Beberapa tahun lalu para penari Dolalak sempat memukau penonton di Taiwan. Grup kesenian dari Purworejo yang menarikan Dolalak itu tampil mewakili Provinsi Jawa Tengah di atas panggung festival kesenian tradisional negara-negara Asia dan Pasifik bertajuk National Center fot Traditional Art (NCTA) yang berlangsung di negara sempalan RRC itu.
Tarian Dolalak yang kini mulai merambah mancanegara itu muncul di Purworejo pada sekitar tahun 1915. Kemunculannya di tlatah seni tari berkat kerjasama tiga penata tari setempat, Rejotaruno, Duliyat dan Romodimejo, yang mencoba memadukan kerja kreatifitas mereka.
Ketiganya tertarik dengan tingkah laku para serdadu Belanda yang di masa penjajahan dulu memang banyak bermarkas di Purworejo. Tingkah laku serta gerakan para serdadu Belanda di saat mereka sedang bersenang-senang dan mabuk, di mata ketiga penata tari itu terkesan unik dan menarik.
Dari melihat gerak dan tingkah laku para serdadu Belanda itu lantas ketiganya terinspirasi untuk menciptakan suatu bentuk tarian rakyat. Usaha mereka tidak sia-sia. Gaya dan gerakan tari yang energik dan menarik akhirnya dapat mereka ciptakan bersama.
Syair-syair Petuah
Menurut Atas Danusubroto, salah seorang budayawan Purworejo, pemberian nama tarian itu sangatlah spontan. Ketika itu para penciptanya agak kesulitan mencari nama yang tepat untuk tarian tersebut. Tiba-tiba salah seorang di antaranya tertarik dengan nada musik yang mengiringi tarian. Nada lagu atau musik tarian itu didominasi oleh nada do-la-la. Nada dalam lagu itu telah diucapkan dan dinyanyikan dengan gaya atau logat Jawa yang khas di wilayah Purworejo, Magelang dan sekitarnya. Dan, spontan saja nada do-la-la itupun dipilih sebagai nama tarian.
Tarian Dolalak dengan cepat disukai oleh masyarakat di Purworejo saat itu, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Selain gerakannya yang unik dan energik, syair-syair lagu yang mengiringi tarian juga disukai karena mengandung unsur-unsur yang mendidik, penuh petuah dan nasihat, membangkitkan semangat, serta bernuansa Islami. Akan tetapi, tidak jarang pula syair-syairnya berisi sindiran-sindiran yang menggelitik.
Syair-syair lagunya pun berbahasa Jawa dan Arab. Sedangkan musik pengiringnya menggunakan peralatan musik perkusi tradisional, seperti kendang, terbang, dan bedug atau jidhur.
Kesurupan
Pada awal kemunculannya, tarian Dolalak ditarikan penari-penari lelaki. Tapi dalam perjalanannya kemudian, penari-penari perempuan pun ikut menarikannya. Bahkan kini, posisi penari lelaki sudah tergeser. Karena di banyak grup tari Dolalak, semua penarinya perempuan.
Seperti halnya dalam tarian Kuda Lumping, penari Dolalak juga bisa kesurupan (trance). Adanya penari yang kesurupan itu merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang menyaksikan atau menontonnya. Biasanya penonton pun akan bersorak puas ketika menyaksikan ada penari perempuan cantik yang tiba-tiba gerakannya seperti tidak terkendali dan melakukan hal-hal yang di luar nalar.
Tarian Dolalak merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional yang masih bertahan dan terus berkembang di Purworejo hingga hari ini. Kita memang layak bergembira, di tengah-tengah gencarnya serbuan budaya kota yang disebut modern dan kontemporer, tarian tradisional rakyat seperti Dolalak masih tetap bisa bertahan, bahkan terus berkembang. Kita tentunya akan lebih bergembira lagi bila tarian Dolalak nantinya mampu menembus panggung-panggung pertunjukan seni di banyak negara lainnya.
Menjaga, mengembangkan dan melestarikan kesenian-kesenian tradisional seperti halnya Dolalak, bukan hanya tugas Pemerintah Kabupaten Purworejo, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, maupun Pemerintah Pusat, tapi juga merupakan tugas kita semua yang tidak mau kehilangan identitas dan jatidiri bangsa.