PENINGKATKAN PRODUKTIFITAS HUTAN UNTUK
MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN
Oleh : Tim SILIN Fakultas Kehutanan UGM
PENDAHULUAN
Tantangan Besar Bangsa IndonesiaSaat Ini Dan Masa Depan
Kegagalan pengelolaan hutan tropika saat ini merupakan PR besar bangsa Indonesia. Permasalahan tingginya laju penurunan luas (deforestasi) dan kualitas (degradasi) hutan tropis yang terkait langsung pada peningkatan bencana alam anthropogenic (97% bencana nasional diakibatkan fenomena hidrometerologi-banjir longsor dan dampak perubahan iklim, BNPB 2013), kemiskinan (19.410 desa berada di sekitar hutan dengan penduduk sekitar 48,8 juta orang yang hidup dan kehidupannya berkaitan dengan hutan dan merupakan salah satu pusat kemiskinan yang terus menekan kondisi hutan yang ada) serta tekanan dunia dalam hal isu lingkungan dan menjadikan hutan tropika Indonesia sebagai titik lemah bagi pencapaian target pembangunan dan diplomasi internasional (Indonesia adalah negara pemilik hutan tropika terbesar no 3 dunia namun penghasil emisis GRK no 15 dunia). Oleh karena itu Indonesia secara umum menghadapi tantangan kelestarian fungsi hunian (local dan global) lansekap dan penurunan kualitas hidup terkait dengan penurunan fungsi hutan tropis. Kelestarian pemanfaatan hutan tropika merupakan amanat bangsa terutama bagi kelestarian generasi mendatang.
Pada saat yang sama Indonesia makin terjebak terhadap ketergantungan terhadap impor bahan pangan. Pertumbuhan penyediaan pangan oleh sektor pertanian guna merespon peningkatan populasi (Indonesia memiliki penduduk no 4 tertinggi dunia) telah mengalami tekanan yang makin tinggi akibat alih fungsi lahan sawah untuk pemukiman-industri di Jawa dan ekspansi kebun sawit di luar Jawa. Berbagai inisiatif dan inovasi pembangunan sentra pangan skala besar di luar Jawa terkendala oleh factor biofisik dan tingginya kebutuhan investasi dengan nilai keuntungan yang kurang kompetitif dan nampaknya belum ada solusi sistematik karena pada saat yang sama perkembangan sektor pertanian telah didominasi oleh ekspansi kebun sawit.
Situasi ketahanan energy yang saat ini dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6%, Indonesia berisiko menjadi “net energy importer country” (bukan hanya net oil importer) pada tahun 2030 ketika pasok energi nasional jauh di bawah kebutuhan energi nasional. Ketergantungan pangan dan energy nasional telah merupakan beban terberat ekonomi makro Indonesia dengan ancaman sebagai middle income trap (MIT) country.
Paradigma pembangunan bervisi jangka pendek telah menghasilkan pembangunan yang tidak berkelanjutan karena pembangunan ternyata telah merusak lingkungan, menguras SDA termasuk menurunkan daya pasokan air serta menyebabkan peningkatan angka kemiskinan. Dalam sektor kehutanan, paradigm pembangunan belum mampu mengapresiasi nilai pemanfaatan hutan tropis yang mampu menghasilkan barang dan jasa bernilai tinggi. Saat ini kontribusi sector kehutanan terhadap ekonomi nasional makin menurun (1,26% th 1999 menjadi 0,67% th 2012) menunjukkan bahwa sector kehutanan makin bersifat tidak unggul secara komparatif terhadap sector lain meskipun luasan kawasan hutan sebesar 120 juta Ha (identic dengan 60% luas daratan nasional).
Pada tataran global, paradigma pembangunan saat ini telah menghasilkan pembangunan yang tidak berkelanjutan karena makin merosotnya cadangan sumberdaya alam, peningkatan laju kerusakan lingkungan serta jumlah orang miskin makin bertambah. Oleh karena itu paradigma pembangunan semacam ini telah dipaksa bergeser menuju paradigm pembangunan berbasis ekonomi hijau.
Pelestarian dan Pemanfaatan Hutan Tropis
Upaya pelestarian dalam pemafaatan hutan tropika telah mengalami tantangan yang berat: sebagian besar hutan yang tersisa dalam kondisi yang tidak/kurang produktif. Ilmu Silviculture (silvi‐forest + culture) telah diterapkan dalam pembinaan hutan (pembangunan hutan, meningkatkan laju pertumbuhan tegakan, memodifikasi komposisi, kesehatan dan kualitas) guna memenuhi berbagai kebutuhan dan nilai-nilai namun terbukti tidak kuasa menahan laju deforestasi dan degradasi hutanproduksi kayu nasional merosot tajam dari 26 juta m3pada th 1990 menjadi 5.19 juta m3 di tahun 2011. Pada tingkat global, trend ini telah mengubah peranan hutan tropika menjadi sumber emisi gas rumah kaca dan hilangnya kekayaan biodiversity serta menjadi lokasi dimana sebagian besar penduduk miskin bertempat tinggal. Hal ini menjadi kendala peluang dalam memanfaatan kesempatan emas menyongsong era programgreen economy dunia seperti yang disepakati dalam KTT Bumi Rio + 20 (United Nation Conference on Sustainable Development‐The Future We Want) target.
Pada saat ini Rio 1992, ratifikasi pemerintah Indonesia dituangkan dalam 2 UU namun perkembangan yang ada jauh dari ekspektasi. Kegagalan Kyoto Protokol dan harapan/visi Rio+20. Ekonomi hijau merupakan respon global terhadap masa depan kehidupan bumi yang strategi pembangunannya didominasi oleh penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu perlu dilakukan terobosan guna mentransformasi pengelolaan hutan tropika dan dalam waktu yang sama mampu mengangkat kinerja sekor kehutanan.
Guna menyongsong paradigma baru pembangunan, diperlukan contoh konkret pengelolaan hutan tropis yang mampu dijadikan mainstream ekonomi hijau dalam berkontribusi terhadap : (i) kedaulatan pangan di luar sector pertanian, (ii) penyediaan energy biomassa suplemen BBM, (iii) inovasi industry berbasis biomaterial-biodiversity termasuk produksi obat modern dan (iv) kelestarian jasa lingkungan (pelestarian pasokan air, peningkatan serapan CO2 dan penurunan tingkat bencana anthropogenic terkait kerusakan hutan). Model pengelolaan hutan tropika berbasis peningkatan produktifitas yang dimaksud telah tersedia sebagai hasil pengembangan oleh Fakultas Kehutanan UGM semenjak tahun 1960an.
Namun demikian untuk dapat diadopsi secara Nasional masih diperlukan scenario jangka pendek kebijakan pembangunan guna mendukung program yang dimaksud dengan cara mengubah mindset pembangunan sector kehutanan saat ini serta menitikberatkan pada: (i) regulasi yang berpihak terhadap tatakelola yang baik, termasuk kepastian usaha praktek usaha yang baik dan pemerataan kesempatan akses SDH (ii) pembangunan SDM dan riset skala komersial lanjutan terutama menyangkut downstream processes , dan (iii) investasi pemerintah guna mempertahankan hutan Indonesia sebagai asset bangsa.
TUJUAN:
Membangun hutan yang sehat, prospektif dan lestari agar hutan benar-benar merupakan sumber kebutuhan primer manusia dapat terwujud, sehingga mampu dikelola secara business yang menguntungkan. Tujuan ini sejalan dan gayut dengan kesepakatan Rio 1992 maupun Rio 2012( Rio + 20). Kesepakatan tersebut bukan merupakan beban bagi Negara peserta, tetapi justru merupakan kuajiban utama bagi setiap Negara peserta dan peluang dalam rangka green economy.
SILVIKULTUR INTENSIF (SILIN):ModeL dan Dampak Yang Diharapkan
SILIN, Silvikultur Intensif (dengan mengoptimalkan dampak perbaikan genetik serta lingkungan tempat tumbuh) telah dikembangkan guna menghadapi tantangan perbaikan hutan rusak dan mengubahnya menjadi hutan yang produktif guna memenuhi kebutuhan kayu (biomaterial lainnya), pangan, energi terbaharui serta terjaminnya fungsi penyediaan jasa lingkungan (perlindungan biodiversity, pemantapan pengaturan siklus hidrologi/penyediaan air dan penangunalan bencana banjir serta peningkatan serapan gas rumah kaca). Fakultas Kehutanan UGM telah menemukan solusinya yaitu dengan teknik SILIN (Gambar 1).
Riset tentang SILIN ini diawali lewat Riset Unggulan Kemiteraan 1995 (MenRistek/BPPT Tahun 1995 – 1998), International Tropical Timber Organization (ITTO) yaitu : ITTO PD 16 Rev.4(F), ITTO PD 106/01 Rev . 1(F) dan ITTO PD 41/00 Rev.3 (F,M) (ITTO dari 1998 s/d 2006). Selanjutnya dilanjutkan dengan pilot tes di 6 IUPHHK dari Tahun 2005 sampai sekarang yang dibiayai oleh Direktorat Jendral Bina Usaha Hutan, Departemen Kehutanan RI. Untuk hutan jati didanai oleh Perum Perhutani untuk membangun Pusat Jati Cepu dan sarana risetnya mulai dari Tahun 1997 dilanjutkan dengan koleksi Pohon Plus Jati di Jawa&luar Jawa, terkumpul 600 family. Pada Tahun 2011 ditambahkan kajian untuk mendukung kedaulatan pangan dan mengkaji jarak tanam jati yang optimal.
Teknik SILIN diakui merupakan salah satu dari seratus Inovasi Indonesia terbaik yang dipilih dari 623 proposal Tahun 2008 oleh Business Innovation Center (BIC) bekerjasana dengan Kantor MenRistek/BPPT. Hasil dari teknik SILIN di PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah yang dikaji oleh Solberg (2012) menunjukkan bahwa tanaman umur 12 tahun sudah mendekati kondisi hutan alam. Fakta tersebut meyakinkan orang asing bahwa Indonesia mampu merehabilitir hutan bekas tebangan dapat pulih dan bahkan produktivitasnya meningkat > 7 kali. Kajian Solberg (2012) intinya dapat diperiksa dalam Gambar 2, hanya dengan menunjukkan identitas batas blok dengan GPS, tanaman dapat dipantau secara cermat, oleh pengamat sungguhpun dari luar Indonesia. Dengan lain perkataan monitoring secara makro dapat dilakukan dengan mudah dan dipercaya oleh donator luar negeri.
Dari Gambar 2, dan 3 terbukti bahwa telah tersedia teknik merehabilitasi hutan bekas tebangan yang mampu mengembalikan kondisi hutan dan bahkan menaikkan potensi dari semula berkisar antara (25 m3/ha s/d 40 m3/ha)/35 tahun menjadi 280 m3/ha/30 tahun, atau meningkat minimal 6,52 kali. Sebagai informasi sebagian besar potensi hutan bekas tebangan di Indonesia hanya (20 – 35) m3/ha.Potensi kurang dari 50 m3/ha sesungguhnya tidak layak untuk dikelola secara business yang menguntungkan.
Peningkatan produktivitas yang lebih besar lagi telah dirancang dengan menerapkan hasil uji keturunan (progeny test)sebagai langkah untuk menerapkan Era Silin II dan selanjutnya.
Tabel 1 mengindikasikan bahwa tanaman dengan teknik SILIN, secara teori mampu menghasilkan produktivitas yang sangat tinggi atau rotasinya dapat dipersingkat sampai dengan setengah rotasi awal (1/2 X 30 tahun). Materi sudah tersedia tinggal diperlukan dana untuk mewujudkan. Memang SILIN membutuhkan teknologi yang dapat dikerjakan oleh tenaga Indonesia
Sementara itu untuk jati dua klon unggul yaitu klon 110 dan klon 97 yang telah dicoba ditanam secara operasional di Jawa. Tanaman di KPH Nganjuk dan Pemalang dengan jarak tanam 3 x 3 m pada umur 13 tahun hasilnya 260 m3/ha.
Sementara itu telah dilakukan uji coba 10 varietas padi gogo di tiga KPH, yaitu KPH Ngawi, KPH Cepu dan KPH Randublatung dengan rancangan Split-Split-Plot, dimana Main Plotnya jarak tanam jati ( 3 m x 3 m sebagai control, treatmennya jarak tanam 6 m x 2 m, 8 m x 2 m dan 10 m x 2 m), Sub-Plot cara tanam padi gogo ( konvensional dan Jajar legowo) dan Sub=Sub=Plotnya varietas padi gogo ( 10 varietas).Uji varietas padi gogo terlihat pada Gambar 5.
Sementara itu hasil panen padi gogo (Gambar 7) menunjukkan adanya interaksi lokasi dengan sepuluh varietas.Informasi ini sangat penting terutama bila kita akan menanam varietas padi gogo dengan skala luas.
Berbagai capaian tersebut menunjukkan bahwa teknologi guna peningkatan peroduktifitas hutan sesungguhnya telah tersedia dan siap untuk diadopsi secara luas guna menjawab permasalahan bangsa saat ini (pemenuhan kebutuhan pangan, energy alternative berbasis biomassa, penyediaan lapangan kerja dan percepatan pembangunan derah berhutan) sebagaimana tuntutan kesepakatan Rio+20 (United Nation Conference on Sustainable Development‐The Future We Want), termasuk di dalamnya komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca tanpa berakibat negative terhadap perlambatan pembangunan.
Kesesuaian SILIN terhadap paradigma pembangunan Ekonomi Hijau
Kegiatan ekonomi hijau harus mampu menghasilkan peningkatan pertumbuhan dan pendapatan yang bebarengan dengan penurunan tingkat emisi GRK, peningkatan efisiensi konsumsi energy dan sumberdaya alam serta mencegah laju kehilangan biodiversity dan jasa lingkungan.Penerapan SILIN dalam pengelolaan hutan tropika mampu meningkatkan kinerja dalam memenuhi kebutuhan umat manusia sekaligus comply terhadap indikator ekonomi hijau dalam bentuk hasil barang-jasa sbb:
- Penyerapan Emisi Karbon
- Pengembangan Energi Terbarukan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan
- Terobosan teknologi dlm industri manufaktur dan pengembangan inovasi teknologi dan industri baru : Silin, Pinus bocor getah, Jati bongsor, Exsitu konservasi era III
- Jaminan terhadap ketersediaan/ distribusi air (Perbaikan Kulaitas, Kuantitas dan Rezim Air (Tata Air) Kelestarian hutan yang berdampak pada lingkungan yang nyaman kehidupan manusia dan satwa
- Penyerapan & Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja
- Pengembangan Zat Bio-aktiv untuk kesehatan Program kemanusiaan misalnya pengadaan obat dan herba
- Dukungan terhadap revisi / re-design Tata Ruang ? Agar tidak selalu terjadi “perlepasan” Kawasan Hutan untuk tujuan yang lain
Kesesuaian SILIN terhadap indicator keberhasilan penerapan ekonomi hijau sebagaimana telah disusun oleh UNEP adalah sbb:
Indicator Transformasi Ekonomi.Ekonomi hijau harus mampu men-transformasi investasi saat ini yang didominasi oleh kegiatan produksi yang menghasilkan emisi GRK tinggi dan kerusakan lingkungan menuju investasi produksi ramah lingkungan yang menyerap banyak lapangan kerja baru. Kegiatan SILIN baik pada hutan humida tropikadan hutan monsoon tropika mampu berkinerja memenuhi indicator transformasi ekonomi karena terbukti mampu menyediakan model pengusahaan hutan yang profitable dan mendorong industry baru berbahan mentah terbarukan (hasil hutan kayu dan non-kayu) tanpa dampak kerusakan hutan.
- Analisis cost-benefit. Pengelolaan hutan bekas tebangan (logged-over forest) mengikuti kaidah SILIN mampu menghasilkan kayu komersial hingga 250 m3 dalam waktu 30 years (versus 25‐40 m3 menggunakan teknik konvensional, namun demikian jangka waktu 30 th dinilai masih terlalu lama untuk kegiatan investasi skala besar. Cost‐Benefit analysis sebuah unit usaha yang mengadopsi SILIN dengan luasan 90,000 Ha (panenan tahunan 3615 Ha dengan penghasilan kayu non‐SILIN rimber 52,79 m3/Ha. Dengan SILIN rerata 120 pohon /Ha (area efektif, maksimum 200 pohon per Ha). Analisis financial berdasarkan scenario terendah (minimum irreducible performance masih menghasilkan angka rasio benefit/cost yang tinggi (57,65) .
- Keuntungan bisnis. Dengan standar biaya reboisasi US $ 1.000/ha, selama daur 30 tahun dengan teknik SILIN akan diproduksi kayu sebanyak 280 m3/ha sehingga menghasilkan DR sebanyak US $ 16 x 280 = US $ 4,480.00 (empat ribu enam ratus empat puluh US $). Dana sebesar itu dapat untuk merehab hutan bekas tebangan 4,48 kali lebih luas dari kondisi awal merehab.Namun pemerintah pada awalnya bisa memilih IUPHHK yang memiliki potensi (35 m3 atau 40 m3) sehingga memiliki DR sebanyak US $ 16 x 40 = US $ 640 sehingga investasi pemerintah hanya US $ 360/ha.Dengan biaya US $ 1,000.00/ha standar upah minimum daerah dapat dipenuhi, sehingga pekerja untuk merehab hutan dapat memperoleh gajih yang layak. Standard prosedur teknik SILIN juga dapat dipenuhi, sehingga produktivitas tanaman tinggi. Di sisi lain potensi produktivitas juga meningkat dari ( 20 – 45) m3/ha menjadi 280 m3/ha, sudah barang tentu akan memberi keuntungan bagi IUPHHK. Oleh karena itu perlu ada perjanjian baru bila teknik SILIN diterapkan.
- Dukungan kedaulatan pangan. Jaminan terhadap kedaulatan pangan (1998 hingga tahun 2010, luas kontribusi pangan dari sektor kehutanan mencapai lebih dari 16,43 juta hektar, dengan luas rata-rata mencapai 6,341 juta hektar/tahun dalam bentuk kegiatan tumpangsari pada kegiatan rehabilitasi hutan, pembuatan hutan tanaman, hutan rakyat, dll. Uji coba SILIN-tumpangsari menunjukkan tingkat produksi pangan yang telah dihasilkan mencapai lebih dari 9 juta ton atau setara pangan per tahun dari jenis padi, jagung, kedelai, dll.
Indicator Efisiensi pemanfaatan SDA.
Pengelolaan hutan berbasis SILINtidak mengorbankan kondisi hutan alam yang ada justru mempertahankan dan meningkatkan produktifitas nya termasuk peningkatan daya pasokan air dan kapasitas penyerapan CO2.
- Penyerapan CO2. Pada umur 11 tahun tanaman SILIN (hanya tanaman jalur) mampu menyerap 400 ton CO2/Ha, jumlah ini setara dengan angka serapan untuk mengkompensasi emisi tahunan per kapita Indonesia sebanyak 19 orang selama 11 tahun. Neraca karbon dari pengelolaan hutan berbasis SILIN pada hutan humida tropika (rotasi 25 tahun) yang dikonstruksi menggunakan pemodelan CO2Fix berdasarkan data lapangan menunjukkan adanya peningkatan serapan bersih secara progresif pada rotasi lanjut, sebaliknya pada pengelolaan konvensional menunjukkan adanya penurunan secara drastic (karena kehilangan stok yang dipanen tidak mampu dikembalikan pada jangka periode rotasi).
- Penghasil bio-methanol.Pada setiap m3 limbah tebangan mampu dikonversi menjadi 0,24 ton methanol. Penghasilan bio-metanol, dengan luas tanaman 1.000 ha/tahun sehingga dalam setahun terdapat 11.000 m3 Apabila dalam 1 tahun ada 300 hari kerja, dan setiap 1m3 limbah kayu menghasilkan 0,24 ton bio-methanol maka produksi bio-methanol tahun 1 dan seterusnya sampai Tahun 30 = 11.000 x 300 x 0,24 ton bio-methanol/1000 ha/th = 792.000 ton/th. Berdasarkan perhitngan di atas, apabila dirancang luas hutan yang direhap 30.000 ha/th atau sebesar 3,75 % luas areal IUPHHK Tahun 2012, maka akan diperoleh bio-methanol sebanyak 23,760.000 ton/th.
- Penanaman jalur pada penerapan SILIN pada hutan humida tropika mampu mempercepat laju pemulihan resapan air ke delam tanah (infiltrasi) mendekati kondisi sebelum ditebang.
- Perlindungan biodiversity. Penerapan SILIN pada hutan humida tropika mengguakan jenis pohon local/setempat (native species) sehingga tidak dikhawatirkan merusak kesetimbangan ekosistem. Ini merupakan satu-satunya contoh di dunia pertanaman pohon komersial yang memanfaatkan jenis local (bandingkan dengan jati, akasia, mahoni dll yang bukan meruapakan jenis loka/setempat). Selain itu, pertanaman yang dimaksud tidak bersifat monokultur, karena hanya 15% dari seluruh areal yang ditanami dengan materil pertanmana yang dikumpulkan dari induk yang berbeda. Sisa ruang (85%) tetap dipertahankan sebagai hutan alam tidak terusik.Kajian molekuler dari pertanaman SILIN ini menunjukkan bahwa pertanaman jalur ini memiliki basis genetic yang luas tidak kalah dengan basis genetic yang terdapat pada hutan yang tidak terusik sehingga pertanaman jalur ini tidak mengancam penurunan keragaman genetik hutan humida tropika (Isagi & Indrioko 2013).
Indicators Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.Penerapan ekonomi hijau harus mampu berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat dalam hal bahwapengalokasian investasi guna menghasilkan barang jasa yang bersifat lestari serta penguatan modal social yang ada. Indikator yang termudah adalah seberapa jauh pemenuhan kebutuhan umat manusia dapat dicukupi terutama bagi kalangan miskin.
- Berdasarkan perhitungan pada tingkat industry, setiap 000 – 300.000 m3/tahun pengolahan kayu dibutukan 3.000 tenaga kerja. Usualan SILIN tahap pertama dengan luas pertanaman 24,000 Ha/tahun akan mampu menyerap kebutuhan tenaga kerja sebanyak 72.000 orang dengan tambahan sebanyak lebih dari 5.000 tenaga bekerja di hutan dengan tingkat pendapatan kompeitif. Ini merupakan jumlah yang cukup banyak untuk ukuran Kalimantan. Bahkan pada tahap kedua dimana pertanaman klon (dengan produktifitas jauh lebih tinggi) digunakan akan mampu mengembangkan ekonomi daerah yang bahkan lebih unggul dari sector kelapa sawit
- Karena IUPHHK pada akhirnya juga memerlukan tenaga yang terampil dan relative tersedia di sekitar lokasi IUPHHK, sehingga membangun pendidikan dari SD, SLTP dan SMK atau sederajat merupakan salah satu kebutuhan. Dalam kaitan ini kerjasama antara IUPHHK dan Pemerintah dalam membangun pendidikan yang berkualitas sangat diperlukan. SD dan SLTP dan asrama siswa bisa di setiap IUPHHK yang luas tanamannya (1.000 – 1.500) ha/th, SMK atau sederajat dengan asrama di sekitar bebrapa IUPHHK yang luas tebangannya antara 1.000/ha s/d 1.500 ha/th atau di IUPHHK yang luas tebangannya > 3.000 ha/th. Tenaga kerja IUPHHK tidak perlu memikirkan pendidikan anak-anaknya, sementara itu masyarakat di sekitar IUPHHK juga bisa menikmati fasilitas pendidikan yang baik.
- Hal yang sama juga mengenai fasilitas kesehatan. Apabila fasilitas pendidikan dan kesehatan tersedia, tingkat kesejahteraan karjawan dan masyarakat di sekitar lokasi IUPHHK juga meningkat.
- Sebagai bahan perbandingan, SILIN pada tanaman jati berumur 8 tahun yang ditebang menghasilkan produk sebanyak 150 m3/ha. Apabila tanaman dirancang dengan jarak tanam 3 m x 3 m dan pada umur 8 tahun dijarang 50 % atau jarak tanam menjadi 6 m x 3 m akan menghasilkan hasil penjarangan sebanyak 75 m3/ha dengan nilai saat ini Rp 112.500.000,00. Dengan pola PHBM, masyarakat dapat 25 % atau sebanyak 0,25 x Rp 112.500.000 = Rp 28.125.000,00 atau pertahun menjadi Rp 3.515.625. Kalau pesanggem memperoleh bagian 60 % sehingga mereka akan memperoleh bagian Rp 2.109.375,= atau masing-masing pesanggem menerima bagiannya sebanyak Rp 421.875,00/tahun, keuntungan yang jauh lebih tinggi ketimbang hasil gogo mereka pada andil 0,20 ha.
- Selanjutnya pada jarak tanam 6 m x 2 m apabila dijarang 50 % sehingga jarak tanam menjadi 6 m x 4 m. Barang kali hasil penjarangannya lebih kecil katakanlah 70 m3/ha dengan harga Rp 105.000.000,00 atau masyarakat akan memperoleh bagian 25 % = Rp 26.250.000,= atau per tahun Rp 3.281.250,00 sehingga per pesanggemRp 393.750,= tetapi masih menerima hasil manen padi gogo. Dengan cara ini optimalisasi ruang dapat diperoleh dengan lebih akurat
Keterkaitan lintas-sektoral:
- Kemenhut
- Kementan (ketahanan pangan)
- Kemerin (penguatan industry dan devisa)
- Kemen PDT (pengurangan angka kemiskinan dan mempercepat pembangunan daerah terpencil)
- Kemenko Kesra (peningkatan kesejahteraan masyakarakat)
- Kemen BUMN (pengembangan usaha berbasis kepemilikan nasional)
- KemenRistek (produksi hasil hutan bernilai tinggi lewat inovasi teknologi berbasis pemanfaatan hutan tropis)
- Kemenkes (penyediaan obat murah berbahan herbal)
- KemenKLH (pelestarian lingkungan dan kepastian penyediaan jasa lingkungan)
Roadmap
Kegiatan ekonomi hijau perlu mendapat dukungan dana baik oleh investasi Negara maupun swasta oleh karena itu perlu dukungan dana public, policy reforms dan perubahan peraturan yang mampu mendukung dan pada prinsipknya harus mampu memanfaatkan modal SDH sebagai asset ekonomi terbatas terutama diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar yang kehidupannya memiliki ketegantungan terhadap hutan.
Roadmap ini dibangun guna memastikan bahwa produktifitas hutan humida tropika dapat ditingkatkan dari angka baseline 25‐35 m3/ha/35 tahun menjadi hingga 280 m3/ha/ rotasi 30 year rotation.Pada fase pertama, unit usaha yang terbukti memiliki kualifikasi yang tinggi ditunjuk untuk mengemban mandate ini dengan target pembangunan tanaman 24,000 Ha per tahun. Setelah 5 tahun pertama, penanaman ini akan mencapai angka 100,000 Ha dan akan beranjak menggunakan material klon yang bersifat superior sehingga target panenan mampu dicapai pada umur 17 tahun. Dengan target akhir pembangunan SILIN ini seluas 3 juta Ha maka akan menghasilkan kayu lestari (berikut produksi bio-methanol) melampaui jumlah total produksi kayu pada era booming (1970-1990).
Investasi pembangunan SDM dan riset
SDM sebagai garda pelestari hutan perlu dibangun dengan menonjolkan soft-skill yang selama ini makin tergerus (mampu bekerjasama dalam misi kebaikan, integritas, sikap militant dalam cinta hutan sekaligus mencintai mahluk hidup penduduk, satwa liar, biodiversity) yang ada di dalamnya serta mencintai generasi mendatang yang mewarisi hutan saat ini. Sementara itu riset harus selalu dikembangkan untuk memastikan bahwa pengelolaan mampu bersifat lestari dalam skala luas dengan pemanfaatan SDH lewat kemandirian teknologi yang makin inovatif dan didukung bio-prospecting.
Merebut diplomasi dan dukungan internasional
Mendesak dilakukan perbaikan hubungan antar sector di dalam negeri serta diplomasi Internasional mengenai permasalahan pengelolaan hutan tropika dan juga kaitan dengan iklim global. Hal ini dilakukan agar maslahat hutan Indonesia harus pertama bangsa Indonesia dengan dampak meluas secara global. Dengan bahan advokasi yang lebih kuat (berbasis fakta dan kebijakan nasional yang mendukung praktek baik), tenanan global thd permasalahan hutan tropika di Indonesia dapat dengan mudah dibalik menjadi dukunga global terhadap kelestarian