Jumat , 26 April 2024
Beranda » Peristiwa » Buya Hamka, Sempat Menggeluti Jurnalistik

Buya Hamka, Sempat Menggeluti Jurnalistik

Khasanah Islam di Indonesia memiliki sejumlah ulama dan pemikir Islam yang besar atau terkemuka. Salah seorang dari ulama dan pemikir Islam terkemuka itu adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981) atau lebih dikenal dengan panggilan Buya Hamka. Bahkan ia tidak hanya diakui seorang ulama dan pemikir Islam yang besar, tapi juga diyakini sebagai seorang sufi terpandang yang datang dari Bumi Nusantara. Selain itu ia juga merupakan salah seorang sastrawan terpandang di Indonesia yang sempat mendapat julukan “Hamzah Fansuri Zaman Baru”. Jadi Buya Hamka merupakan seorang penulis, sastrawan, bahkan juga wartawan dan ulama.

Hamzah Fansuri adalah seorang ulama, pemikir agama dan pemuka tasawuf  serta  sastrawan religius terkemuka Aceh masa lalu. Nama besar Hamzah Fansuri itu kemudian disandangkan ke Buya Hamka dengan sebutan “Hamzah Fansuri Zaman Baru”.

Buya Hamka yang lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 atau 14 Muharram 1325 H, adalah sosok yang lengkap menyandang nama besar. Pikiran-pikiran cemerlangnya tentang Islam telah membawa semangat dan pencerahan baru bagi pemahaman serta pendalaman Islam, tidak saja bagi umat Islam di Indonesia tapi juga di Dunia Melayu lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Brunei.

Karya-karya besarnya yang membawa semangat pencerahan dan peradaban baru dalam perjalanan serta perkembangan Islam telah menggelitik dan menjadi panutan tidak saja umat Islam di Indonesia, tapi juga di negeri jiran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Karya-karya besarnya tentang Islam itu diantaranya,   “Tasawuf Modern”, “Pelajaran Agama Islam”, “Falsafah Hidup”, “Tafsir al-Azhar”, “Sejarah Umat Islam” dan “Tasawuf Dari Abad ke Abad”. Bahkan untuk tafsir yang bukan bersifat terjemahan, “Tasir al-Azhar” merupakan tafsir Al-Qur’an terbesar dalam Bahasa Indonesia (Melayu).

Buya Hamka memang datang dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Abdul Karim Amrullah adalah  seorang ulama terpandang di Sumatera Barat yang dikenal dengan panggilan Haji Rasul. Dari lingkungan keluarga, terutama ayahnya itulah ia mendapatkan dasar-dasar awal pendidikan dan pemahaman tentang Islam.

Pendidikan agama yang diperoleh dari ayahnya itu diperdalamnya lagi dengan belajar di Madrasah Sumatera Thowalib Padang Panjang, kemudian ke Sumatera Thowalib Parebek. Ilmu agamanya diperdalam lagi dengan  berguru kepada Syekh Ibrahim Musa seorang ulama besar dari Bukittinggi dan  Ustadz Angku Mudo Abdul Hamid Halim. Ketika berusia 16 tahun ia memburu ilmu di Jawa dengan berguru kepada sejumlah ulama terkemuka seperti AR Sutan Mansur, Haji Umar Said Cokroaminoto, Haji Fakhruddin, Suryopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Setelah tiga tahun berguru di Jawa, ia pun berangkat ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Tahun 1950 ia berangkat ke Timur Tengah bertemu dengan seorang tokoh sufi ternama Dr Thoha Husein dan mufti Palestina Amin Husein, serta sekaligus menunaikan ibadah haji yang kedua kali.

Simak juga:  Diskusi Kebangsaan XVIII: Kembali ke Musyawarah Mufakat

Perjalanan ritual Hamka yang kemudian membawanya menjadi seorang ulama kharismatik sangatlah menarik. Setelah mendalami Islam di sejumlah tempat, ia tidak langsung secara formal terjun sebagai dai atau ustadz. Ia ternyata terlebih dulu memilih dunia jurnalistik dan sastra sebagai tempatnya berdakwah dan mengembangkan syiar Islam.

 

Menulis Sejak 17 Tahun

Sesungguhnya kecintaannya terhadap dunia tulis-menulis, sudah dimulainya sejak usia remaja. Bahkan saat usianya baru 17 tahun, ia sudah menulis roman (novel) berjudul “Siti Rabiah”. Meskipun pada awalnya, kesukaannya pada dunia sastra itu ditentang oleh ayahnya, tapi ia tetap berusaha meyakinkan apa yang dilakukannya itu merupakan langkahnya dalam mencari jatidiri. Keberatan sang ayah itu tentu bisa dipahami, karena Haji Rasul memang berharap anaknya tersebut meneruskan tugas dan pengabdiannya sebagai ulama.

Sebagai seseorang yang sudah memiliki banyak bekal pengetahuan dan pemahaman mengenai Islam, dapatlah disebut jika ia telah memastikan langkahnya sebagai ‘pembawa semangat dan pencerahan dalam Islam’ melalui dunia jurnalistik, atau dunia kewartawanan. Ia mulai mengembangkan kemampuannya menulis di majalah “Seruan Islam” yang terbit di Tanjungpura, Langkat. Kemudian di tahun 1930, tulisan-tulisannya pun bermunculan di “Pembela Islam”, Bandung. Saat menjadi guru di Makassar pada tahun 1932, ia menerbitkan majalah “Al-Mahdi”.  Di tahun 1936, bersama Abdullah Puar, ia mendirikan majalah “Pedoman Masyarakat” di kota Medan.

Di masa itu “Pedoman Masyarakat” merupakan salah satu majalah yang mendapat tempat dan populer di khalayak pembaca, khususnya pembaca Islam. Tulisan-tulisan Hamka yang banyak berbicara tentang pengembangan dan pencerahan Islam, falsafah, dan tasawuf telah menarik perhatian pembaca Islam. Bahkan dari serial tulisannya di “Pedoman Masyarakat” itulah kemudian muncul buku “Tasawuf Modern” yang merupakan salah satu karyanya yang populer dari sekian banyak karya besarnya yang lain.

Sebagai sastrawan, di tahun 1939 ia menulis roman (novel) terkenal ‘Tengelamnya Kapal Van Der Wijk”. “Di Bawah Lindungan Ka’bah” merupakan novel terkenal karyanya yang kain, yang ditulisnya seusai menunaikan ibadah haji di Mekah.

Simak juga:  Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (53)

Dalam perjalanan dunia kepenulisannya, selama duapuluhlima tahun Buya Hamka telah menghasilkan sekitar 100 lebih judul buku yang tidak saja terbit di Indonesia tapi juga di Malaysia. Untuk karya sastra, selain “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” dan “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, juga terdapat karya novelnya yang menarik lainnya seperti “Merantau ke Deli”, “Terusir” dan “Keadilan Illahi”. Dan salah satu buku kumpulan cerpennya yang menggoda adalah “Menanti Bedug Berbunyi”.

Karya-karya besarnya di bidang agama, baik falsafah maupun pencerahan Islam selain judul-judul terkenal seperti “Tasawuf Modern”, “Pelajaran Agama Islam”, “Falsafah Hidup”, “Tafsir al-Azhar”, “Sejarah Umat Islam” dan “Tasawuf Dari Abad ke Abad”, juga terdapat sejumlah judul menarik lainnya seperti “Lembaga Hidup”, “Lembaga Budi”, “Pedoman Mubaligh Islam”, dan lain-lain.

Kemudian karya-karya besar lainnya yang banyak menjadi bahan perbincangan hangat di masyarakat luas di antaranya “Revolusi Fikiran”, “Revolusi Agama”, “Adat Minangkabau”, “Menghadapi Revolusi”, “Negara Islam”, “Sesudah Naskkah Renville”, “Dari Lembah Cita-cita Merdeka”, “Islam dan Demokrasi”, “Ayahku”, “Kenang-kenangan Hidup”,  “Agama dan Perempuan”, “Pembela Islam”, dan lain-lain.

Karya-karya agama maupun karya-karya sastranya telah menjadi bahan kajian dan bacaan yang  populer di banyak pesantren. Karena itulah, sebagai ulama dan juga sastrawan, nama Buya Hamka sejak dulu cukup dikenal oleh kalangan santri di pesantren.

Suatu hal penting lainnya, Buya Hamka yang mendapat gelar doktor honorus causa dari Universitas Al-Azhar Mesir (1958) dan Universitas Kebangsaan Malaysia (1976) dikenal sebagai ulama yang moderat tapi tegas dalam akidah dan keyakinan agama. Tahun 1975 ia terpilih sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dan, selama kepemimpinannya, MUI telah menjadi lembaga yang berwibawa karena sangat independen dan telah menjadi alat kontrol yang cukup membuat para penguasa repot. Tapi karena ketegasannya dalam soal akidah dan keyakinan beragama, setelah terjadi ‘pertentangan pendapat’ dengan penguasa pemerintahan ketika itu di tahun 1981 ia mengundurkan dari dari jabatan Ketua Umum MUI.

Namun sebagai seorang ulama kharismatik ia tetap saja dihormati dan disanjung umat. Fatwa-fatwa dan nasehat-nasehat keagamaannya yang menyejukkan tetap saja ditunggu jutaan umat, sampai akhir hayatnya pada 24 Juli 1981. ***   (Sutirman Eka Ardhana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *