Jumat , 11 Oktober 2024

Akibat Lalai Mengurus Pangan

Lalai disini bisa tidak sengaja, ataupun disengaja. Faktor utama kelalaian adalah keterbatasan anggaran atau cadangan devisa yang menurun. Faktor lain bisa disebabkan cara pandang pembantu presiden yang sektoral tidak memikirkan dampak kebijakan. Selanjutnya pada saat dihadapkan penurunan produksi karena kekeringan akhirnya bisa menjadi malapetaka. Apalagi kalau instrumen dan mekanisme pengendalian harga dilikuidasi karena cara pandang yang sektoral tadi. Keadaan krisis beras tersebut apabila  dibarengi dengan “penggorengan” nilai tukar rupiah maka dampaknya dapat menjalalar ke krisis ekonomi bahkan sampai ke krisis sosial dan politik.  Untuk keadaan sekarang ini akan bertambah ruwet lagi karena kemungkinan ditambah ulah berita yang dihembuskan oleh media sosial sehingga suasana akan menjadi semakin panas.

Pidato Presiden Soekarno ketika meletakkan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor) pada tahun 1952 jelas pesannya, bahwa soal pangan (makanan rakyat) adalah “mati hidupnya bangsa”. Namun, beliau tidak sempat merealisasikannya, malah pada masa pemerintahannya sering terjadi bencana kelaparan dan pada akhir pemerintahannya inflasi mencapai 660 persen. Untuk perbandingan saja ikan asin dan tekstil kasar pun masuk dalam kategori 9 bahan pokok pada waktu itu. Waktu itu Indonesia masih tergolong negara miskin dengan pendapatan per kapita kurang dari USD 100. Akhirnya, Pemerintahan Presiden Soekarno pun jatuh yang dipicu oleh naiknya harga beras. Keinginan membentuk kelompok negara “New Emerging Forces” kandas karena lupa membangun kekuatan ekonomi dalam negeri dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi terlebih dahulu.

Selanjutnya Presiden Soeharto, semula pembangunannya bertumpu pada pertanian yang dibiayai “boom” minyak akibat adanya krisis minyak dunia tahun 1973. Infrastruktur pertanian dibangun, peningkatan produksi beras, gula dan palawija ditangani serius, kelembagaannya ditata, harga dasar gabah/beras diimplementasikan, diadakan reformasi kelembagaan a.l. Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP) diubah menjadi Bulog pada tahun 1967 dan dibentuk Badan Pengendali Bimas pada tahun 1970. Hasilnya tahun 1984 kita berswasembada komoditas beras, gula, dan jagung. Setelah swasembada dicapai, ternyata beban anggaran untuk membiayai membengkaknya stok beras dan gula sangat berat, kualitas beras pun menurun karena lama disimpan, kemudian diekspor pun juga merugi, selanjutnya harga riil beras dalam negeri pun turun, akhirnya petani yang jadi korban. Hanya pemerintah sendiri yang bangga dan mendapat pujian, Presiden Soeharto yang dapat medali dari FAO.

Strategi peningkatan produksi kemudian diubah dari “swasembada absolut” menjadi “swasembada on trend”, pada saat stok beras berlebih dapat diekspor dan pada saat kekurangan beras dapat diimpor. Setelah tahun 1993, keadaan jadi kebablasan, pemerintah lalai mengurus beras, kita menjadi “net importer” beras lagi, pertumbuhan produsi beras 1994-1998 hanya 1 persen. Akhirnya, produksi beras turun tahun 1997 yang kemudian disusul krisis moneter  1997/1998 yang berimbas pada krisis ekonomi, sosial dan politik.

Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden Megawati tidak banyak hal yang diwariskan dalam urusan pangan, mungkin karena singkatnya waktu memerintah. Yang saya catat sewaktu Pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati produksi pertanian kita terpuruk akibat dibebaskannya impor  beras dan komoditas penting lainnya. Memang pada Pemerintahan Gusdur impor beras dan gula dikenakan bea masuk, tetapi impornya masih tetap bebas. Pada Pemerintahan Presiden Megawati inilah untuk pertama kali diumumkan kebijakan perberasan yang komprehensif mulai dari perlindungan kepada petani, pemupukan cadangan pangan pemerintah dan jaminan penyaluran untuk golongan  rawan pangan dan miskin melalui Inpres Kebijakan Perberasan No 9 Tahun 2000 yang diteken pada 31 Desember 2000.

Pada akhir Pemerintahan Megawati memang dilakukan pembatasan untuk impor gula dan beras. Setelah berbagai kritik tajam ditujukan pada kebijakan perberasan yang ambivalen, di satu sisi harga beras domestik dijaga, tetapi di sisi lain impor beras dibebaskan, artinya kita ikut menyelesaikan surplus beras dunia. Namun, dampak kebijakan pembatasan impor beras  belum dirasakan pada Pemerintahan Megawati. Perlu ditambahkan, pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang stabil sepanjang tahun sekitar Rp 2500,00 per kg, impor beras oleh swasta rata-rata per tahun 1,5 juta ton dan oleh Bulog 0,5 juta ton.

Simak juga:  Pemikiran Baru Diversifikasi Pangan : Mengembangkan Pangan, Hortikulutra, Bumbu-Bumbuan dan Obat-Obatan Masa Depan Berbasis Pohon

Orang berharap banyak pada Pemerintahan SBY yang pada awal tahun 2005 mencanangkan “Revitalisasi Pertanian”, tetapi ternyata realisasinya tidak terlihat jelas. Di lain pihak, akibat pembatasan impor pada tahun 2004 oleh Presiden Megawati, dampaknya mulai terasa pada awal Pemerintahan SBY dengan naiknya harga beras dari sekitar Rp 2.500,00 pada saat panen menjadi Rp 3.500,00 per kg pada musim paceklik tahun 2005 dan awal panen 2006.  Kemudian, naik lagi menjadi sekitar Rp 4.000,00 lebih pada akhir 2006 dan awal 2007. Selanjutnya, naik lagi menjadi lebih dari Rp 5.000,00 per kg pada akhir 2007. Kenaikan harga yang cukup signifikan inilah a.l. yang diperkirakan memicu kenaikan produksi tahun 2008 yang spektakuler karena merangsang petani untuk menaikkan produksi. Pada tahun 2000 sampai 2004, selama 5 tahun harga stabil sekitar Rp 2.500,00 per kg, kemudian naik 100 persen atau menjadi Rp 5.000,00 per kg dalam tempo 3 tahun, sehingga harga beras domestik saat ini mencapai hampir 2 kali harga beras dunia.  Di tengah gegap gempitanya kenaikan produksi beras tahun 2008 dan 2009 yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan sebab-sebabnya, nasib revitalisai pertanian tidak ada gaungnya.

Pemerintahan Jokowi-JK banyak belajar mengahadapi pasar beras yang spekluatif pada awal pemerintahannya. Beliau merasakan kuatnya aliansi antara penggilingan besar dan pedagang grosir yang dapat menjadi ancaman stabilsasi harga beras.  Oleh karena itu pemerintah berusaha memperkuat Perum Bulog dengan menerbitkan PP No 13/2016 tentang Perum Bulog dan Perpres No 48/2016 tentang penambahan tugas Perum Bulog dalam ketahanan pangan untuk menangani beras, jagung, kedelai dan komoditas lain apabila dianggap perlu. Sebagai kunci stabilisasi harga beras telah dikeluarkan Permendag No 103/2015 tentang Ekspor-Impor Beras dan Permendag No 20/2016 tentang Impor Jagung.

Namun Pemerintahan Jokowi-JK menerima warisan harga beras yang sudah terlalu tinggi dibanding harga internasional dan subsidi pertanian yang tinggi melebihi negara maju. Tidak mudah untuk menghadapi keadaan yang dilematis seperti kebijakan yang tidak menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) yang dalam jangka panjang akan memberikan dampak disincentive terhadap petani seperti yang dilakukan Presiden Soeharto setelah mencapai swasembada beras tahun 1984. Operasi Pasar yang kebablasan yang dilakukan pada waktu panen dan harga jual yang sama dengan harga pembelian juga akan berdampak pada kurangnya insentif terhadap produsen dan para pelaku pasar.

Demikian juga cara pandang para pembantu presiden yang berbeda dalam implementasi kebijakan ketahanan pangan (hulu-tengah-hilir) versus bantuan pangan (e-voucher) yang hanya melihat dari segi hilirnya saja yang juga akan berdampak pada stabilisasi harga. Semua langkah ini sebenarnya karena ego sektoral yang menonjol yang tidak disadari akan melemahkan kebijakan pemerintah sendiri. Banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi yang kadang harus mengahadapi dilema yang sama beratnya, berorientasi harga murah atau harga mahal atau memperhatikan daya saing.

Apa yang terjadi dengan nasib petani dan pertanian kita? Mulai dari Pidato Soekarno tahun 1952 di IPB sampai revitalisasi pertanian gaya SBY dan Jokowi yang emoh didekte pedagang dalam soal beras? Menurut Agus Pakpahan (2012) dalam buku Pembangunan sebagai Pemerdekaan dapat dilihat permasalahan pangan/pertanian dengan jernih: ketahanan pangan yang rapuh, adanya kemiskinan dan ketimpangan atau kesenjangan sosial, terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ketenaga-kerjaan yang karut-marut, struktur ekonomi dualistik yang timpang sebagai warisan kolonial, industrialisasi yang jalannya lambat yang menyebabkan guremisasi (mengecilnya skala usaha petani), pendidikan yang tidak nyambung dengan lapangan kerja dan berkembangnya konflik sosial, ketergantungan pada pihak luar (teknologi, modal, dan barang) dan masa depan yang kurang pasti. Selanjutnya Agus Pakpahan melalui kajiannya menegaskan bahwa selama sektor di luar pertanian (perdagangan dan industri serta keuangan) menghisap sektor pertanian, bukan pertaniannya yang tertinggal, tetapi bangsa ini akan mati. Mereka bisa menjadi parasit.

Simak juga:  Kementerian Pertanian Berangkatkan Peneliti Berprestasi ke Taiwan

Identifikasi masalah seperti di atas sebaiknya menjadi rujukan para pemimpin negeri ini untuk memecahkan kemelut pangan kita. Saya sepakat dengan Agus Pakpahan perlu ada perubahan suprastruktur (perubahan cara berpikir yang memandang bahwa pertanian dan petani bukan yang utama menjadi pertanian dan petani itu hal yang sangat penting, termasuk cara berpikir dalam pembuatan peraturan perundangan dan alokasi sumber daya terhadap kegiatan pertanian). Selanjutnya, Agus Pakpahan menegaskan bahwa globalisasi akan menjadi hal yang berbahaya dan menakutkan apabila status, posisi, dan daya pertanian Indonesia masih berkembang seperti yang terjadi saat ini.

Perlu perubahan struktur yang masih dualistis sebagai warisan kolonial Belanda seperti perkebunan yang menguasai lahan ribuan ha  dihadapkan pertanian kecil yang hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Perubahan struktur ini termasuk menata kelembagaan pangan dengan pembagian yang jelas siapa yang mengurus setelah panen (off farm) dalam rangka penyediaan mutu gizi pangan untuk peningkatan mutu sumberdaya manusia, dan siapa yang bertanggungjawab mengurus budidaya (on farm). Oleh karena pangan yang termasuk dalam kategori off farm meliputi tugas-tugas antar sektor (kementerian) dan juga antar bidang, maka perlu  ada lembaga yang membuat regulasi dan juga mengkoordinasikannya agar pelaksanaan visi peningkatan mutu sumberdaya manusia dapat lebih terarah. UU Pangan tahun 2012 mengamanatkan hal tersebut secara jelas.

Selanjutnya lebih memerhatikan tersedianya infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bendungan, saluran irigasi dan sebagainya. Banyak ahli yang melontarkan kegelisahannya terhadap nasib pertanian dan petani, tetapi tampaknya perlu adanya komitmen bersama untuk hal ini. Sayang, GBHN sebagai landasan pembangunan sudah tidak ada lagi sehingga nasib pertanian dan petani tergantung pemimpin bangsa seperti yang dilontarkan Dr. Noer Sutrisno, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian (PERHEPI) 2004-2008 (KR ,22 Agustus 2004).

Hanya saya khawatir nasib pertanian dan petani   “hanya manis dalam pidato-pidato” (seperti juga pada pidato Bung Karno tahun 1952). Saya yakin pemimpin kita bukan hanya “jago pidato” atau “jago berwacana”, saya yakin beliau sangat propetani, beliau akan memerdekakan  petani, tetapi diperkirakan akan terkendala dengan dana untuk membiayainya.  APBN kita 70 persen lebih sudah diserahkan kepada daerah, sedang daerah kebanyakan menggunakannya untuk menggaji PNS. Untuk investasi, apabila kita berhutang kepada luar negeri  dibatasi jumlahnya supaya tidak mengganggu APBN. Apabila  diserahkan kepada pasar, yang terjadi nanti adalah seperti investasi kebun kelapa sawit, kebunnya berada di Indonesia dengan penebangan hutan dan perambahan lahan gambut, tetapi  investornya kebanyakan bukan dari Indonesia. Itulah dilema yang akan dihadapi pemimpin kita.

Pengalaman Bung Karno yang ingin berdikari dengan semboyan “go to hell with your aid” dan menasionalisasi perusahaan asing, hasilnya berupa kesengsaraan rakyat.  Pemerintahan Soeharto yang semula punya anggaran berlebih karena “nasib beja” atau beruntung dapat rejeki nomplok akibat krisis minyak 1973, tetapi rejeki nomplok ini hanya dapat bertahan sekitar 12 tahun. Setelah itu strateginya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi membolehkan swasta berutang langsung ke luar negeri. Ternyata dalam 10 tahun utang swasta sudah kelewat banyak melebihi utang pemerintah. Ketika terkena dampak El Nino 1997 dan El Soros (krismon) 1997/1998, Indonesia kelimpungan memanage utang luar negerinya dan pemerintah terpaksa mengikuti nasehat IMF dengan menalangi utang luar negeri yang akhirnya membebani APBN kita sampai saat ini. Setelah Soeharto jatuh pada dasarnya semua investasi diserahkan kepada pasar yang kita tahu untuk pertanian adalah sesuatu sangat sulit, kecuali untuk kelapa sawit. Kesimpulannya, siapa pun yang ingin atau berniat ngopeni atau berpihak kepada petani, mungkin hanya sebatas untuk menarik simpati saja, mudah-mudahan yang akan datang hal ini tidak terjadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *