Untuk memperoleh derajat dan predikat bangsa maju membangun harkat dan martabat bangsa, pertama, kita harus belajar dari sifat-sifat baik bangsa Jepang dan Korea. Bangsa-bangsa tersebut terkenal tertib, disiplin, kerja keras, hidup hemat, tak mudah putus asa dan mengeluh, taat pada peraturan dan tegas dalam penegakan hukum, tidak suka menyalahkan orang lain, dan jeli mengambil peluang pasar. Bangsa Jepang dan Korea terkenal memiliki etos kerja tinggi.
Menurut Ali Akbar (2011), dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI, dalam buku 9 Ciri Negatif Manusia Indonesia, dikatakan manusia itu di mana pun memiliki ciri negatif dan positif, hanya manusia Indonesia memiliki 90 persen ciri negatif dan yang positif hanya 10 persen. Dengan demikian, kita harus dapat menghilangkan sifat-sifat negatif tersebut agar kita dipandang.
Untuk mengikis ciri buruk tersebut harus melibatkan ahlinya. Mungkin juga perlu belajar dari Mahathir Mohamad yang pada tahun 1981 mencanangkan ”The look east policy” dengan merobah orientasi kebijakan Malaysia yang lebih melihat ke Timur (Jepang, Taiwan, Korea) yang lebih menekankan belajar ”work ethic” dan ”dicipline of work place” dengan mengirim ribuan pelajar ke negara-negara tersebut. Hasilnya dapat kita lihat sekarang Malaysia selangkah lebih maju dibanding Indonesia.
Kedua, menghargai barang buatan sendiri dan kesinambungan dalam pembangunan. Di Jepang sangat sedikit mobil luar Jepang yang lalu-lalang di jalan, mereka lebih menyenangi bikinan sendiri. Orang Korea lebih fanatik lagi, walaupun banyak yang dapat membeli mobil luar, tetapi mereka merasa malu kalau memakai mobil impor. Untuk itu disini ahli teknologi yang berperan agar produk kita memiliki daya saing. Di Tiongkok walaupun menganut sistem Komunis, kebijakan pembangunannya berkesinambungan. Mereka selalu berprinsip yang baik diteruskan dan yang jelek ditinggalkan. Di Indonesia cenderung ganti pemerintah ganti kebijakan, yang lama ditinggalkan, sehingga memulai dari nol lagi.
Berdasarkan tinjauan perjalanan sejarah strategi kebijakan pangan dari masa ke masa, sejak awal kemerdekaan sampai 2014 (selama hampir 70 tahun) ternyata belum mencapai tingkat ketahanan pangan yang kuat dan lestari. Oleh karena itu diperlukan strategi kebijakan pangan yang komprehensif, konsisten, berkelanjutan dan berkesinambungan dari periode ke periode pemerintahan. Strategi kebijakan pembangunan pertanian harus bersifat ”holistic approach”, terintegrasi, terpadu, menyeluruh dan tidak terkotak-kotak pada saat on farm maupun off farm; antarsektor atau kementerian , antarpusat dan daerah dan antardaerah itu sendiri.
Ketiga, kita harus mengubah tradisi berpikir kita bahwa pertanian dan petani harus menjadi prioritas utama agar tidak menjadi institusi yang terpinggirkan. Perubahan paradigma berpikir ini harus menyangkut suprastruktur berupa UU yang propetani dan pertanian, kemudian struktur atau kelembagaan yang menjamin kelangsungan pertanian dan melindungi petani, dan penyediaan infrastrukur yang berorientasi untuk mengembangkan pertanian.
Perlunya perubahan cara memandang bahwa petani dan pertanian itu penting sedangkan pihak lain berkepentingan harus benar-benar dilaksanakan secara sadar dan tulus; bukan hanya ”basa-basi” saja. Perlu gerakan perubahan paradigma tentang ”puting the farmer first”. Dalam hal ini pemerintah harus memahami tugas pokoknya, yaitu ”nguwongke (menghargai), ngayemi (memberikan rasa tenteram), ngayomi (melindungi) dan ngayani (membuat kaya)” petani. Sesuai filosofi budaya leluhur pemerintah harus menghargai petani sebagai orang penting yang bertabat mulia, menjamin ketenteraman, melindungi dan mensejahterakan (membuat kaya) dengan berbagai tindakan nyata.
Keempat, memilih calon pemimpin di pusat dan daerah yang mempunyai platform yang jelas, dapat menerjemahkan pesan Pembukaan UUD 1945, khususnya menjabarkan pesan “untuk memajukan kesejahteraan umum” dan Pasal 33 dan 34, khususnya yang dapat menjabarkan demokrasi ekonomi yang mengamanatkan kemakmuran bagi semua orang. Kita dapat melihat sukses Brazil yang segera dapat keluar dari kemelut ekonomi tahun 1980-1990 karena dapat memilih pemimpin yang tepat Presiden Lula yang memiliki platform yang beraliran kerakyatan, walaupun sekarang juga menghadapi masalah politik yang sulit.
Mudah-mudahan menjadi perenungan anggota legislatif, bupati, gubernur, dan presiden. Rakyat sudah lelah dengar “adu omong mau menangnya sendiri yang kadang disertai adu jotos” yang bukan untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya.
*) Penulis : Mantan Wakabulog dan Staf Ahli Mentan Bidang Pangan