamat aku di hadapan-Mu”.
Dan Allah menjawab: ”Tak usahlah kau hitung-hitung kedermawanan dan ampunan-Ku, supaya Aku juga tak menghitung-hitung dosa dan kekhilafanmu”.
Surabaya, 8 September 2017