Pembubaran yang sama atas acara di sebuah Universitas Lampung, membuat Mbah Sot sempat menengok anak sulung Mbah Sot yang bersekolah di SMP Katolik Metro Lampung Tengah. Pembatalan pentas teater “Pak Kanjeng” di Yogya dan Surabaya yang temanya adalah penggusuran desa-desa Kedungombo, melahirkan pengalaman batin dan politik yang luar biasa. Menambah jumlah saudara dan sahabat. Pak Permadi dan Gendheng Pamungkas datang ke rumah menyatakan keprihatinan atas pembubaran acara, yang sebenarnya Mbah Sot syukuri, karena membuat Mbah Sot jadi dekat dengan dua tokoh aneh itu.
Bahkan penganiayaan politik itu membangkitkan dan mengkreatifkan ikhtiar pembelaan Mbah Sot dan teman-teman kepada penduduk desa Kedung Pring dan Mlangi, yang naik mengungsi ke bukit-bukit, menolak penggusuran, sehingga Pak Harto pidato marah di Solo dan menyebut mereka “hambegugug ngutho waton”. Semacam kepala batu. Tanpa Pak Harto, Gubernur Jateng Pak Ismail dan putranya, serta Pemerintah Provinsi menyadari bahwa “hambegugug ngutho waton” itu diapresiasi dan dipuji oleh Tuhan, asal dilakukan kepada penguasa yang “adigang adigung adiguna”. Alias mentang-mentang.
“At-takabburu lil-mutakabbiri shodaqotun”. Bersikap sombong kepada pihak yang menyombongi itu bernilai sedekah. Sampai-sampai ketika Mbah Sot dan teman-teman membawa truk berisi beras bertumpuk di bak-nya, Pak Jenggot pemimpin Kedung Pring dan Mlangi menolaknya. Padahal susah truk mencapai tempat di perbukitan itu. Tapi nekat Mbah Sot dan teman-teman mengangkut beras itu dari truk ke depan rumah-rumah darurat mereka. Pak Jenggot menyatakan: “Kami ini tidak miskin. Tidak minta-minta beras atau apapun. Kami kaya. Desa kami makmur. Tapi direndam oleh Pemerintah. Sampai Masjid dan Kuburan juga tenggelam”.
Penduduk Kedungombo itu seolah-olah seperti yang digambarkan di Kitab Suci: “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu”. Tiba-tiba kemudian datang penguasa dholim mengusir dari desa-desa mereka, serta menganiaya kehidupan mereka. Dan Tuhan sangat jelas menyatakan tentang para penganiaya itu: “tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”.
Dengan terbata-bata tapi setengah marah Mbah Sot merespons: “Kalau soal tertindas, saya juga tertindas, Pak Jenggot. Beras dan apa saja yang kami bawa ke sini tidak merupakan pemberian atau sedekah. Ini bukan wujud rasa kasihan. Ini saya membayar hutangnya Pemerintah kepada rakyatnya. Mereka tidak mengerti bahwa mereka berhutang. Mereka merasa memiliki Negara dan kekayaan tanah air ini dan merasa bahwa mereka berhak menentukan segala sesuatu, karena kepintaran dan kekuasaannya”
Akhirnya Pak Jenggot dan semua pengungsi menerima. Mereka manusia luar biasa. Mereka tahu bagaimana Markesot sangat sering menemani mereka, menyeberang danau dengan perahu kecil, tidur di krakal sawah-sawah. Berkejaran dengan Polisi dan Tentara. Almarhum sahabat Franky Sahilatua ikut bersimpati dan datang ke Kedungombo untuk membuat video klip album “Perahu Retak”. Teman-teman Markesot di Padhangmbulan Jombang rutin mengumpulkan dana untuk men-support saudara-saudara mereka pengungsi Kedungombo.
Pak Jenggot itu tokoh utama dalam reportoar teater kami “Pak Kanjeng”. Pak Kanjeng adalah Pak Jenggot itu. Pentas drama itu diperkuat dengan suara musik. Dan gamelan yang dipakai untuk menghiasi drama Pak Kanjeng itu kemudian dikasih nama: Gamelan KiaiKanjeng.
Daur II-269,
Yogya, 14 November 2017