Jumat , 11 Oktober 2024
Dokter Wahidin Sudirohusodo. (ft. net)

Dokter Wahidin Kobarkan Gagasan Rakyat Harus Cerdas

YOGYAKARTA sangatlah layak disebut sebagai kota atau daerah yang menjadi Laboratorium Kebangsaan. Betapa tidak. Karena jauh sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, bahkan sebelum ikatan kebangsaan itu diikrarkan melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, Yogyakarta telah menjadi tempat lahirnya sejumlah gagasan tentang pentingnya menumbuhkan serta mengobarkan semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan adalah semangat untuk membangun, membebaskan, dan memerdekakan suatu bangsa dan negara yang bernama Indonesia, dari cengkeraman penjajahan.

Salah seorang tokoh yang telah melahirkan gagasan-gagasan cemerlang mengenai kebangsaan dan mengobarkan semangat kebangsaan itu dari Yogyakarta adalah dr. Wahidin Sudirohusodo. Ia lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta pada hari Rabu, 7 Januari 1852. Sekolah tingkat dasarnya di Yogyakarta, yang kemudian dilanjutkan di Europeesche Lagere School, juga di Yogyakarta. Setamat dari Europeesche Lagere School ia beruntung bisa melanjutkan ke Sekolah Dokter Jawa atau School tot Opleiding van Inlandche Artsen (STOVIA) di Batavia (Jakarta).

Semasa masih menjadi siswa Europeesche Lagere School ia sudah merasakan adanya ketidak-adilan dan ketidak-bebasan yang diderita rakyat. Ia selalu sedih menyaksikan derita kehidupan rakyat. Dadanya sudah bergelora melihat berbagai ketimpangan, keterbelakangan dan penderitaan rakyat itu, tetapi ia sadar dirinya belum bisa berbuat apa-apa.

Ketika ia melanjutkan pendidikannya di STOVIA, perhatiannya terhadap ketimpangan, keterbelakangan dan penderitaan rakyat itu semakin menguat. Di tengah-tengah kesibukannya belajar di STOVIA ia pun menyusun sejumlah gagasan atau rencana yang harus dilakukannya untuk membebaskan bangsa ini dari keterbelakangan, ketertinggalan, dan penderitaan akibat penjajahan. Tapi ia sadar, selagi masih dalam pendidikan di STOVIA, ia memiliki keterbatasan untuk melakukan atau mewujudkan gagasan-gagasan kebangsaannya itu secara lebih nyata lagi.

Simak juga:  Ki Hadjar Dewantara tentang Kebudayaan Nasional (1): Kebudayaan Itu Sifat Wutuhnya Bangsa

“Kalau bangsa ini ingin merdeka. Ingin bebas dari penjajahan, maka rakyat harus cerdas, harus pandai. Bangsa ini harus cerdas dan pandai. Untuk itu rakyat harus bisa sekolah. Harus bisa mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah,” rangkaian kata-kata ini disampaikan Dokter Wahidin dalam berbagai kesempatan bertemu dengan siapa pun, terutama rakyat, anak-anak muda, setelah ia berhasil meraih gelar dokter. Walau sebenarnya rangkaian kata-kata penuh semangat itu sudah ingin diteriakkan lantang olehnya semasa masih belajar di STOVIA.

Setelah meraih gelar dokter, ia pulang ke Yogya. Di Yogya, selain mempraktekkan ilmunya kepada rakyat yang memerlukan layanan jasa kesehatan, ia pun tak henti-henti menyampaikan gagasan-gagasan tentang perlunya membangun serta menumbuhkan semangat kebangsaan, dan perlunya rakyat bisa memiliki kesempatan untuk sekolah agar bisa cerdas dan pandai. Bahkan, sebagai wujud nyata dari perhatiannya yang besar terhadap derita rakyat, ia sering membebaskan rakyat tak mampu yang berobat atau meminta layanan medisnya sebagai dokter.

 

Melalui Retna Doemilah

Di masa-masa itu Dokter Wahidin sudah sadar betul dengan peran dan fungsi media massa dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan kebangsaan yang dibangunnya. Ia pun kemudian menerbitkan majalah Retna Doemilah. Majalah itu diterbitkan pada tahun 1904. Keberadaan majalah itu diharapkannya, selain bisa menumbuhkan semangat dan budaya membaca bagi masyarakat luas, tetapi juga bisa dijadikan sebagai alat atau media untuk merubah perilaku masyarakat akan arti penting dan manfaat pendidikan. Melalui majalah Retna Doemilah, gagasan-gagasan kebangsaan itu pun semakin tersebar luas.

Simak juga:  Ki Hadjar Dewantara tentang Kebudayaan Nasional (2): Kebudayaan Nasional Tumbuh dari Kebudayaan Daerah

Sepanjang tahun 1905, 1906 dan 1907 ia beberapa kali bertemu dengan pelajar-pelajar STOVIA. Dalam setiap kali bertemu, ia tak pernah berhenti mengingatkandan membakar semangat para pelajar STOVIA itu tentang arti pentingnya pendidikan atau sekolah bagi rakyat. Ia pun kemudian menganjurkan para pelajar STOVIA untuk mendirikan suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah membangun, mengembangkan dan memajukan pendidikan untuk rakyat. Organisasi itu harus bisa menumbuhkan keyakinan dan kesadaran rakyat tentang manfaat sekolah, di samping tentu juga mendirikan sekolah-sekolah bagi rakyat di berbagai tempat.

Sutomo, seorang aktivis atau tokoh pelajar STOVIA dan teman-temannya, ternyata tergoda dengan anjuran yang digelorakan Dokter Wahidin. Sutomo mendukung sepenuhnya pernyataan Dokter Wahidin yang menyatakan bila bangsa ini ingin merdeka dan bebas dari penjajahan, maka bangsa ini harus cerdas dan pandai. Untuk menjadi pandai dan cerdas, maka rakyat harus sekolah.

Demikianlah, dalam waktu relatif singkat, Sutomo dan teman-temannya kemudian merancang berdirinya suatu organisasi kebangsaan yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa. Pada tanggal 20 Mei 1908, organisasi kebangsaan yang pertama itu pun didirikan dan diberi nama Budi Utomo (Boedi Oetomo). Sutomo yang kemudian lebih dikenal dengan Dokter Sutomo dijadikan ketuanya yang pertama. Dan, tanggal berdirinya Budi Utomo itu, 20 Mei, dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Dokter Wahidin yang menumbuhkan gagasan-gagasan kebangsaan dan berhasil membakar semangat Sutomo dan teman-temannya di STOVIA mendirikan organisasi kebangsaan yang pertama itu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dengan Keppres No. 88/TK/1973. *** (Sutirman Eka Ardhana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *